Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknokogi atau yang biasa disebut dengan IPTEK telah membawa masyarakat di abad ke-21 ini kepada gaya hidup yang serba instan dengan semakin maraknya penggunaan gadget oleh masyarakat luas. Hampir di seluruh dunia, kini tidak hanya orang dewasa saja yang menggunakan perangkat-perangkat digital seperti handphone dan komputer, anak-anak dan remaja pun banyak yang telah difasilitasi oleh orang tua mereka untuk menggunakan gadget baik itu sebagai penunjang kebutuhan belajar maupun sebagai sarana hiburan semata.
Jerman sebagai salah satu negara pencanang adanya komputerisasi di bidang manufaktur menyebut fenomena ini sebagai awal dimulainya era "Industry 4.0" dalam sebuah perayaan lokal Hannover Fair di Jerman pada tahu 2013 silam. Diawali berkat pembaharuan besar-besaran di bidang teknologi, Industry 4.0 menjadi penanda revolusi global dalam bidang industri di mana artificial intelligence (AI) mempunyai peranan besar dalam kegiatan manufaktur guna mempercepat proses produksi dan meningkatkan efektifitas pabrik yang sebelumnya bersifat konvensional.
Bila dikaji lebih lanjut, kedua fenomena yang tersebut memang terdengar berbeda---fenomena pertama terjadi dalam bidang informasi, fenomena kedua terjadi dalam bidang manufaktur---namun ternyata hal yang mendasari keduanya muncul atas fondasi yang sama, yakni adanya digitalisasi di bidang IPTEK secara global.
Hidup di tengah era globalisasi dan berkembangnya segala bentuk teknologi telah mempengaruhi budaya bermasyarakat, terutama di kota-kota besar. Menurut Soekarwati (2003), infrastruktur yang memadai, sumber daya manusia (SDM) yang unggul, kebijakan berskala makro dan mikro terhadap perkembangan teknologi informasi dalam jangka panjang, adanya pemenuhan dalam sisi finansial, serta adanya konten serta perantaranya berperan besar dalam perkembangan teknologi dan informasi di kota. Faktor-faktor tersebut pun ikut diperkuat oleh karakteristik masyarakat kota yang lebih terbuka dibandingkan dengan masyarakat rural serta adanya akses mudah terhadap pendidikan.
Di Indonesia, mudahnya akses pendidikan di kota sayangnya tidak mencerminkan kondisi yang sama dengan kondisi yang ada di daerah-daerah pelosoknya. Sekolah-sekolah merajarela di kota, sebagian besar dilengkapi dengan fasilitas serba canggih guna menunjang kegiatan pendidikan, namun tak jarang teknologi tersebut hanya dibiarkan sebagai pajangan tanpa pernah terpakai. Hal yang berbeda terjadi di daerah pelosok Indonesia, di mana beberapa siswa harus menempuh jarak 10 kilometer jauhnya dari rumah menuju sekolah demi menimba ilmu dengan pengajar yang terbatas serta sarana literasi yang jauh dari kata memadai. Pendidikan memang memiliki peran penting dalam era yang serba cepat ini, namun bila tidak diikuti dengan kemampuan berliterasi yang memadai, bukanlah tidak mungkin di beberapa dekade selanjutnya Indonesia akan tertinggal jauh dalam bidang informasi dan teknologi dengan negara-negara tetangga.
Menurut United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), literasi adalah seperangkat keterampilan yang nyata, khususnya keterampilan kognitif dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks dimana keterampilan yang dimaksud diperoleh, dari siapa keterampilan tersebut diperoleh, dan bagaimana cara memperolehnya. Dengan kata lain, literasi tidak hanya didapat melalui institusi pendidikan secara resmi saja, namun juga dari sumber-sumber lainnya seperti media massa, internet, maupun buku bacaan. UNESCO sendiri menganggap bahwa pemahaman seseorang mengenai literasi akan dipengaruhi oleh kompetensi yang dicapai di bidang akademik, konteks nasional, institusi, serta nila-nilai budaya serta pengalaman yang dimiliki oleh pelaku literasi.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Program for International Student Assessment (PISA) mengenai tingkat literasi negara-negara dunia, Indonesia menempati peringkat 64 dari total 72 negara di tahun 2018. Hal ini menunjukan lemahnya masyarakat Indonesia dalam menginterpretasikan sumber informasi, padahal kini sarana literasi sudah sangat luas dan beragam bentuknya. Terobosan-terobosan dalam bidang informasi seperti E-Book, E-Library, online news, serta media berbasiskan aplikasi yang dapat diunduh di smartphone bertujuan untuk mempermudah masyarakat dalam memperoleh ilmu serta berita terkini di dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam survey yang dilancarkan oleh Program for International Student Assessment (PISA) tadi, ada beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia, adapun diantaranya: kualitas pendidikan yang rendah, kecukupan gizi yang tidak memumpuni, infrastruktur minim, serta minat baca yang rendah di masyarakat. Dari keseluruhan poin mengenai penyebab lemahnya kemampuan literasi di Indonesia tersebut, minimnya minat baca masyarakat menjadi hal yang paling menarik perhatian saya. Bila dibandingkan dengan faktor-faktor lainnya, hanya minat bacalah yang tergolong sebagai faktor kultural, sehigga dalam penanganannya dibutuhkan rencana jangka panjang yang harus dilaksanakan secara menyeluruh kepada seluruh masyarakat di Indonesia, karena begitu minat baca pada generasi terkini berhasil dibudayakan, maka nilai tersebut akan diwariskan lagi kepada generasi-generasi selanjutnya---menciptakan domino effect dalam budaya membaca di Indonesa dan mengubah nilai kultur yang awalnya sempat disepelekan tersebut.
Gerakan literasi guna meningkatkan minat baca masyarakat dapat menjadi alternatif solutif di tengah masifnya paparan miring globalisasi. Sebagaimana dalam berbagai pandangan teoritisi globalis bahwa dalam dunia yang datar saat ini, tidak ada lagi batas sekat antara desa dan kota. Karena teknologi informasi dan jaringan internet telah berinfiltrasi dalam setiap aktivitas kehidupan manusia. Realitas sosial tersebut yang kemudian disebut dengan istilah global village atau cyber society.
Eksistensi teknologi menjadi sebuah keniscayaan dalam kehidupan masyarakat di era global. Begitu sentralnya peran dan fungsi teknologi bagi generasi masa kini, maka konsep kebutuhan pokok (basic needs) yang hanya mengelaborasi kebutuhan sandang, pangan dan papan tentu menjadi hal klasik. Lebih dari itu, teknologi telah bertransformasi menjadi objek yang lebih monumental dalam membentuk identitas masyarakat global (global identity). Teknologi tidak sekadar menjadi alat dan pelayan manusia (tools and human services), tetapi secara konstruksionis---seperti teori yang dikemukakan oleh Peter L. Berger---telah merepresentasikan status sosial-ekonomi personal yang mengelaborasi gengsi sosial (social prestige) masyarakat secara universal. Derasnya proses produksi teknologi yang signifikan terhadap dorongan arus adopsi, justru terjustifikasi oleh eksistensi industri media massa yang semakin kapitalistik. Hal ini membuat rasa konsumsifitas publik terus terpapar secara massif dan sistemik.
Pada dasarnya, mungkin banyak orang berpikir bahwa membaca hanya akan menghabis waktu dengan percuma dan tidak bermanfaat, sehingga mereka berpikir lebih baik melakukan aktivitas yang lain dari pada membaca. Padahal dengan membaca kita dapat menambah wawasan serta ilmu pengetahuan untuk memperkaya intelektual, terutama di era globalisasi ini.