Mohon tunggu...
Annisa Fitri
Annisa Fitri Mohon Tunggu... -

ini awal saja untuk berbicara, jadi tulis dlu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Pesan Rindu

3 Mei 2014   20:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SEBUAH PESAN RINDU

Jika langit terus mendung tanpa memastikan hujan akan turun, akupun tak dapat memastikan sampai kapan rindu ini akan tertahan, kapan rindu ini akan mengering atau kapan aku dapat menerobos sekat-sekat waktu untuk mengikisnya. Kering sudah hamparan hati yang tak kunjung dipeluk angin, tak kunjung dicium ribuan rintik. Sesaat rasanya aku masih mendengar hembus nafasmu yang sepoi membawa sedikit asa untuk kurengkuh. Jelas, bukan aku telah hilang kendali, tapi ini hanya sedikit kelemahanku dalam menafsir kasih. Membuat semua buih-buih itu mendidih tumpah kesegala arah. Telah kuingatkan diriku sendiri, tapi apa daya, buih itu telah memenuhi semua saluran di tubuhku. Tanpa ampun memaksaku untuk terus mencintaimu dalam kerinduan yang begitu dahsyat mengurungku. Ah, ini lagi yang tak kumengerti, mengapa cinta membiarkanku mengalah untuk tetap merindukanmu sendiri? Kenapa tak kau bunuh saja aku?

Ini sudah lebih dua tahun, dan tepat di hari inilah aku harus mulai belajar mengalah pada jarak, juga pada waktu yang terus berputar tak tentu arah. Sebenarnya sudah tak ada lagi rindu, toh tak ada lagi yang bisa kurindukan. Orang itu sudah lama pergi, jauh sekali. Aku ingat sekali kalimat terakhir yang dia ucapkan padaku, “Kenapa kau menangis? Kemarin kau mengaku akan baik-baik saja tanpaku? Kau bohong ya? Ingatlah, aku tidak akan pulang, jadi kau harus kuat! Mengerti?”. Mendengar itu aku bisa apa? Aku terus saja menangis.

“Rani! Kamu jadi ikut tidak? Kami semua sudah siap, ayo cepat!”

“Duluan saja bu, nanti aku menyusul.” Jawabku. “Baiklah, hati-hati ya!”

Seperti tahun lalu, angin selalu saja bertiup kencang, mendung lalu hujan tak mampu mencair. Aku dengar siang ini akan ada gerhana matahari, dan seperti biasa keindahan alam itu tak dapat dilihat dari kampungku ini. Dulu, waktu masih ada kau, kita akan selalu mencari cara untuk bisa melihat bulan yang sedang membentuk cincin pada matahari. Aku masih menyimpan kacamata ajaib itu, iya kacamata yang benar-benar ajaib. Aku bisa melihat dengan jelas, bukan ke langit, tapi ke hatimu, jauh di dalam hatimu. Ada matahari yang lebih indah.

“Rani!!” Seseorang memanggilku dari luar kamar. Bukankah semua sudah pergi duluan? “Raniiii !!”. Dia memanggilku lagi. Seorang laki-laki. Pelan aku berjalan ke arah pintu. Rasanya aku kenal suara itu, tiba-tiba jantungku berdetak begitu kencang. Lalu kuurungkan niatku, aku mundur beberapa langkah. “Tok Tok.. aku pinjam kacamatanya boleh?” Spontan aku langsung berlari dan membuka pintu, namun aku tak melihat siapapun. Ah, mungkin aku salah dengar.

Aku jinjing tasku, kemudian kunyalakan motor matic kesayanganku. Belum aku berjalan, kudengar suara itu lagi. “Aku boleh ikut?”. Seorang lelaki yang parasnya tak asing lagi bagiku, laki-laki yang sangat aku rindukan. Dia terlihat pucat, dengan kemeja biru favoritnya dan celana jeans belel lusuh itu. “Hei, aku boleh ikut, tidak?” Tanyanya lagi. Aku kedipkan mataku berulang kali, sambil kutepuk kedua pipiku. Aku takut aku sedang bermimpi atau aku sudah gila mungkin. “Mas Arya? Kaukah itu?” Jtaakk!! Dia menjitak kepalaku seraya berkata, “Tentu saja ini aku, kau kira hantu? Hahaha.” Kulihat lagi wajahnya, aku masih tidak percaya, bagaimana mingkin dia di sini.

“A..aapa yang kau lakukan disini, ma.. maksudku bagaimana kau bisa di sini, Mas? Seharusnya kau kan di. . .” Mungkin sekarang gantian wajahku yang memucat.

“Di rumah maksudmu? Iyaa, aku akan pulang, tapi aku ingin bicara denganmu dulu. Kalau aku kangen, aku iso opo ?”

“Ah, kau ini mas, ternyata kau yang tidak bisa tanpaku. Mau bicara apa?”

“Ayo, kita jalan dulu, dua jam lagi gerhana akan muncul, kau tak mau melihatnya? Setelah itu baru kau antar aku pulang, bagaimana?”

Kemudian kami duduk di puncak bukit, mungkin matahari bisa terlihat lebih dekat dari sini.

“Ran, apa kabar keluarga kita? Ibu? Ayah? Aku sangat merindukan mereka. Kau tahukan dari kecil mereka dengan telaten merawatku, yah walaupun aku bukan anak kandung mereka. Lalu kau bagaimana? Sudah adakah lelaki yang kau pilih? Berapa umurmu sekarang? 24 atau 25? Kurasa ini sudah waktunya, adikku. Kau tak bisa terus mengurung hatimu tentangku. Mas tau kalau kau menyukai mas lebih dari sekedar saudara. Mencintai itu hal yang wajar, lumrah. Kau tidak salah mencintaiku. Waktu kau berusia 17 tahun, aku pernah berkata padamu untuk tidak mendekati laki-laki tanpa seizinku. Aku berkata seperti itu bukan hanya karena aku takut kau dipermainkan laki-laki, tapi lebih karena aku sudah lebih dulu mencintaimu. Kau bukan lagi adik kecilku yang cerewet, yang selalu minta gendong setiap jatuh dari sepeda. Kau sudah jadi wanita cantik bukan hanya parasmu, tapi juga hatimu. Dengarkan mas mu ini, ini benar-benar hari terakhir kita bertemu, tapi kau harus ingat jarak dan waktu tidak akan pernah mengerti rindu kita. Mereka akan terus melaju tanpa peduli kau berteriak memohon mereka untuk berhenti. Satu hal yang bisa kau lakukan adalah ikhlas. Karena kau akan menemukan jarak dan waktumu sendiri. Aku mencintaimu, Rani, adikku.”

Aku terdiam. Rasanya seperti berada di tempat yang sempit, pengap, dan sesak. Aku baru saja mendengar apa yang ingin kudengar dua tahun lalu. Apakah ini nyata? Entah ini nyata atau bukan, aku masih ingin terus mencintaimu, Mas. Setiap rintik hujan yang dulu kau sebut riuh kini akan menjadi rindu. Bulan yang menutupi mataharipun telah pulang. Seperti halnya kau, kaupun akan pulang ke rumahmu.

“Ran, bangun nak! Bagaimana kau sampai tertidur di sini?”

Pelan kubuka mataku. Kulihat Ibu dan Ayah disampingku. “Aku di mana?” Tanyaku. Kemudian kulihat sebongkah nisan bertuliskan Arya Brahmana. “Mas Aryaaa!!!!!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun