[caption id="attachment_86741" align="aligncenter" width="640" caption="Hmmm...hanya 10218 kata...tapi saya cukup bangga... ;D (dok. AFR)"][/caption]
Kira-kira sebulan yang lalu, Desember 2010. Saya tergoda dengan postingan mbak G dan mbak Endah Raharjo tentang event menulis yang akan diadakan Kampung Fiksi selama bulan Januari 2011. January's 50K, begitu tajuknya. Menulis 50. 000 (lima puluh ribu) kata selama bulan Januari. Terserah menulis apa saja asalkan beraroma fiksi; novel, kumpulan cerpen, atau kumpulan puisi. Tapi lima puluh ribu kata? Mungkinkah? Saya tak berani berpikir untuk ikut serta.
Lalu saya hanya terkagum-kagum dan berkomentar tanda salut pada para nekaders (sebutan untuk para kompasianer yang mengikuti event ini) yang nama-namanya ditayangkan di salah satu postingan mbak G. Saat itu saya benar-benar tak berani nekad. Hahahah... Â Lima puluh ribu kata??! Membayangkannya saja saya sudah sesak nafas. Â Tapiii...eh...tapiii...ternyataaa...eh...ternyataaa... mbak Sari Novita dan mbak G mulai unjuk kebolehan dalam hal rayu merayu di kolom komentar dalam postingan itu. Menurut teori, orang yang pandai membujuk dan memengaruhi/persuasif akan sukses membujuk dan memengaruhi orang yang mudah dibujuk/dipengaruhi...(halah...hahahah...). Dan orang yang mudah dibujuk/dipengaruhi itu tak lain tak bukan adalah saya. Hiks...
Sempat ragu pada awalnya -yang kemudian saya tahbiskan itu sebagai penyebab pertama mengapa saya gagal mencapai 50 ribu kata yang berharga itu- namun teman-teman Kampung Fiksi lainnya tetap memberikan semangat. "Hmmm...baiklah...akan saya coba," akhirnya saya menyerah pada keadaan (dibujuk). Hahahah... Maka jadilah saya ikut terdaftar sebagai salah satu nekader yang benar-benar nekad! Dengan sedikit persiapan dan semangat yang sesungguhnya belum 'panas', saya nekad terjun bebas ke kawah fiksi ini, mencoba menuai sebanyak mungkin kata-kata untuk ditulis.
Namun dalam perjalanannya, ternyata tak semulus yang saya kira. Kenyataannya, sulit beradaptasi dengan kondisi baru yang sebenarnya mengharuskan saya untuk tak lupa menulis setiap hari. Saya belum terbiasa dengan 'beban' menulis seberat itu. Sudah beberapa bulan terakhir ini saya jarang menulis. Manajemen waktu saya juga terkadang kurang efektif dan efisien. Ditambah lagi banyak hal tak terduga yang terjadi. Bila dihitung-hitung, waktu saya aktif menulis sangat sedikit. Ditambah lagi pikiran saya yang kurang fokus pada aksi ini saja.
Dan sayangnya, saya termasuk orang yang sulit berkonsentrasi bila tidak mengetik langsung di atas keyboard. Jadi sangat tergantung pada laptop, paling tidak keypad HP. Padahal ini adalah momen menulis yang penting bagi saya, karena ini berkaitan dengan cita-cita saya untuk mempersembahkan sebuah buku untuk Ayah saya di hari ulang tahunnya yang ke-70, insya Allah pada tanggal 31 Desember 2011 nanti. Jadi sebenarnya cukup dikejar target, mengingat belum semua hal berkaitan dengan diri Ayah yang sempat saya tulis dan simpan di otak untuk divisualisasikan dalam cerita. Belum lagi tentang bagaimana perjalanannya nanti agar dapat diterbitkan menjadi sebuah buku. (Ehem, mungkin ini sejenis curhat yang cenderung ke arah rasionalisasi. Hahahah...)
Hmmm...sedikit cerita tentang novel yang sedang saya garap ini (saya terkesan sendiri dengan kata-kata "menggarap novel". Serasa sudah menjadi penulis betulan. Hahahah...) Konsepnya adalah novel biografi. Jadi untuk mudahnya kalau dicontohkan, konsepnya ini sejenis dengan karya-karya Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi. Memang, saya akui, mungkin saya hanyalah salah seorang pengekor. Tapi memang saya rasa, untuk sebuah buku biografi, konsep yang menarik adalah dengan memvisualisasikan riwayat hidup seseorang dalam bentuk novel/cerita.
Yang namanya cerita, pastilah ada bumbu fiksinya, tanpa menghilangkan esensi sejati dari kisah nyata tersebut. Seorang Andrea Hirata pun mengakui kalau karya-karyanya dibumbui hal-hal yang sifatnya fiksi. Pastilah! Takkan mungkin Andrea dapat mengingat setiap detail peristiwa berikut semua dialog yang terjadi sepanjang hidupnya lalu mengisahkan itu semua secara rinci dan pasti. Jelas semua itu tidak persis benar dengan apa yang dialami. Yang diingat tentu adalah potongan-potongan kisah-kisah menarik yang terjadi sepanjang hidupnya lalu coba diceritakan kembali dalam bentuk yang enak dibaca. Namun harap diingat, cerita tersebut tetaplah tidak  mengenyampingkan akurasi data dan esensi dari kejadian nyata tersebut.
Lalu saya pun mencoba mengadaptasi konsep tersebut dalam penulisan buku biografi Ayahanda. Saya mencoba menggambarkan beragam peristiwa yang dialami Ayah saya dalam bentuk cerita dengan narasi, dialog dan alur sejauh yang bisa saya tangkap dari cerita-cerita Ayah saya tentang kisah hidupnya. Hasilnya, saya merasa enjoy menuliskan kisah-kisah tersebut. Saya bebas berimajinasi namun tak lupa tetap berpegang pada data-data yang menjadi acuan. Salah satu episode dari masa kecil beliau lalu saya publikasikan dengan judul Tentang Ayah (50K).
Niat mulianya adalah untuk mengabadikan momen-momen bersejarah dalam hidup Ayah agar intisari kisahnya yang tertulis itu senantiasa dikenang dan menjadi inspirasi bagi seluruh keturunannya. Jadi, yang utama adalah dalam lingkup keluarga dan orang-orang terdekat. Namun tetap tidak menutup kemungkinan apabila dalam perjalanannya nanti novel itu juga dipublikasikan dalam lingkup yang lebih luas. Yang penting, saya berusaha maksimal untuk dapat merealisasikan cita-cita saya tersebut, bagaimanapun bentuk hasil akhirnya nanti.
Dan sekarang, saya sudah menjalani tahap awalnya. Mulai menuliskan impian itu kalimat demi kalimat. Momen January's 50K ini bisa dikatakan sebagai pelecut semangatnya. Berakhirnya event yang rencananya akan dibuat tahunan ini, bukan berarti memadamkan semangat menulis kelanjutannya. Justru dengan adanya event ini, saya jadi tahu sejauh mana kemampuan dan komitmen saya untuk menulis dan apa-apa saja yang menjadi kekurangan sebagai bahan evaluasi ke depannya. Meski mungkin dalam perjalanannya terasa banyak rintangan atau hal-hal tak terduga, semoga semangat itu tetap membara sampai membuahkan hasil yang nyata.