Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Josh...si "Hurried Child"

16 Januari 2010   17:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:25 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Anak lelaki bermata sipit itu berdiri di depan pintu. Tangan kanannya erat memegang tangan kiri pria dewasa yang tampaknya adalah ayahnya. Anak itu memakai seragam sekolah TK berwarna putih ungu. Pria dewasa yang selanjutnya kutahu memang ayahnya itu lalu menyuruhnya membuka sepatu dan masuk ke dalam ruangan. Berjalan beberapa langkah hingga sampai di samping sebuah kursi. Ia hanya berdiri saja di situ sambil tangannya memegang erat tangan kiri ayahnya. Saat aku mendekatinya, tubuhnya tampak mundur ke belakang dan sebagian wajahnya ia sembunyikan di balik punggung ayahnya sambil sesekali mencuri pandang ke arahku. "Hallo...siapa namanya?," tanyaku sambil mengulurkan tangan. Tak lupa kupasang senyum semanis mungkin. "Lho...kok diem aja? Hayo...kamu malu ya?," godaku. Senyumnya mulai mengembang sedikit. "Nama ibu...Nisa...nama kamu siapa?," tanyaku lagi. Ia masih bergeming. "Hayo Josh...jawablah...salam tuh ibunya...bilang nama kamu tuh siapa..," ujar ayahnya dengan dialek tionghoa yang kental. Suaranya setengah memaksa. Mendengar ayahnya berkata demikian, suara lirih Josh pun terdengar. "Josh...," katanya sambil menyambut uluran tanganku lalu cepat-cepat menariknya kembali. Josh, anak lelaki putih, bermata sipit, dengan rambut hitam lurus. Usianya saat itu masih 4 tahun. Ia datang bersama ayahnya ke Biro Psikologi tempat aku magang sebagai asisten psikolog. Pertama kali ia datang itu, sikapnya lebih banyak diam dan sering tampak cemberut. Biarpun begitu, aku sering tersenyum dibuatnya. Ia terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Bibir merahnya, kulit putihnya dan rambut hitamnya yang kontras itu membuatnya lebih terlihat seperti boneka Cina. Apalagi bila saat kutanya, alisnya terangkat membentuk lengkung bulan sabit ke bawah dengan mulut yang setengah menganga, pertanda ia kurang paham dengan ucapanku. Aku maklum, karena ternyata bahasa sehari-harinya lebih banyak menggunakan bahasa Hokkien dan bahasa Inggris. Jadi terkadang aku meminta bantuan ayahnya bila aku ingin menanyakan sesuatu padanya atau aku yang mencoba berbahasa Inggris agar ia mengerti.

Ayahnya mengajaknya ke tempat ini bukan tanpa alasan. Ia datang membawa anaknya ke biro psikologi ini dengan sebuah keluhan; Josh sering berperilaku nakal di sekolahnya. Nakal dalam arti sering berkelahi dengan teman-temannya sehingga gurunya kewalahan dan harus memanggil orangtuanya berkali-kali. Akhirnya sang guru wali kelas menyerah, meminta orangtua Josh agar Josh diperiksakan saja ke psikolog. Ayah dan ibunya pun setuju karena mereka juga mendapati kelakuan nakal Josh di rumah. Ia sering melawan, berteriak-teriak, dan mengganggu adik perempuannya yang masih berumur 2 tahun. Ujung-ujung tingkahnya adalah ia dan adiknya itu sering berkelahi sehingga membuat marah orangtuanya. Karena sering dipusingkan oleh kelakuan Josh, orangtuanya yang menerapkan disiplin keras sering menimpakan hukuman fisik pada Josh. Ayahnya mengakui kalau Josh sering dipukul bila ketahuan mengganggu adiknya. Bukan hanya karena itu saja, hukuman fisik itu juga berlaku bila Josh tidak mau belajar atau mengerjakan PR dari sekolah atau tempat lesnya. Tidak tanggung-tanggung, hukuman fisik itu menyebabkan kedua kakinya terlihat memar-memar biru karena sering dipukul dengan rotan. "Iya bu..si Josh ini nakal kali anaknya. Wah...pokoknya susahlah dibilangin. Dia sering itu gangguin adeknya. Adeknya lagi tenang-tenang main, eh...dia ambillah mainan adeknya itu...macemlah pokoknya. Disuruh belajar kadang nggak mau, melawan dia." "Padahal maksud kita kan baik, biar dia pinter dan sukur-sukur nanti dapat juara. Kalo juara, kan dia juga yang seneng. Ini malah malas-malasan. Makanya kadang kalo dia malas, ngerjain PR-nya misalnya, saya marahin aja dia ni...kadang saya pukul juga...karna dia nggak mau ngerti kalo dibilangin." Perkataan ayahnya itu membuatku tersenyum kecut. Saat ia berbicara panjang lebar itu, sesekali kualihkan pandangan ke Josh. Ia sedang asyik bermain mobil-mobilan yang kutaruh di meja tadi. Awalnya aku berpikir kalau Josh memanglah anak yang nakal, yang memiliki kecenderungan agresivitas yang tinggi seperti kata ayahnya. Namun aku tak yakin begitu saja. Pasti ada sebab di balik timbulnya perilaku agresifnya itu, yang kemungkinan besar dikarenakan faktor lingkungan, khususnya keluarganya. Kiranya dugaanku itu benar. Sejak awal aku melihat interaksi yang kurang sehat antara Josh dengan ayahnya. Ayah Josh terlihat sebagai sosok yang memiliki otoritas penuh terhadap anaknya. Menurut ayahnya, seluruh kegiatan Josh sudah dijadwal secara ketat. Pagi sekolah, sore les tambahan; les sempoa, les bahasa Inggris, dan les menggambar, dan malamnya mengerjakan PR yang selalu ada setiap hari. Josh hanya memiliki kesempatan bermain dan beristirahat sebentar pada siang harinya, dan baru boleh tidur bila PR-nya sudah selesai, jam berapapun itu (terkadang ia tidur di atas jam 10 malam karena PR dari sekolah dan les yang cukup banyak). Bila ia berusaha mangkir dan menyerah saat belajar malam itu, maka ia harus bersiap-siap dihukum; dimarahi, dipukul, atau kedua-duanya...dan Josh hanya bisa menangis dan memohon-mohon agar tak dipukuli lagi. Hmmfh...agak bergidik aku mendengarnya, dan lelaki dewasa di depanku ini masih saja terus bercerita tentang didikannya terhadap Josh yang menurutnya baik untuk masa depannya. Aku sungguh-sungguh menyesalkan sikap ayahnya ini. Ditambah lagi setelah kutahu ibunya juga bersikap sama seperti ayahnya. Ahh...betapa masa kecil yang kurang indah buat Josh... Orangtua Josh "boleh" menyebutnya anak yang nakal, tapi bagiku, Josh adalah anak yang istimewa. Ia cerdas,  karena berdasarkan hasil pemeriksaan tes inteligensi, IQ-nya termasuk tinggi dengan level superior. Kecerdasannya ini terlihat salah satunya ketika ia cepat sekali dalam berhitung dengan menggunakan sempoa. Lebih-lebih kemampuannya ini membuatnya pernah memenangkan lomba sempoa yang pernah diadakan di tempat lesnya. Ayah dan ibunya pun pastinya senang dan bangga atas keberhasilannya itu. Namun Josh? Saat kutanyakan bagaimana perasaannya saat ia menang itu, maka jawabannya... "senang...," nadanya datar tanpa ekspresi, dan aku memahaminya sebagai sebuah keterpaksaan. Josh...si anak lucu dan menggemaskan itu...kurasa hanyalah anak biasa yang ingin waktunya lebih banyak untuk bermain. Aku senang melihatnya tersenyum dan tertawa gembira bila ia sedang bermain denganku. Terkadang kami menggambar bersama, bermain hitungan Matematika atau bermain mobil-mobilan. Kulihat ia sangat senang bermain mobil-mobilan. Ia tampak begitu bersemangat dan sibuk mondar-mandir saat mengejar mobil-mobilannya yang meluncur bolak-balik. Sesekali terdengar tawanya yang riang bila mobil-mobilannya itu terbalik atau terjepit di sela-sela kursi atau meja ruang sesi kami. Bila ia tertawa, maka hilanglah kedua bola matanya sehingga yang terlihat hanyalah dua garis yang ditutupi bulu mata hitam lebat dengan gigi putih yang berjejer rapi. Ahh...Josh...korban dari keegoisan orangtua. Ia hanyalah anak biasa seperti anak-anak lainnya...yang ingin waktunya lebih banyak untuk bermain...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun