Mohon tunggu...
Annisaa Ganesha
Annisaa Ganesha Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kumpulan Mahasiswi Ideologis

Berdakwah dengan pena digital

Selanjutnya

Tutup

Financial

Dompet Menipis, Bukannya Diberi Insentif, Pekerja Malah Ditagih Tapera

19 Juni 2020   19:26 Diperbarui: 19 Juni 2020   19:21 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Sah! Presiden Jokowi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei lalu. Dengan adanya PP Tapera ini, para pekerja harus mengeluarkan iuran 2,5% dari gajinya serta ditambah 0,5% dari gajinya yang dibayarkan perusahaan. Tetapi pengamat melihat iuran ini riskan dipermainkan, sebab ini adalah program jangka panjang dengan jumlah simpanan uang yang besar.

Selain itu, seperti iuran-iuran sebelumnya, rakyat tidak akan mudah untuk menarik kembali uangnya ketika dibutuhkan karena birokrasi yang njelimet. Seperti menagih utang, padahal itu uangnya sendiri. Iuran ini juga tidak memberi manfaat banyak terutama di masa seperti ini.

Selain iuran Tapera, pekerja sebelumnya sudah dibebankan dengan iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan Jaminan Hari Tua (JHT). Padahal juga belum tentu pekerja tersebut membutuhkan atau menginginkan membeli rumah.

Selain itu, nilai rumah sangat mudah terkena inflasi, nilainya bisa dipastikan hampir selalu naik. Jika pekerja menabung sekarang menggunakan rupiah bukannya emas, bisa-bisa tabungan tersebut tidak ada gunanya ketika tiba waktunya ia mengambil iuran tersebut dalam bentuk rumah karena harga rumah sudah melambung tinggi.

Selain itu, di tengah pandemi sekarang ini, dimana ekonomi masyarakat sangat terjepit, pemerintah seperti tak memiliki hati menambah iuran Tapera, bukannya memberikan insentif kepada para pekerja. Sangat jelas terlihat bahwa ini adalah upaya untuk mengeruk kekayaan rakyat secara paksa.

Tentu perlakuan seperti ini tidak akan ada jika sistem yang diterapkan adalah sistem politik islam, yakni khilafah islamiyah. Karena upah pekerja ditentukan berdasarkan usaha yang telah dikeluarkannya, bukan berdasarkan harga kebutuhan rata-rata masyarakat di suatu wilayah. Karena pengaturan seperti itu akan menyebabkan kezhaliman ketika pekerja mengerahkan usaha semaksimal mungkin atau seminimal mungkin, upahnya akan tetap sama saja. Negara juga tidak berhak menentukan upah dari pekerja swasta, alias bukan pegawai negara. Potongan gaji juga tidak ada dalam Islam, apalagi tanpa adanya persetujuan akad dari pekerja alias secara sepihak atau paksa.

Kebutuhan primer masyarakat berupa kesehatan, pendidikan, dan keamanan merupakan sesuatu yang dijamin pemenuhannya oleh negara. Rakyat tidak dibebankan pungutan atas fasilitas-fasilitas tersebut alias gratis. Maka tidak mungkin juga akan ada iuran kesehatan seperti BPJS Kesehatan, apalagi iuran yang bukan kebutuhan primer masyarakat seperti perumahan. Walaupun negara tetap menjamin kebutuhan dasar setiap individu seperti tempat tinggal dengan mekanismenya tersendiri, tidak berupa iuran paksaan seperti ini. (fina)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun