Terik matahari siang itu kian menambah garis-garis kasar khas kerutan di wajah orangtua itu. Menambah tetesan peluh di sekujur tubuhnya yang memang telah basah sejak ia mulai mendorong dagangannya itu dari rumahnya yang berjarak 4 km dari tempat ia berdagang sekarang. Tubuhnya yang tidak begitu kekar terlihat masih cukup kuat untuk melakukan aktivitas yang berat sekalipun. Walaupun sesekali ia nampak memutar-mutar pinggang dan memukul pundaknya yang mungkin kram. Hanya satu hal yang tak pernah terlihat letih kulihat darinya, senyumnya. Ya, senyumnya tak pernah luput dari setiap geraknya.
“Pak! Seperti biasa ya?” Pintaku.
“Tiga tusuk, dihangusin dikit kan neng?” Jawabnya pasti.
“Yoi, Pak! Tau aja nih!” Sahutku semangat.
“Iya tau, kan tiap hari neng beli bakso bakar di sini. Oh ya, dapat salam dari anak bapak, si Rani. Katanya kapan kak Ayu main ke rumah lagi?”
“Hoho, insyaAllah dalam minggu ini Ayu mau main ke sana. Ada buku baru yang mau Ayu perlihatkan. Sampaikan pada Rani ya, Pak!”
“Waah, Rani pasti senang ini, neng Ayu mau datang. Ini neng, pesanannya.”
“Terimakasih, Pak!” sahutku dan berlalu meninggalkan Pak Jono.
Rasa penasaranku dan kekagumanku padanya itulah yang membuatku bisa mengenal keluarganya. Suatu hari sepulang sekolah, aku melihat Pak Jono membawa Rani saat berdagang. Rani adalah anak yang cerdas, cantik dan cukup bijak. Aku sangat menyayangi Rani, ia sudah kuanggap seperti adikku sendiri karena akupun adalah anak tunggal. Beberapa hari kemudian aku diajak bermain ke rumahnya, tentu dengan berjalan kaki. Untungnya aku memang suka berjalan kaki, jadi tidak terlalu berat untukku berjalan ke rumahnya yang cukup jauh itu.
*-*
Di rumah yang sebenarnya tak layak untuk ditinggali itu, air mataku menetes. Rumah itu hanya seukuran kamarku. Rumah kayu beratap rumbia dengan satu jendela itu menampar batinku dengan keras. Membuatku menggigil membayangkan beratnya kehidupan yang harus dilewati gadis kecil ini. Pandanganku beralih ke sosok di atas tikar lusuh, kulihat seorang wanita tua yang sepertinya sedang sakit keras. Bisa kutebak, itu adalah ibu Rani. Ibu rani menderita strock dan komplikasi ginjal. Kembali, aku terharu saat melihat Rani yang langsung memeluk ibunya dan memberitakan tentang kedatanganku. Kusalami ibunya dan tiba-tiba ia menarik tubuhku dalam pelukannya. “Terimakasih ya, Nak?!” Begitu yang kudengar.
Beberapa kali aku main ke rumah Pak Jono. Hal yang wajib aku bawa adalah buku karena Rani suka sekali membaca. Pengetahuan umumnya bahkan lebih baik dariku. Kadang aku jadi malu pada diriku sendiri. Bahkan aku pernah ikut membantu Pak Jono membuat bakso bakar dagangannya. Walaupun rumahnya tak layak, tapi Pak Jono sangat menjaga kebersihan dagangannya. Ranilah yang paling bersemangat membantu ayahnya sepulang sekolah.
“Rani kalau sudah besar, cita-citanya jadi apa?” Tanyaku disela-sela membantu Pak Jono.
“Rani mau seperti Kak Ayu, cantik, baik, terus pintar lagi.” Jawabnya polos.
Aku terdiam sesaat. “Adikku, Rani, kamu itu harus lebih baik, lebih cantik dan lebih pintar dari kakak, kamu harus belajar yang rajin, biar bisa bantu ayah dan ibumu nanti. Terus bisa beli buku yang banyak sekali.” Kataku sembari mengelus pipinya. Rani pun mengangguk dan tersenyum.
*-*
Hari ini aku datang ke rumah Rani, aku datang sendiri karena aku tak melihat Pak Jono berdagang di sekolah. Sesampainya, di rumah kecil itu, aku melihat kerumunan orang di rumah. Aku melihat Rani yang menangis digendong Pak Jono. Bendera putih yang terpasang di depan rumah itu membuat bulu romaku bergidik. Aku berlari ke dalam rumah dan mendapati ibu Rani telah tiada. Ranipun berlari ke arahku dan memelukku sambil meraung-raung. Akupun tak dapat menahan kesedihanku.
“Kak, ibu kak, ibu pergi, kak!” Raungnya kepadaku.
Aku tak sanggup melihatnya. Kupeluk ia erat sekali. “Allah sayang sekali dengan ibu Rani, Allah sudah rindu sekali dengan ibu, tapi Rani tenang saja, ibu akan lebih bahagia bersama Allah di sana.”
“Benarkah kak? Kalau Rani rindu dengan ibu bagaimana?”
“Rani berdoa yang banyak untuk ibu, ya. Dengan itu rindu Rani akan sampai pada ibu.”
“Kakak, Rani sayang ibu, Rani akan berdoa untuk Ibu.” Katanya padaku masih dalam senggukannya menahan tangis. Kulihat Pak Jono lebih tegar, mungkin ini yang terbaik untuk istri yang dicintainya itu.
*-*
“Kak ayu! Rani dapat juara lomba menulis cerpen! Ini pialanya!” Teriak ayu, saat aku tiba di rumahnya. Sekarang Rani sudah kelas 1 SMA, dan aku sedang melanjutkan kuliahku jurusan Ilmu Komunikasi.
“Benarkah? Waah hebat sekali Rani? Ini hadiah buku dari kakak karena Rani sudah juara.”
“Horeee! Rani dapat buku baru lagi dari kak Ayu!”
“Ayah di mana, Ran?” Tanyaku.
“Belum pulang, Kak! Biasanya jam segini sudah pulang, mungkin masih di jalan.” Jawabnya.
Aku berniat menunngu Pak Jono pulang, aku sudah rindu sekali dengannya dan bakso bakarnya itu. Beberapa menit kemudian, kerumunan orang mendatangi rumah. Kubiarkan saja sampai seseorang berteriak dari luar minta dibukakan pintu. Perasaanku menjadi tidak enak, kupandangi Rani yang juga ketakutan. Kubuka pintu perlahan dan alangkah terkejutnya aku melihat apa yang mereka giring ke rumah ini. Tubuh Pak Jono yang sudah tak bernyawa. Seketika Rani menjerit, akupun tak kuasa melihat kenyataan pahit ini. Aku terduduk lemas menangis sekencang-kencangnya.
“Ayaahh.. ayah kenapa?” Raung Rani menggoncang-goncang tubuh ayahnya. Ah, terlalu berat memang beban yang akan dipikul Rani nanti. Apalagi ia tak punya saudara. Hanya akulah yang ia punya. Namun, Rani bukanlah anak biasa. Ia punya seribu alasan untuk tidak menyerah dengan keadaan hidup.
“Selamat ya, Rani!” Ucapku pada gadis cantik di depanku ini. “Kapan-kapan kakak bisa dapat diskonkan kalau beli buku di sini? Heheh.” Melihat gadis hebat ini, kenangan masa lalu itupun kembali. Sebuah pelajaran yang takkan pernah kulupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H