Mohon tunggu...
An Nisaa Nurul F
An Nisaa Nurul F Mohon Tunggu... Mahasiswa - 102190091 SMD

FAKULTAS SYARIAH-HUKUM EKONOMI SYARIAH

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengetahui Zakat Profesi yang Ditinjau dari Perspektif Hukum Islam

23 Mei 2021   12:11 Diperbarui: 23 Mei 2021   12:13 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Konsep zakat dari masa Nabi SAW sampai sekarang merupakan solusi yang paling akurat dalam penanggulangan masalah perekonomian di suatu negara, salah satunya yaitu kesenjangan yang terjadi di dalm masyarakat. Hal tersebut sudah terbukti bahwa dengan adanya konsep zakat, suatu negara mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat, mengurangi presentase kemiskinan, dan menciptakan keadilan bagi semua kalangan masyarakat.

Zakat yaitu sebuah kewajiban bagi seluruh umat islam dimana ia harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada para mustahiq. Kewajiban mengeluarkan zakat dikarenkan zakat termasuk dalam salah satu rukun islam. Sehingga banyak sekali pembahasan zakat yang tertuang di dalam Al-qur'an dan al-Hadist, sebagaimana firman Allah SWT Qs. al-Baqarah ayat 43, Qs. at-Taubah ayat 60 dan 103.[1]

Pada masa sekarang sudah banyak harta benda atau jasa yang disetorkan sebagai zakat. Walaupun dalam hukum islam klasik tidak banyak yang membahasnya namun masih tetap dilakukan salah satunya yaitu zakat profesi atau zakat penghasilan. Zakat profesi ini juga sudah mulai dilakukan oleh lembaga BAZNAS. Namun, disisi lain juga ada beberapa masyarakat yang belum mengerti dengan jelas apa itu zakat. 

  1. Pengertian Zakat Profesi

Zakat profesi atau zakat penghasilan adalah zakat yang dibayarkan dari pendapatan yang diterima oleh seseorang dari suatu pekerjaan yang telah melebihi nisabnya yaitu 85 gram emas per tahun dan jumlah yang wajib dikeluarkan sebagai zakat yaitu sebesar 2,5%. Fatwa MUI menjelaskan bahwa penghasilan yang dapat dikenakan sebagai kewajiban membayar zakat yaitu semua hasil yang didapat seseorang seperti gaji, honor, upah maupun jasa yang diperoleh dengan cara yang tidak melanggar prinsip-prinsip islam. Baik pendapatan secara rutin (seperti pejabat negara, karyawan) maupun pendapatan secara tidak rutin (seperti pengacara, konsultan, dan pekerjaan bebas lainnya).[2]

Zakat profesi dipopulerkan oleh Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam karyanya yang berjudul Fiqh al-Zakat. Beliau menjelaskan bahwa zakat profesi sebagai zakat yang dikeluarkan dari hasil pendapatan sebuah pekerjaan yang dikerjakannya sendiri karena keterampilannya seperti tukang kayu, penjahit, dokter dan lain sebagainya atau seseorang yang bekerja pada perseroan maupun perseorangan yang menghasilkan gaji, upah, dan honorarium.[3]

2. Dasar Hukum Zakat Profesi

Tidak ada dalil yang menjelaskan secara langsung tentang hukum zakat profesi baik al-Quran maupun al-hadist. Namun, terdapat beberapa pendapat para ulama kontemporer yang  menjelaskan bahwasannya suatu profesi yang telah mencapai nisabnya maka penghasilan tersebut wajib dikenakan zakat. Ulama kontemporer yang berpendapat demikian diantaranya yaitu Syaikh Abdur Rahman Hasan, Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Syaikh Abdul Wahab Khalaf dan Syaikh Yusuf al-Qardhawi. Yang menjadi landasan hukum diwajibkannya zakat profesi tersebut, para ulama kontemporr ini memiliki beberapa alasan: yang pertama, mengacu pada ayat al-Quran yang bersifat umum dan menerangkan kewajibkan semua jenis harta dapat dikeluarkan sebagai zakat, seperti dalam surat al-Baqarah (2) ayat 267:

"Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu...." Qs. al-Baqarah(2):267.

Selain itu juga mengacu pada sabda Nabi SAW yang bersifat umum menjelaskan bahwa pembayaran zakat dapat dilakukan dengan menggunakan hasil usahannya sendiri.

Kedua, Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu abbas ra tentang seorang laki-laki yang mendapatkan hartanya (al-maal al-mustafaad) dan tanpa syarat haul(harta yang dimiliki selama satu tahun qamariyah), beliau berkata: "Dia mengeluarkan zakatnya pada hari dimana dia mendapatkan harta itu." (al-Amwaal, hal. 413).

Ketiga, dari konsep keadilan yang merupakan salah satu ciri khas dari ajaran islam yaitu kewajiban mengeluarkan zakat pada harta yang dimiliki setelah harta tersebut telah mencapai nishabnya dan akan terasa sangat jelas. Seperti para petani yang hasil panennya sudah mencapai nisabnya maka petani tersebut diwajibkannya berzakat. Hal tersebut akan sangat adil apabila semua hasil dari suatu usaha yang telah mencapai nisabnya juga akan dikenankan kewajiban berzakat seperti dokter, notaris, karyawan, penjahit dan lain sebagainya.[4]

3. Cara Pembayaran Zakat Profesi

Dalam buku Fiqh al-Zakat menjelaskan bahwa cara pembayaran zakat profesi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

  • Penghasilan yang sudah mencapai nisabnya yaitu 85 gram emas dalam satu tahun maka wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5% sebelum penghasilan tersebut dikurangi dengan apapun. Hal ini juga mengacu pada pendapat AZ-Zuhri dan Auza'i yang menjelaskan bahwa apabila seseorang mendapatkan penghasilan dan ingin menggunakan harta tersebut sebelum datangnya bulan wajib zakat maka hendaknya ia membayar terlebih dahulu zakat profesi tersebut.
  • Seseorang yang telah menerima gaji atau honor dan telah mencapi nisabnya dan gaji tersebut dikurangi dengan biaya operasional kerjanya seperti biaya transport perminggu maka zakat yang harus dikeluarkan yaitu 2,55 sisa dari gaji atau honor  yang telah didapatkannya.
  • Mengeluarkan zakat dari penghasilan yang masih mencapai nisabnya padahal penghasilan tersebut telah dikurangi untuk memenuhi kebutuhaannya dalam sehari-hari. Sehingga apabila penghasilan tersebut telah dikurangi dengan kebutuhannya sehari-hari namun masih mencapai nisab zakat maka sebagian harta tersebut wajib dikeluarkan untuk zakat. Namun, jika sisa dari pengurangan kebutuhan pokok tersebut kurang dari nisab maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat dan ia termasuk dalam golongan orang yang berhak menerima zakat atau mustahiq karen penghasilannya tidak cukup dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun