Sedikit intermezzo, kisah ini terinsipirasi begitu saja ketika saya menemani seorang teman memasang plat nomor motornya. Saya membayangkan apa jadinya kalau teman saya yang lagi susah itu pulang naik motor tanpa plat nomor di belakangnya. Hal paling apes yang mungkin terjadi adalah terkena razia polisi. Padahal kalo mau bikin plat nomor yang legal harus bikin di Satlantas dan itupun belum tentu bisa langsung jadi plat nomornya. Kalau mau aman ya motor yang lepas plat nomornya itu jangan digunakan dulu untuk beraktifitas. Tapi gimana kalau banyak aktifitas mendesak dan hanya memungkinkan menggunakan motor itu agar lebih efisien? Sayapun kemudian berandai-andai, “Gimana susahnya kita tanpa tukang pasang plat pinggiran?” Artikel ini merupakan sedikit opini dari saya tentang bagaimana pentingnya sektor informal khususnya bagi Indonesia.
Tukang plat nomor itu membuat sekaligus memasang hanya dalam waktu 30 menit. Saya memperhatikan tiap langkah pekerjaan mulai dari mencetak angka, membuat timbul angka, pengecatan, hingga pemasangan. Jujur saya tertarik bagaimana plat nomor bisa dibuat dalam waktu sesingkat itu. Siapa yang mau ke Satlantas hanya untuk memperbaiki plat nomor belakangnya, jika penyedia jasa informal dapat melakukannya dalam waktu singkat dan hanya dikenai biaya sebesar Rp 14.000,-.
Dari pengalaman tersebut kemudian saya berpikir bagaimana sektor informal telah menjadi bagian dari kebutuhan orang Indonesia. Bayangkan betapa repotnya kita tanpa jasa mereka. Sektor-sektor informal justru menjadi pilar-pilar ekonomi mikro Indonesia agar tidak mudah collapse ketika kita tergantung pada perusahaan berbasis ekspor-impor dan utang luar negri. Keberadaan mereka seharusnya bukan untuk diberantas melainkan seharusnya dibina agar tertib.
Penduduk Indonesia sudah terbiasa dengan keberadaan sektor informal ini. Jujur siapa yang tak butuh jasa mereka? Bahkan usaha sektor formal seperti mall pun perlu didukung sektor informal berupa PKL untuk memberi makan karyawannya. Karyawan mall tentu lebih memilih makan di warung tenda dibanding makan di dalam mall yang cenderung jauh lebih mahal.
Menurut saya akan lebih baik jika penyediaan ruang untuk sektor informal dilakukan sebagai suatu insentif dari sektor-sektor formal. Maksud saya begini, misal terdapat pembangunan suatu mall di pusat kota (CBD) yang hanya feasible (layak dalam operational-manajemen) jika dibangun setinggi 10 tingkat. Tentunya, berdasarkan standar dan peraturan yang ada akan dikenai insentif. Nah, sebaiknya insentif tersebut digunakan untuk mensiasati agar sektor-sektor formal menyediakan ruang untuk sektor informal pendukungnya. Menurut saya, ini lebih efektif dibandingkan merelokasi PKL yang pasti di awal menimbulkan konflik. Alasan mereka tidak mau direlokasi mayoritas karena lokasi relokasi tidak cukup strategis untuk menjajakan jasa mereka. Namun melalui insentif, tentu akan terjadi hubungan mutualisme antara sektor informal dengan sektor formal sehingga kedua belah pihak tidak akan ada yang dirugikan (win-win solution).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H