[caption id="attachment_132316" align="alignleft" width="383" caption="Tanda tangan Andrea Hirata di buku Laskar Pelangi (dok. AFR)"][/caption] SEUMUR-UMUR, saya bermimpi untuk mendapatkan foto dan tanda tangan dari dua orang public figure saja. Nggak muluk-muluk, ‘hanya’ dua public figure dari Indonesia. Mereka dari dua profesi yang berbeda, namun sama-sama menerbitkan buku yang penuh inspirasi. Berbekal mimpi itu, akhirnya saya pun berhasil mendapatkannya. Dengan gaya penggemar yang...kalau sekarang diingat-ingat, termasuk penggemar norak juga. Hahahah... Tak disangka saya bisa sebegitunya untuk mendapatkan “perhatian sesaat” dari mereka. Tapi biar saja. Yang penting, saya sudah memperoleh tanda jejak mereka di buku yang saya koleksi. Itu sudah lebih dari cukup. Setelah itu, ya sudah. Misi sudah selesai. Hehehe...
***
Figur pertama, tentu sudah pernah Anda baca dari beberapa tulisan saya yang mengupas tentangnya. Setiap buku barunya terbit -antara tahun 2010 sampai 2011- selalu tak lupa saya resensi. Dan entahlah, mungkin admin tahu kalau saya salah satu penggemar berat karya-karyanya, sehingga setiap resensi bukunya yang saya tulis dengan segenap hati dan pikiran itu selalu masuk dalam kotak headline. Hehehe... Pastilah Anda sudah tahu siapa. Maka jangan pernah bosan ketika saya kembali menyebut Andrea Hirata, sang penulis yang tanda tangannya saya buru pada tanggal 12 Februari 2008, ketika ia sedang menggelar acara bedah bukunya di Gramedia, Medan.
Cerita selengkapnya tentang perburuan tanda tangan itu, saya publikasikan sebagai tulisan perdana saya di Kompasiana ini. Sungguh, itu adalah salah satu peak experience bagi saya. Rasanya benar-benar luar biasa ketika berhasil mendapatkan tanda tangannya. Tidak hanya tanda tangan, tetapi juga kesempatan berfoto dan mengobrol bersama dengannya dalam waktu yang cukup lama bagi seorang public figure yang sedang dikejar-kejar waktu. Tanpa bermaksud lebay, rasanya seperti menang undian mobil mewah, begitulah kira-kira.
Public figure kedua ini adalah seorang penyanyi solois dan vokalis band KLa Project. Aha! Siapa lagi kalau bukan Katon Bagaskara. Pelantun “Yogyakarta” ini belakangan memang cukup sering manggung di Medan, baik sebagai solois maupun vokalis band KLa Project. Apalagi ketika rilis album teranyar mereka, Exellentia, di pengujung tahun 2010 lalu. Sejak sebelum menikah, saya dan suami yang sedari usia SD sudah menggandrungi karya-karyanya pun bertekad kalau suatu hari nanti kami akan menonton konsernya bersama, mengingat karya-karya Katon Bagaskara/KLa Project, sedikit banyaknya telah menginspirasi perjalanan cinta kami yang sesungguhnya penuh liku sebelum sampai ke pelaminan. Hehehe..
Tibalah saat itu. Pada bulan Maret 2009 yang lalu, Katon Bagaskara menggelar mini konsernya sebagai salah satu penyanyi tamu dalam rangkaian perhelatan Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU). Kami pun bersemangat. Apalagi konser ini gratis! Haha! Akhirnya, mimpi kami terwujud juga. Saat itu, saya dan suami menontonnya berdua sebagai kali pertama. Maklum, saya belum pernah menonton konser apapun sebelumnya. Hahaha... Berbeda dengan suami yang sangat menikmati musik dan juga piawai sebagai vokalis serta memainkan beberapa instrumennya. Tak heran jika sejak remaja ia termasuk penonton konser sejati.
[caption id="attachment_132320" align="alignright" width="385" caption="Pesan & tanda tangan Andrea Hirata di buku Sang Pemimpi..so sweet.. ;D (dok. AFR)"][/caption]
Pengalaman menonton konser Katon Bagaskara untuk kali pertama tak membuat saya lupa untuk membawa buku puisinya yang berjudul Bulan Dibuai Awan. Ini buku puisi yang bersejarah, mengingat pemberinya adalah (calon) suami saya sendiri. Hehehe... Saat konser dimulai, saya dan suami pun merangsek ke depan, hampir ke bibir panggung. Pokoknya sampai Katon Bagaskara bisa melihat kami berdua -bayangkan saja gaya norak kami sebagai penggemar; ikut bernyanyi dengan suara keras dan sesekali melambaikan tangan serta buku puisi itu ke arahnya. Penampilan Katon yang selalu atraktif dan interaktif dalam setiap konser on air maupun off air-nya, membuat saya optimis akan bisa mendapatkan tanda tangannya di kali pertama menonton pertunjukannya itu. Soalnya, kapan lagi ada kesempatan seperti ini?
Sambil bernyanyi, Katon memang memberi isyarat jempol sebagai tanda “oke” untuk menandatangani buku puisinya yang kami acung-acungkan ke hadapannya. Kami berharap ia mempunyai waktu di sela-sela pergantian lagu. Namun ternyata sepanjang konser singkat itu berlangsung, ia tak kunjung mengambil buku puisi dan spidol hitam yang sudah siap kami berikan kalau-kalau ia bersedia menandatanganinya saat itu juga -agak memaksa sebenarnya. Hahaha...
Sampai akhirnya lagu terakhir selesai dinyanyikan dan blass! Ia segera menghilang ke belakang panggung dan cepat-cepat masuk ke mobil yang telah dipersiapkan. Tak ada lagi kesempatan untuk memburu tanda tangannya meski kami berdua -dan juga penonton yang lain- sempat mengejar mobil yang ditumpanginya. Seperti baru saja dirampok, kami pun mencatat plat nomor kendaraan mobilnya di benak kami. Maksud kami adalah mengejarnya -dengan kendaraan tentunya, bukan berlari-lari- hingga dapat.
Meski sempat kecewa, saya berjalan cepat juga ke parkiran. Harapan itu masih ada, begitu bisik saya sambil berdo’a dalam hati. Ternyata tak lama kami berada di area parkir, kami melihat mobil yang ditumpangi Katon tadi masuk kembali ke area PRSU! Kami langsung menduga Katon telah berpindah mobil. Entah wangsit darimana, kami pun berinisiatif untuk menanyai supir mobil pertama yang ditumpangi Katon sampai gerbang luar area PRSU tadi. Dari supir itu kami mendapatkan informasi kalau Katon menginap di salah satu hotel berbintang di pusat kota. Yes! Sudah seperti polisi mengejar buronan saja.
[caption id="attachment_132321" align="alignleft" width="424" caption="Bulan Dibuai Awan - Katon Bagaskara (dok. AFR)"][/caption]
Kami pun melaju cepat ke hotel dimaksud. Ehm, sebenarnya suami saya sudah malas untuk mengejarnya mengingat jarak PRSU dengan hotel tersebut cukup jauh. Namun demi melihat muka saya yang memelas, ia pun akhirnya mengiyakan. Hahaha... Dalam hati, saya merasa ini persis pengalaman saya mengejar Andrea Hirata dulu. It’s very exciting!
Sampai di hotel, kami lalu menanyakan kepada resepsionis tentang kebenaran keberadaan Katon di hotel tersebut. Memang benar, tapi Katon ada tujuan lain sebelum kembali ke hotel. Kami pun menunggu. Ya, menunggu selama kira-kira 1 jam di lobby hotel sebagai penggemar kemalaman. Tunggu punya tunggu, Katon tak juga muncul. Saya pun mulai gelisah. Apalagi sang resepsionis sesekali melihat saya dengan pandangan yang sulit diartikan, sambil tersenyum-senyum. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, saya pun menyerah dan menerima takdir bahwa itu bukan malam keberuntungan saya bertemu sang idola. Dalam perjalanan pulang, hati saya berbisik sendu; mungkin karena konsernya gratis...
***
Hampir 2 tahun kemudian, tanggal 4 Desember 2010. Tersiar berita kalau KLa Project akan menggelar konsernya di Medan dengan formasi lama; Katon, Lilo dan Adi. Ini kesempatan kedua yang ditunggu-tunggu. Maka tanpa menyia-nyiakannya, saya dan suami langsung memesan tiket nonton konsernya di salah satu hotel berbintang 5 di Medan. Meskipun harus berkorban merogoh kocek cukup dalam, namun yang namanya KLanis (sebutan bagi penggemar KLa Project) sekaligus KaribKaton (sebutan bagi penggemar figur Katon Bagaskara), menontonnya ketika ada kesempatan seperti ini tentu harga tiket tidak terlalu menjadi masalah.
Maka seperti yang sebelumnya, tak lupa saya membawa buku puisi itu. Rasanya akan sia-sia saja jika tak berhasil mendapatkan tanda tangannya mengingat tiket masuk yang lumayan mahal. Meet and Greet sebenarnya ada digelar, tapi itu hanya untuk penonton VIP yang jangkauan harga tiketnya lebih melangit. Hingga akhirnya lagu “Kembali” sebagai penutup dinyanyikan, saya pun mendekat ke arah panggung. Ada jeda sebelum Katon naik panggung lagi.
[caption id="attachment_132322" align="alignright" width="420" caption="Tanda tangan Katon yang sebenarnya terburu-buru..hehe.. (dok. AFR)"][/caption]
Maka tanpa buang waktu, saya pun memberanikan diri mendekat ke arahnya, tepat ketika beberapa langkah lagi kakinya akan sampai ke panggung. Dengan gerakan cepat saya menyodorkan halaman pertama buku puisi itu dan menyodorkan spidol. Ia tampak mengamati saya dan buku itu sebentar sebelum menandatanganinya. Mungkin ia tersentak, “Oh My...ini kan orang yang waktu itu?” Hahaha... Apapun itu, terserahlah. Yang penting tangannya sudah bergerak menggoreskan tanda. Setelah mengucapkan terima kasih, dengan langkah elegan saya kembali ke tempat duduk. Dalam hati, saya berteriak girang; “Ta da! Aku sukses mendapatkan tanda tangannya!” Meski tak sempat berfoto bersama, setidaknya dengan jarak yang sangat dekat saya bisa mengambil foto-fotonya. Hah! Sungguh pengalaman yang mengesankan!
Dengan didapatkannya tanda tangan dari dua pesohor itu, rasanya saya telah mencetak prestasi. Hahaha... Sungguh, mendapatkan kesempatan agar seorang penulis menorehkan tanda tangannya di buku karyanya adalah suatu pengalaman berharga yang mampu memotivasi saya untuk terus berkarya. Setidaknya, peristiwa perburuan tanda tangan orang terkenal itu menciptakan filosofi tersendiri bagi saya. Mulai dari pengejaran momen, proses untuk mendapatkannya, sampai pada ketika apa yang kita inginkan dapat tercapai. Lagi-lagi, hal ini meneguhkan prinsip tentang pencapaian mimpi; Tak ada yang mustahil selama kita berusaha.
Semoga.
***
>> Cerita tentang penggemar nekat. Boleh ditiru dan rasakan sensasinya.. ;D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H