Mohon tunggu...
Annisa Avrilia
Annisa Avrilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Practice makes perfect.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ancaman Keamanan Manusia di Eritrea: Akar Masalah dan Minimnya Upaya Penanganan Human Trafficking

28 Oktober 2021   16:10 Diperbarui: 28 Oktober 2021   16:12 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Eritrea, negara di benua Afrika yang berbatasan langsung dengan Sudan, Ethiopia, dan Djibouti ini merupakan salah satu negara top tier kasus terbanyak dalam perdagangan manusia atau human trafficking. Merujuk pengertian dari dalam Protokol PBB yaitu Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children, supplementing the
United Nations Convention against Transnational Organized Crime
ayat 3, "Perdagangan manusia" berarti perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan manusia, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan untuk memberi atau menerima pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi harus mencakup minimal, eksploitasi pelacuran atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, dan pengambilan organ tubuh.

            Human trafficking sendiri masuk kedalam salah satu ancaman pada keamanan manusia yang merupakan salah satu bentuk ancaman keamanan non-tradisional. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Eritrea merupakan salah satu negara dengan tingkat perdagangan manusia tertinggi di dunia. Bukan tanpa sebab, tingginya tingkat perdagangan manusia di negara ini berakar dari Perang Kemerdekaan Eritrea pada tahun 1961-1991 dimana banyak kekerasan terjadi dari pemerintah Eritrea dan Eritrean Liberation Front (ELF) yang menyebabkan imigran dan pencari suaka dari Eritrea, menurut data dari Human Rights Watch, mencapai lebih dari 400.000 pada tahun 1980, dan kebanyakan menuju ke Sudan atau Ethiopia.

            Eritrea disebut-sebut juga sebagai salah satu negara dengan rekam jejak hak asasi manusia terburuk di dunia. Banyak ancaman kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia terjadi di Eritrea. Menurut Global Slavery Index pada tahun 2018, estimasi korban perbudakan modern di Eritrea mencapai 451.000 jiwa, satu tingkat di bawah Korea Utara. UNHCR juga menyebutkan bahwa terdapat 5000 orang yang berusaha meninggalkan Eritrea setiap bulannya. Peristiwa kejahatan kemanusiaan ini bahkan diperkirakan terjadi lebih luas dari yang diperkirakan karena ada kesenjangan data dan kurangnya informasi dan pelaporan tentang kejahatan kemanusiaan ini.

            Upaya pemerintah Eritrea sangat minim, tidak ada upaya maksimal yang ditunjukkan oleh pemerintah untuk meminimalisir adanya ancaman keamanan manusia ini. Global Slavery Index juga menilai bahwa penanganan terhadap kerja paksa dan perbudakan yang oleh pemerintah Eritrea jauh di bawah standar, dan masuk kedalam tingkat penanganan yang teburuk. Eritrea juga dikenal sebagai negara paling represif. Banyak pihak mengecam adanya human trafficking dan pelanggaran hak asasi manusia lain yang ada di Eritrea, termasuk PBB, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Amerika Serikat bahkan rutin membuat laporan tahunan mengenai kasus human trafficking yang ada di Eritrea.

            Melihat dari latar belakang Eritrea yang juga memiliki konflik antar negara tersendiri dengan Ethiopia yang bahkan masih terjadi sampai sekarang, juga jumlah pengungsi yang makin bertambah, posisi masyarakat Eritrea sangat rentan terhadap ancaman keamanan manusia seperti human trafficking. Situasi ini semakin menjadi dengan adanya pemerintahan yang represif dan tidak memiliki upaya maksimal untuk mengatasi masalah-masalah kemanusiaan di negaranya, justru pemerintah Eritrea sendiri yang menyalahgunakan sistem wajib militer untuk menahan warganya agar dapat melakukan kerja paksa selama beberapa dekade. Situasi inilah yang membuat Eritrea menjadi salah satu negara dengan kasus human trafficking terbanyak di dunia. Melihat ancaman keamanan ini, negara-negara yang berkonflik dan represif memiliki resiko tinggi akan terjadinya ancaman keamanan manusia. Sangat dibutuhkan bantuan-bantuan dari pihak lain menyangkut keamanan manusia. Sejauh ini, tergolong banyak bantuan dari PBB terutama dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan di Eritrea.

Namun, dapat dipahami juga bahwa akar masalah yang terjadi di Eritrea tentang peristiwa human trafficking ini adalah konflik dan pemerintahan represif yang tidak memiliki upaya maksimal dalam penanganannya. Maka seharusnya upaya yang akan memberikan pengaruh adalah upaya penyelesaian konflik itu sendiri terlebih dahulu. Sanksi dan intervensi kemanusiaan mungkin menjadi solusi yang sdapat dilakukan sejauh ini, tapi bagaimanapun intervensi terhadap pemerintahan Eritrea yang represif ini rasanya sulit dilakukan, karena tentu hal ini akan menimbulkan konflik yang lebih besar lagi. Solusi lainnya adalah membuka dialog atau diskusi terkait keamanan manusia di Eritrea, khususnya permasalahan human trafficking langsung dengan pemerintah Eritea itu sendiri. Permasalahan kemanusiaan di Eritrea rasanya tidak akan selesai selama konflik dan pemerintahan represif ini masih terus berlanjut, karena melihat bahwa ancaman kemanusiaan ini dapat terjadi karena kondisi internal atau pemerintahan Eritrea sendiri yang menyebabkannya, kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia seperti human trafficking seperti yang dilakukan oleh Kidane Zekarias Habtemariam, salah satu human trafficker paling kejam dari Eritrea. Ancaman kemanusiaan ini kemudian akan terus menyumbangkan permasalahan-permasalahan global yang baru seperti masalah jumlah pengungsi yang terus-terusan bertambah, perbudakan, penjualan organ tubuh, dan aksi-aksi eksploitasi lainnya yang jika dibiarkan akan semakin meluas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun