isu-isu identitas, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), yang bertujuan untuk menarik simpati publik. Fenomena ini biasa disebut dengan politik identitas. Pembahasan mengenai politik identitas di Indonesia makin memanas menjalang pelaksanaan pemilu 2024.
Indonesia kurang dari dua bulan lagi pada tahun 2024 akan melaksanakan Pemilu. Para partai dan calon kandidat sudah mulai gencar melaksanakan kegiatan kampanye. Banyak dari mereka yang menggunakanPolitik identitas merupakan salah satu strategi politik yang menggunakan isu-isu SARA untuk meraih dukungan suara. Penggunaan isu-isu tersebut biasanya bersifat emosional dan dapat dengan mudah ditelan oleh masyrakat. Politik identitas dapat menjadi alat yang efektif untuk memenangkan pemilu, tetapi juga memiliki dampak potensi untuk memecah belah masyarakat. Di Indonesia, politik identitas sudah menjadi fenomena yang umum terjadi dalam setiap pemilu. Fenomena ini semakin sering terdengar dalam beberapa tahun terakhir, terutama ketika Pilkada DKI Jakarta 2017. Pilkada tersebut menjadi titik munculnya politik identitas yang sangat agresif dan berakibat memecah belah masyarkat.
Menurut Afala (2018) Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi momentum penting bagi perkembangan politik identitas di Indonesia. Pilkada tersebut menjadi ajang bagi para peserta pemilu untuk menggunakan isu-isu SARA untuk meraih dukungan massa. Banyak penyebaran informasi palsu (hoax) dan ujaran kebencian yang berbasis SARA ditujukan kepada salah satu pasangan calon atau calon independen. Tujuan dari tindakan ini adalah agar lawan politik tersebut kehilangan dukungan suara dari masyarakat. Permasalahan terjadi ketika isu-isu tersebut diterima oleh calon pemilih yang kurang dalam pengetahuan dan mudah terpengaruh tanpa mencari informasi yang benar terlebih dahulu.
Menurut Agustino (2014) politik identitas dapat memecah belah masyarakat berdasarkan agama, ras, suku, atau golongan tertentu. Hal ini dapat menimbulkan konflik sosial, intoleransi, dan bahkan kekerasan. Akibat yang terjadi dari memainkan isu-isu semacam itu adalah munculnya keresahan di tengah masyarakat karena mempunyai potensi untuk memecah belah rakyat Indonesia yang tadinya hidup aman dan damai. Dikhawatirkan bahwa tindakan ini bisa berujung pada timbulnya kerusuhan yang sebelumnya pernah tercatat sebagai sejarah kelam Indonesia.
Dampak dari Pilkada DKI Jakarta 2017 memiliki imbas yang luar biasa kepada masyarakat mengenai politik identits. Tidak berhenti pada pelaksanaan pilkada tersebut, namun masih berlanjut pada pemilihan presiden tahun 2019. Pada periode tersebut, terjadi penyebaran berbagai isu politik identitas yang beredar di tengah masyarakat. Saat pemilihan Umum 2019, terlihat bagaiman isu SARA digunakan untuk menciptakan perbedaan tajam antara kelompok pendukung berbagai kandidat. Calon-calon politik saling bersaing untuk meraih dukungan dari basis-basis pemilih tertentu dengan manfaatkan identitas suku, agama, dan kelompok tertentu. Politik identitas pada pemilu 2019 juga menciptakan tantangan bagi keberlanjutan toleransi di Indonesia. Negara yang dikenal dengan keberaaman budaya dan agamanya menjadi rentan terhadap perpecahan jika politik identitas terus diperkuat.
Menurut Kalembang (2019) politik identitas dapat menghambat proses demokrasi karena memunculkan persaingan yang tidak sehat dalam pemilu. Fenomena ini dapat membuat masyarakat lebih fokus pada isu-isu SARA daripada isu-isu yang lebih penting, seperti pembangunan dan kesejahteraan. Praktik politik identitas dapat membentuk pandangan masyarakat bahwa individu yang tidak memiliki identitas yang sama dengan pemimpin tidak layak untuk memimpin. Akibatnya, kelompok minoritas berisiko kehilangan hak yang setara dalam partisipasi dalam pemerintahan, terutama dalam konteks pemilu dan pemilihan. Kekhawatiran juga timbul bahwa fenomena ini, seiring waktu, dapat merusak fondasi demokrasi secara keseluruhan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan politik identias menjadi semaking merajalela di Indonesia. Faktor pertama adalah meningkatnya polarisasi politik di masyarakat. Polarisasi pada politik ini biasanya disebabkan oleh berbagai macamfaktor, seperti perbedaan ideologi, kepentingan, dan cara pandang. Polarisasi politik yang semakin tajam membuat masyarakat semakin mudah untuk terpengaruh oleh isu-isu SARA.
Faktor kedua adalah semakin berkembangnya media sosial dalam kehidupan masyarakat. Media sosial menjadi sarana yang sangat efektif untuk menyebarkan informasi dan propaganda. Isu-isu Sara yang disebarkan melalui media sosial dapat dengan mudah menyebar dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Faktor selanjutnya adalah semakin lemahnya pendidikan politik pada masyarakat di Indonesia. Pendidikan politik yang lemah membuat masyrakat tidak memiliki kemampuan untuk memfilter informasi yang diterimanya. Masyarakat menjadi sangat mudah terprovokasi oleh isu-isu SARA yang disebarkan oleh pihak-pihak tertentu.
Dari jabaran beberapa faktor diatas, menjelang Pemilu 2024 masyarakat perlu mewaspadai diri terhadap manipulasi yang dilakukan tokoh politik melalui politik identitas. Biasanya, tindakan tersebut melibatkan penyebaran rumor dan penyampaian ujaran kebencian. Konsekuensinya adalah munculnya perbincangan yang tidak menghasilkan solusi positif, bahkan dapat menimbulkan ketidakharmonisan dan potensi terjadinya kekerasan.
Konsekuensi dan Potensi Risiko yang Dapat Muncul?
Politik identitas dapat memecah belah masyrakat berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan fenomena ini dapat menimbulkan konflik sosial, meningkatkan tingkat intoleransi, dan bahkan membawa dampak berupa kekerasan. Ketika isu-isu identitas digunakan sebagai alat politik, dapat terjadi polarisasi yang merugikan kerukunan sosial, mengancam toleransi dalam beragama pada lingkungan masyarakat, dan menciptakan ketidakstabilan yang berujung dalam bentuk-bentuk kekerasan.