Ungkapan "banyak anak, banyak rezeki" telah menjadi salah satu keyakinan yang mendalam dalam budaya masyarakat Indonesia atau bisa kita bilang dengan stigma sosial yang erat, terutama di kalangan komunitas pedesaan. Meskipun terlihat sebagai pandangan yang positif, kenyataannya, stigma ini sering kali membawa dampak negatif bagi keluarga dan masyarakat secara keseluruhan, terutama masyarkat atau keluarga dengan penghasilan sedang atau menengan kebawah. Namun sampai detik ini, stigma ini masih bertahan dikalangan masyarakat walaupun tidak separah tahun-tahun sebelumnya, meskipun ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa memiliki banyak anak tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi.
Asumsi Dasar dan Tradisi
Pandangan bahwa banyak anak akan membawa rezeki berasal dari keyakinan bahwa setiap anak memiliki potensi untuk memberikan dukungan finansial di masa depan. Konteks ini saja sebenarnya sangat salah, seorang anak dilahirkan seharusnya tidak untuk investasi masa depan, mengedepankan anak pertama agar dapat membiayai kebutuhan pendidikan adik-adiknya sedangkan anak pertama pasti punya dunia yang ingin mereka bangun sendiri. Dalam konteks pertanian dan masyarakat tradisional, anak-anak dianggap sebagai sumber tenaga kerja tambahan yang dapat membantu orang tua dalam menjalankan usaha keluarga. Selain itu, ada anggapan bahwa anak-anak akan menjadi penopang orang tua di masa tua mereka.
Hal tersebut membuat munculnya banyak alasan mengapa stigma ini terus bertahan adalah kurangnya pemahaman tentang dampak ekonomi dari memiliki banyak anak. Banyak keluarga yang memiliki lebih dari dua anak sering kali menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Biaya hidup yang meningkat membuat orang tua kesulitan untuk memberikan pendidikan yang layak bagi setiap anak. Hal ini berujung pada rendahnya kualitas sumber daya manusia dan memperburuk siklus kemiskinan dan siklus ini akan terus berputar lagi dan lagi sampai saat ini.
Tekanan Sosial dan Budaya
Tekanan sosial juga berperan penting dalam mempertahankan stigma "banyak anak, banyak rezeki". Dalam banyak komunitas, pasangan suami istri yang memilih untuk memiliki sedikit anak atau tidak memiliki anak sama sekali karena melihat kondisi eknomi atau kesehatan mereka yang kurang stabil sering kali dianggap melawan norma sosial yang ada di masyarakat. Mereka mungkin menghadapi stigma atau bahkan pengucilan dari komunitas mereka, seperti dikucilkan tetangga sendiri bahkan dijadikan bahan gossip di masyarakat. Hal ini menciptakan rasa takut akan kehilangan dukungan sosial, sehingga pasangan suami istri juga  merasa terpaksa untuk mengikuti tradisi tersebut meskipun mereka menyadari konsekuensi negatifnya di akhir.
Meskipun stigma "banyak anak, banyak rezeki" masih kuat di masyarakat Indonesia, ada kebutuhan mendesak untuk mengubah paradigma ini. Edukasi tentang perencanaan keluarga dan pentingnya pendidikan dan kesehata anak yang harusnya dijamin oleh setiap orang tua harus ditingkatkan. Pemerintah dan organisasi non-pemerintah dapat memainkan peran penting dalam menyediakan akses ke program keluarga berencana serta kampanye edukasi tentang manfaat memiliki keluarga kecil yang sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga mereka sendiri. Dengan demikian, masyarakat dapat mulai memahami bahwa kualitas lebih penting daripada kuantitas dalam hal membesarkan anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H