Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Marsipature Hutanabe dan Cerita Pagi

9 April 2010   06:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:54 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_114435" align="alignright" width="300" caption="kala pagi (dok. pribadi)"][/caption] Baru kali ini saya tinggal untuk waktu yang cukup lama di daerah kampung halaman saya sendiri. Meskipun sebenarnya kampung halaman saya tepatnya bukan di Panyabungan ini, tapi tidak terlalu jauh dengan daerah asal kedua orangtua saya di kota Padang Sidempuan dan desa Aek Marian di Mandailing Natal. Dari segi penduduknya, kedua tempat itu sama saja dengan Panyabungan ini, mayoritas bersuku Mandailing. Maka tak sulit bagi saya untuk beradaptasi di sini. Bahasa Mandailing saya yang selama ini masih pasif pun saya coba praktikkan agar lebih lancar. Saya gunakan bahasa itu ketika naik becak mesin (becak motor) atau ketika berbelanja di warung dan pasar. Hasilnya lumayan, bahasa Mandailing saya cukup lancar sekarang, meskipun sesekali masih terpatah-patah. Selain karena masih di kampung halaman sendiri, suasana kota kecil ini membuat saya nyaman. Berbeda kenyamanannya dengan ketika saya tinggal di kota besar. Kenyamanan yang ditawarkan sebuah kota kecil adalah kebersahajaannya yang masih terasa meskipun sudah mulai mencicip modernisasi ala kota besar; adanya toko swalayan atau minimarket, restoran ala café keluarga yang penataannya cantik seperti yang ada di kota besar, sampai menu kuliner yang mulai me-nusantara sampai me-mancanegara; ayam penyet, sate Madura, tongseng kambing, sampai burger, chicken katsu, ebi katsu, dan chicken teriyaki. Untuk jenis makanan yang tiga terakhir, sudah bisa ditebak, pelanggan restorannya tidak terlalu ramai, biasanya hanya dikunjungi para pendatang atau orang-orang yang sudah biasa ke kota besar. Agar lebih menikmati kota ini, setelah Subuh tadi saya mencoba menjalankan ritual baru, berjalan-jalan menghirup segarnya udara pagi. Niat saya ingin berjalan sampai ke jalan lintas timur kota Panyabungan, yang sebenarnya tak berapa jauh dari tempat tinggal saya di kota ini. Sudah sejak lama saya ingin ke sana dengan berjalan kaki, namun baru kali ini niat itu bukan hanya sekedar niat. Biasanya saya urung karena kesibukan pagi hari dan tanpa sadar sudah pukul 08.00 WIB. Hari sudah terang, jalanan sudah ramai oleh anak-anak sekolah, para pegawai rumah sakit dan kantoran. Suara bising kendaraan yang lalu lalang juga turut meramaikan suasana. Bila sudah begitu, saya sudah malas saja untuk keluar rumah dan kembali hanya berniat untuk berjalan pagi esok dan esoknya lagi. Ternyata asyik juga berjalan pagi seorang diri di kota kecil ini. Banyak hal yang bisa dilihat. Dari jauh sudah tampak pegunungan yang masih berselimut kabut putih bersih, sangat mengundang untuk mendekatinya. Saya pilih jalan belakang yang berbelok-belok, melewati kantor pos, bangunan sekolah negeri, kantor Telkom, dan beberapa warung yang menjual penganan sarapan. Ketika akhirnya saya sampai ke jalan lintas timur yang merupakan jalan besar itu, saya semakin menikmati bernafas dengan menghirup udara bersih sambil mata memandang ke sawah hijau berlatar belakang pegunungan dan langit yang sebagian masih berwarna oranye kekuning-kuningan. Wah, serasa memandang lukisan pedesaan. Indah sekali. Sepanjang jalan yang masih cukup sepi itu, saya menjumpai rumah-rumah penduduk yang kebanyakan bertipe sederhana. Di belakang rumah mereka yang menghadap jalan, saya melihat ternak-ternak ayam atau bebek yang riuh berkeliaran. Anak-anak dan remaja  berseragam SD, SMP, dan SMA mulai keluar dari rumah mereka dan berjalan berlawanan arah dengan saya, menuju sekolahnya. Menoleh ke kanan, di seberang jalan saya melihat sungai yang airnya keruh, namun anehnya, masih ada sekumpulan ibu-ibu yang mencuci di situ, bersama anak-anak mereka yang masih balita. Langsung timbul pikiran dalam benak saya; mengapa mereka masih melakukan kegiatan MCK (mandi, cuci, kakus) di sungai keruh itu? Apakah memang karena ketiadaan biaya untuk mengalirkan fasilitas PAM ke rumah mereka? Padahal mereka masih di kota yang sama, bukan di tempat terpencil yang hanya mengandalkan air sungai. Memang sudah sering saya mendengar dan melihat sendiri tentang adanya kesenjangan yang cukup kentara antara si kaya dan si miskin di daerah ini. Kemakmuran si kaya terlihat dari pemilikan rumah mewah model terkini dan kendaraan-kendaraan keluaran mutakhir. Sementara si miskin, untuk ongkos transportasi berobat ke rumah sakit umum pun kadang tidak sanggup. Sudah merupakan rahasia umum kalau status sosial ekonomi sangat menentukan posisi seseorang di daerah ini. Dalam perhelatan apapun, sering saya melihat orang-orang, terutama wanita yang berasal dari golongan sosial ekonomi menengah ke atas tampak begitu berkilau karena pakaiannya yang wah dan perhiasannya yang cukup ramai hampir di sekujur badan. Begitu menyilaukan. Bahkan pernah saya menghadiri suatu acara pernikahan dimana tempat untuk para pejabat dan orang-orang yang dianggap penting di daerah itu dipisahkan dengan rakyat jelata. Menu makanannya pun berbeda, meski saya kira masih sama-sama enak. Duh, luar biasa memang. Baru kali ini saya melihat pesta pernikahan dengan sistem kasta seperti itu. Entahlah apa maksud si empunya acara. Semoga hanya terjadi di perhelatan itu saja. Dalam perjalanan pulang dari jalan-jalan pagi itu, saya kembali melihat beberapa baliho bergambar pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Mandailing Natal yang akan bersaing dalam pilkada Juni 2010 nanti, terpampang di tepi-tepi jalan. Tampak selalu senyum sumringah para calon-calon kepala daerah itu, berharap dipilih. Pose santun dan berwibawa pun diumbar kemana saja dan kepada siapa saja rakyat di daerah itu. Namun seringkali bersamaan dengan senyum-senyum santun dan berwibawa itu bermain pula politik kotor; politik uang. Agaknya sudah menjadi hal yang biasa di daerah ini setiap menjelang pilkada, akan ada banyak pundi-pundi uang yang digelontorkan untuk menyogok rakyat yang sebagian besar masih hidup kekurangan. Mungkin ini ciri khas dari pilkada di daerah manapun di Indonesia. [caption id="attachment_114438" align="alignleft" width="300" caption="juga kala pagi (dok. pribadi)"][/caption] Para perantau yang sudah pergi jauh dan tidak lagi terlalu mengetahui perkembangan daerahnya tiba-tiba terpanggil untuk pulang karena ada maksud yang sejatinya hanya untuk menambah pundi-pundi harta mereka dengan menguras sumber daya di kampung halamannya sendiri. Budaya merantau yang pada awalnya diniatkan sebagai usaha untuk mencari penghidupan yang layak, namun pada akhirnya seringkali para perantau yang sudah hidup senang di perantauan biasanya akan berniat kembali ke kampung halamannya hanya bila ada kepentingan politik seperti ini. Niat itu hanya akan bisa dilaksanakan dengan baik dan lancar apabila mereka menjadi kepala daerah. Bila pun para calon kepala daerah ini berniat baik untuk memajukan daerahnya, tapi para kaum birokrat yang di bawahnya lah yang sibuk melakukan praktik politik kotor berhadiah uang panas dengan mengandalkan nama si atasan. Maka tak heran, praktik KKN sudah menjadi hal yang biasa. Bisa dikatakan, bukan di kota kecil ini saja, tapi hampir menyeluruh ke pemerintahan-pemerintahan daerah di sekitarnya. Ini menurut hasil pengamatan dan interaksi saya dengan orang-orang yang bersentuhan langsung dengan sistem birokrasi di daerah ini. Mungkin yang bisa diacungi jempol, permainan mereka sungguh cantik, tidak tercium para penegak hukum. Kalaupun tercium, mungkin tinggal bermain "kedip mata" saja dan masalah pun beres. Akhirnya, rakyat jelata tetap saja miskin dan hanya sedikit menikmati hasil pembangunan. Saya jadi berpikir, bisa jadi memang, lambatnya pergerakan roda pembangunan di daerah-daerah bisa dikarenakan perantau-perantau yang sudah sukses di tempat lain tidak berniat pulang dan membangun sendiri daerahnya. Sangat jarang ditemui para sarjana itu pulang ke kampung halamannya dan berniat tulus untuk mengaplikasikan ilmu yang ia peroleh demi kemaslahatan masyarakat di daerah asalnya sendiri. Mungkin karena dari segi ekonomi, penghasilan yang diperoleh di perantauan  lebih besar daripada yang bisa diperoleh bila mereka pulang ke kampung halaman. Adalah hal yang manusiawi memang, bila masing-masing orang pastinya berusaha untuk mencapai kehidupan yang layak bagi dirinya sendiri, mengingat kondisi negara yang belum bisa memberikan penghidupan yang layak bagi masyarakatnya secara merata di seluruh daerah. Namun begitu, kapan pula pemerataan pembangunan itu akan tercapai bila tidak dimulai dari para perantau yang sukses itu? Atau minimal dari diri kita sendiri, mencoba melakukan perubahan sekecil apapun. Saya pun mulai mencoba merefleksikan pada diri saya sendiri, apalagi mengingat kenyamanan yang saya rasakan selama tinggal di daerah ini, mulai terbetik keinginan untuk benar-benar tinggal dan berkarya di sini, setidaknya selama beberapa waktu. Agaknya ada baiknya untuk kembali menerapkan konsep Marsipature Hutanabe yang dicetuskan mantan gubernur Sumatera Utara, Alm. H. Raja Inal Siregar, ketika masa pemerintahannya dulu, yang artinya "Mari membenahi kampung halaman kita masing-masing". Kembali ke asal untuk berkarya. Jika niat itu benar-benar terlaksana, mungkin saya akan mengaplikasikan ilmu yang saya peroleh di bidang yang bersinggungan dengan dunia pendidikan dan Psikologi, atau setidaknya menjadi teman bagi banyak orang untuk berkeluh kesah tentang hidup mereka dan mencoba menularkan energi positif yang saya rasakan ketika melihat keindahan alam daerah ini. Hmmm...kenapa tidak? Semoga saja bukan sekedar niat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun