Seksisme yang merupakan sikap dan perilaku yang mendiskriminasi individu berdasarkan jenis kelamin, masih menjadi sebuah perdebatan yang menarik dan seringkali dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan, termasuk para aparatur pemerintah. Belum lama ini, di media sosial sedang viral salah satu ucapan kontroversial dari calon gubernur Banten. Dimyanti Natakusumah yang merupakan Calon Wakil Gubernur Banten, menyebut bahwa "Perempuan jangan diberi beban yang berat, apalagi jadi gubernur” Tentu pernyataannya itu menjadi viral di berbagai sosial media, dan memicu sebuah pro-kontra di tengah masyarakat.
Kasus lainnya, tempo lalu viral beberapa aplikasi yang diluncurkan oleh pemerintah daerah yang disinyalir berunsur seksisme dan berkonotasi seksual. Contohnya, aplikasi yang digagas oleh pemerintah Surakarta yang diberi nama ‘SIMONTOK’ (Sistem Monitoring Stok dan Kebutuhan Pangan Pokok), ‘SISEMOK’ (Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan) yang digagas oleh pemerintah Kabupaten Pemalang, terdapat juga aplikasi yang diberi nama ‘Jebol Ya Mas’ (Program Inovasi Puskesmas Anggut Atas) oleh pemerintah Kota Bengkulu, dan masih banyak lagi.
Dua kasus tersebut, menjadi contoh bahwa praktik seksisme di Indonesia dapat terjadi dimana saja dan oleh siapa saja, termasuk para aparatur negara yang seharusnya menjadi contoh yang baik untuk masyarakat. Lalu apakah permasalahan tersebut dapat diatasi dan bagaimana strateginya? Sebelum membahas strategi, terlebih dahulu mari kita analisis permasalahan tersebut dalam kacamata psikologi sosial.
Kasus-kasus tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan teori Ambivalent Sexism Theory dan Stereotype Content Model, yang keduanya merupakan teori yang dicetuskan oleh Susan T. Fiske. Teori pertama, analisis berdasarkan Ambivalent Sexism dimana terdapat dua dimensi yaitu Hostile Sexism yang mengarah pada seksisme yang secara terang-terangan merendahkan perempuan, dan benevolent sexism yang mengarah pada bentuk seksisme yang nampak baik atau memuliakan perempuan, namun di sisi lain menempatkan perempuan pada posisi yang subordinat (Fiske & Glick, 2018).
Pada contoh pertama, yaitu pernyataan yang diungkapkan oleh Wakil Gubernur Banten termasuk ke dalam bentuk benevolent seksisme. Penyataannya mengenai “Perempuan jangan diberi beban yang berat, apalagi jadi gubernur” bermakna, bahwa walaupun Ia nampak ingin memuliakan perempuan dengan cara ‘tidak memberi beban yang berat’, namun secara tersirat juga mengungkapkan bahwa ‘perempuan tidak pantas menjadi seorang gubernur atau pemimpin’. Makna yang terkandung itulah, yang menuai berbagai macam komentar negatif oleh netizen Indonesia. Sementara, untuk kasus kedua mengenai sejumlah aplikasi yang diluncurkan pemerintah yang cenderung seksis, dapat diidentifikasi sebagai hostile sexism, dimana pemberian nama aplikasi tersebut secara terang-terangan merendahkan perempuan dan berkonotasi seksual dengan mengobjektivikasi perempuan.
Analisis untuk teori pertama berkesinambungan dengan teori kedua mengenai Stereotype Content Model, dimana teori ini mengarah pada klasifikasi kelompok sosial berdasarkan warmth (kehangatan) dan competence (kompetensi) yang pada akhirnya mempengaruhi presepsi dan sikap terhadap kelompok tersebut (Fiske, 2018). Berdasarkan definisi tersebut, kasus pertama dapat diidentifikasi bahwa, perempuan dianggap memiliki kehangatan (warmth) yang tinggi, namun dengan kompetensi yang rendah, sehingga respon yang ditampilkan ialah perasaan kasihan. Kemudian, kasus kedua mengenai pemberian nama aplikasi, dapat diidentifikasi bahwa aparatur pemerintah menganggap perempuan memiliki kehangatan (warmth) dan kompetensi yang rendah, sehingga menampilkan respon yang cenderung merendahkan.
Praktik seksisme dalam kasus ini memiliki dampak yang merugikan bagi perempuan. Pertama, munculnya ketidaksetaraan dan pembatasan hak perempuan di ranah pemerintahan yang dapat menghambat kemajuan perempuan di berbagai bidang. Kedua, adanya diskriminasi, dimana perempuan dapat diperlakukan secara tidak adil, misalnya diskriminasi dalam mengakses posisi kepemimpinan. Ketiga, kekerasan dan pelecehan, dimana hal ini sudah terjadi secara tidak langsung dalam kasus kedua yaitu objektifikasi secara seksual dalam pemberian nama aplikasi yang diluncurkan oleh beberapa pemerintah daerah. Kemudian, dampak terakhir, ialah penghambatan kemajuan sosial dan ekonomi yang termasuk dampak jangka panjang apabila permasalahan ini tidak dapat diatasi dengan benar.
Kemudian, bagaimana strategi dalam mengatasi permasalahan praktik seksisme yang dilakukan oleh aparatur pemerintah? Penerapan strategi dalam mengatasi ataupun meminimalkan permasalahan mengenai seksisme di lingkup aparatur pemerintahan terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan cara konvensional dan cara yang tegas. Secara konvensional, dapat dilakukan dengan sebuah kampanye dan promosi dalam memberikan edukasi mengenai dampak buruk seksisme dan mempromosikan kesetaraan gender di lingkup pemerintahan. Selain itu, dapat dilakukan sebuah promosi dalam mendorong lebih banyak perempuan untuk berada di posisi kepemimpinan dengan memberikan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi mereka guna mematahkan stereotip yang melekat pada diri perempuan.
Cara kedua, ialah secara tegas menerapkan kebijakan zero tolerance, yaitu segala bentuk seksisme harus ditangani dengan tindakan yang tegas, seperti pemberhentian atau tindakan hukum, dan menerapkan kuota gender guna memastikan bahwa perempuan dapat diwakili secara adil dalam posisi kepemimpinan dan pengambilan keputusan di lingkup pemerintahan. Tentunya cara ini dapat terlaksana apabila mendapat dukungan penuh oleh pemerintah, orang-orang yang berkuasa, dan kesadaran masyarakat. Efektif atau tidaknya, juga berdasarkan pada kebijakan yang berlaku. Oleh sebab itu, permasalahan seksisme merupakan kewajiban oleh segala pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H