Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyusuri Pesona Bukit Tinggi

31 Maret 2010   01:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:05 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_106827" align="alignright" width="200" caption="Jam Gadang (dok. pribadi)"][/caption] Rasa bahagia, takjub, merasa dekat dan tak ingin segera berpisah senantiasa menghinggapi perasaan saya saat menapaki lagi jalan-jalan di kota Bukit Tinggi. Chemistry yang sama yang saya rasakan ketika menelusuri jalanan di kota Yogyakarta. Entah magnet ajaib apa yang membuat saya begitu merasa lekat dengan kedua kota ini, nyaris melebihi kelekatan saya dengan kampung halaman saya sendiri. Yang pasti, kedua kota ini selalu memunculkan inspirasi baru yang membuat gairah dan semangat hidup saya meningkat. Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan mengunjungi lagi sejenak kota Bukit Tinggi. Ini adalah kali kedua saya menjejakkan kaki di kota itu. Sebelum kunjungan yang pertama lebih setahun yang lalu, sudah dari dulu sebenarnya saya ingin sekali berkunjung ke kota ini. Tapi berhubung tidak ada saudara saya yang tinggal di kota ini, maka tidak ada alasan kuat bagi saya untuk sekedar pergi mengunjunginya. Keinginan untuk berkunjung ke sana rupanya "disimpan" Tuhan, tinggal menunggu waktu saja. Mulai dari saya yang berteman akrab dengan mahasiswi-mahasiswi dari ranah Minang di kampus saya, sehingga sedikit banyaknya saya dibawakan oleh-oleh cerita plus makanan, bahkan souvenir khas dari Bukit Tinggi dan dari daerah lain di Sumatera Barat. Sampai pada akhirnya saya memiliki banyak saudara di sana karena menikah dengan seorang Uda yang kedua orangtuanya berasal dari dua daerahdi Kabupaten Agam. Ayahnya dari Banuhampu, yang merupakan kecamatan di dekat gunung Merapi dan ibunya berasal dari Kotogadang, sebuah nagari (desa) yang membentang di antara Ngarai Sianok dan  gunung Singgalang. Bisa dikatakan, kota Bukit Tinggi berada di antara kedua gunung berapi itu, Merapi dan Singgalang, tapi hanya Merapi yang diketahui masih aktif sampai sekarang. Keduanya memiliki daya pikat dan pesona yang luar biasa. Khusus untuk Singgalang, keindahannya akan sangat terasa ketika kita memandang dari Ngarai Sianok, sebuah lembah curam yang indah, yang merupakan bagian dari patahan yang memisahkan Pulau Sumatera menjadi dua bagian memanjang. Ketika keduanya disandingkan, maka yang terlihat adalah sebuah pemandangan luar biasa yang tidak menjenuhkan mata untuk memandangnya. Apalagi langit sedang cerah-cerahnya. Inilah salah satu kerinduan saya setiap kali menapakkan kaki di kota ini. Setiap sudut Ngarai Sianok ini begitu sayang bila tidak diresapi dengan sepenuh hati dan diabadikan dalam gambar. [caption id="attachment_106830" align="alignleft" width="300" caption="Ngarai Sianok dengan latar belakang Gunung Singgalang (dok. pribadi)"][/caption] Di balik keindahannya, ternyata tersimpan sejarah kelam. Masih di wilayah wisata Ngarai Sianok Jl. Panorama, Bukit Tinggi, bila kita menyusuri tangga menuju ke bawah yang terdapat di tengah-tengah taman wisata itu, terlihatlah sebuah saksi bisu kekejaman tentara Jepang yang dulu sempat menjajah bangsa Indonesia. Ya, di situlah terdapat "Lobang Jepang" yang termasyhur karena cerita-cerita di baliknya yang begitu memilukan. Lobang serupa gua itu menjalari perut bumi sampai Ngarai Sianok. Untuk memasukinya, bersiap-siaplah untuk menguatkan otot kaki karena kita akan menuruni ratusan anak tangga sedalam 64 meter. Sungguh melelahkan memang, apalagi bila akan pulang dan menaiki anak tangga yang sama. Kekuatan fisik sangat dibutuhkan untuk menjelajahi lobang ini. Tidak perlu takut memasuki lobang yang panjang ini. Setiap hari, apalagi saat musim liburan tiba, banyak rombongan pengunjung yang ingin melihat-lihat dan mengetahui sejarah lobang ini dari dekat. Untuk mengetahui sejarahnya, akan ada tour guide yang memandu dan kita akan diajak berkeliling menyusuri lorong-lorong di dalamnya. Rasa ngeri dan seram tidak lagi terlalu terasa karena lobang ini sudah dipugar. Lampu-lampu neon menerangi sepanjang jalan lobang dan beberapa lorongnya, sehingga tak perlu lagi membawa senter. Tekstur dinding-dinding lobangnya pun sudah lebih halus, tak sekasar aslinya lagi. Tinggi lobangnya juga sudah disesuaikan dengan tinggi orang dewasa sehingga lobang itu tak lagi terasa pengap seperti aslinya. Tapi tetap saja bayangan kengerian sempat terasa ketika melihat sebuah ruang bertitel "dapur" di dekat salah satu ujungnya dan ruang lain yang dulu digunakan sebagai tempat penyiksaan para pekerja paksa. Cahaya yang remang-remang dan dinding-dinding yang kusam seolah mempertontonkan kembali kekejaman penjajah Jepang. Mungkin darah sudah membanjir dan mengering dimana-mana, tapi kini agaknya sudah dibersihkan. Tapi tetap saja, sesekali terlihat juga warna-warna merah pudar serupa bekas muncratan darah di lantai atau dinding-dindingnya. Lorong yang saya susuri mungkin belum seberapa, karena lobang ini memiliki banyak cabang dan berujung pada pintu-pintu berterali besi yang mengarah ke sebuah jalan besar. Selesai menikmati keindahan eksotis Ngarai Sianok dan Lobang Jepang-nya, saya kembali ke titik awal setiap kali datang ke kota ini. Apa lagi kalau bukan Jam Gadang, landmark-nya kota Bukit Tinggi. Jam Gadang yang terletak di salah satu ujung taman itu masih saja indah dari waktu ke waktu, gagah dengan jarum-jarum jamnya yang selalu tepat waktu. Jam yang mirip Big Ben di London itu memang masih berfungsi hingga kini, jadi bukan hanya penghias kota saja. Bila lupa membawa jam, cukup menengadah sedikit ke arah Jam Gadang dan silahkan mengatur jadwal untuk melanjutkan rencana liburan; mau berbelanja kain bordir khas Bukit Tiinggi ke Pasar Ateh (Pasar Atas) yang berlokasi tepat di depannya atau mengunjungi beberapa museum dan tempat-tempat menarik seperti, Kebun Binatang Bukit Tinggi dan Museum Rumah Adat Baanjuang atau Benteng Fort de Kock, yang berada tak jauh di sekitarnya. [caption id="attachment_106832" align="alignright" width="300" caption="Lobang Jepang (dok. pribadi)"][/caption] Jika ingin berkeliling dari Jam Gadang sampai ke Jl. Panorama, banyak bendi yang menunggu penumpang yang parkir di sekitar Jam Gadang. Dengan biaya terjangkau, kita sudah diajak berkeliling menyusuri lalu lintas yang senantiasa ramai dan melewati beberapa tempat wisata di pusat kota ini. Start dari Jam Gadang, langkah-langkah kaki kuda yang pelan berirama akan mengantar kita melewati hotel-hotel yang ada di sekitar Jam Gadang, lalu melewati Kebun Binatang, Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan yang terdapat benteng Fort de Kock, lewat di bawah jembatan Limpapeh yang menghubungkan Kebun Binatang dengan Fort de Kock, terus ke Jl. Panorama dan melihat sekilas Ngarai Sianok dengan Gunung Singgalangnya, Taman Bung Hatta berikut museumnya, dan beberapa tempat lain yang menarik untuk dikunjungi. Selain mencoba serunya naik bendi ini, saya juga suka mengelilingi rute itu dengan berjalan kaki. Cuaca yang terik dan perjalanan yang cukup jauh jadi tidak terasa karena selain banyaknya pemandangan menarik di sepanjang perjalanan, semilir angin sejuk terus mengipasi tubuh yang sudah berpeluh. Lumayan, melonggarkan lambung agar dapat diisi kembali dengan santapan kuliner lezat lainnya yang dapat ditemui di beberapa tempat selama perjalanan. Hehehe... Oh ya, jangan lupa untuk berwisata kuliner di sini. Ada lapak-lapak nasi kapau yang bertebaran di belakang Pasar Ateh, warung-warung yang menjual Ampiang Dadiah dan penganan khas lainnya. Kalau ingin makan dengan selera kota besar, ada gerai fastfood Kentucky Fried Chicken dan Pizza HUT yang tak jauh dari Jam Gadang, atau Texas Chicken yang ada di dalam Plaza Ramayana, masih di sekitar Jam Gadang. Bila sudah cukup puas berkeliling kota, jangan lupa membeli keripik sanjai yang terkenal itu. Ada banyak toko yang menjual keripik ini di sepanjang jalan menuju Jl. Raya Padang Luar, tapi toko keripik sanjai "Nitta" ini yang banyak direkomendasikan. Jenis-jenis penganan yang ditawarkan pun tidak hanya keripik berbahan dasar singkong, tapi beragam, mulai dari keripik singkong biasa (tawar), keripik singkong pedas manis, keripik kue bawang, dakak-dakak, macam-macam kue putu, kacang-kacangan, sampai daging rendang yang dikeringkan. Memang, penganan-penganannya benar-benar enak, sama enaknya dengan yang ada di toko keripik sanjai "Shierley" di kota Padang. Selesai membeli keripik sanjai, sesungguhnya cerita tak berhenti sampai di situ. Masih banyak hal menarik lainnya yang bisa saya ceritakan, yang mungkin akan saya tuliskan di lain waktu. Ini baru sedikit gambaran tentang Bukit Tinggi secara umum, sesuai permintaan saudari Listiyo Fitri dalam komentarnya  di sini. >> Bagaimana mbak Listy? Mari berkunjung ke kota kelahiran Bung Hatta... :-)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun