[caption id="attachment_148938" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com/kristikislami.blogspot.com)"][/caption] "Semalam, Bapakmu minta dibelikan kain kafan," ujar Ibu sungguh-sungguh padaku ketika aku masih dengan lahap mengunyah nasi gulai ayam kesukaanku. Hampir aku tersedak, tapi Ibu tak peduli sambil melanjutkan ceritanya tentang Bapak semalam. "Lalu, apa yang Ibu katakan?" tanyaku setelah Ibu selesai bercerita. "Ibu bilang begini, 'Bapak tenang sajalah. Nanti kalau terjadi apa-apa pada Bapak, sudah ada itu yang mengurusnya. Tak usahlah Bapak berpikir macam-macam dulu'," Ibu menirukan ucapannya sendiri. Aku melanjutkan mengunyah, tapi kini dengan lebih perlahan. Mungkin terdengar aneh, tapi perkara seperti ini sebenarnya sudah sering kami bicarakan. Kami, yaitu Bapak, Ibu dan aku. Entahlah. Mungkin karena aku yang lebih dekat dengan mereka saat ini dibandingkan kakak-kakakku yang semuanya sudah berumah tangga. Pernah pada suatu waktu pada 2 tahun yang lalu. Saat itu aku baru saja pulang dari kampus tempatku mengajar ketika Ibu tiba-tiba memintaku ke ruangan tengah. Bapak sedang menatap layar televisi yang sedang menyiarkan berita bencana gempa di suatu daerah. Begitu aku duduk, Bapak langsung mematikan televisi lalu memandang Ibu sambil memberi isyarat agar Ibu memulai pembicaraan. Aku yang masih bertanya-tanya lantas diam, bersiap-siap mendengarkan. "Kamu sudah makan belum, Ratmi?" pertanyaan pembuka Ibu. "Sudah, Bu. Tadi, di kampus. Ratmi kira langsung saja, Bu. Memangnya ada apa?" ujarku tak sabaran. Ibu menoleh ke Bapak sejenak sebelum melanjutkan, "Kamu kan tahu, Bapak dan Ibu sudah berumur. Kami berdua sudah kepala 6." Ibu diam sejenak. Agak lama hingga aku makin penasaran. "Lalu?" "Kalau sudah umur segini, pasti yang sering teringat itu tentang...kematian." Ibu menekankan suaranya pada kata "kematian". Bapak masih diam mendengarkan. Dahiku berkerinyit. "Iya, Ratmi tahu. Lantas?" "Yah, kami ingin bersiap-siap saja menghadapi kapan saatnya tiba. Persiapan rohani, pastinya.' "Iya, Bapak dan Ibu sudah lebih sering ikut pengajian tiap Minggu," kataku menambahkan. "Nah, kamu sudah tahu itu. Mungkin sekarang saatnya bagi kami untuk...," "Membuat surat wasiat." Akhirnya Bapak turut bicara, melanjutkan perkataan Ibu. Hening kemudian. Jantungku mendadak berdegup lebih kencang. Waktu itu perasaanku sulit kujelaskan. Antara ngeri, kalut, merinding, bingung, takut, sedih, sekaligus tak suka kalau Bapak dan Ibu sudah berpikir ke 'sana'. Bagaimanapun, aku satu-satunya anak mereka yang belum berumah tangga. Jalanku masih panjang. Aku tak ingin di saat aku masih membutuhkan keberadaan mereka, mereka sudah lebih dulu berpulang. "Maaf ya, Nak...kami sudah membuatmu bingung. Maksud kami sebenarnya baik. Supaya kelak ketika kami dipanggil Allah, kami sudah tenang di jalanNya. Tidak lagi dibebani masalah duniawi. Kamu bisa mengerti, kan?" Aku mengangguk pelan sambil menunduk. Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. Belum apa-apa aku sudah membayangkan situasi bila mereka telah tiada. "Kamu jangan sedih begitu. Kematian itu pasti. Kita tidak tahu siapa di antara kita yang lebih dulu dipanggilNya. Ingatlah hadits Rasulullah SAW; sesungguhnya manusia yang paling cerdas itu adalah manusia yang senantiasa mengingat mati. Nah, Bapak dan Ibu ingin anak-anak kami juga demikian. Maksudnya bukan mengajarkan pesimis, namun sebaliknya, agar kita bersiap-siap menghadapi ajal yang kapan saja dapat menjemput dengan persiapan amal saleh," Bapak berkata dengan nada suara yang lembut namun tegas. Kata-kata Bapak itu kembali terngiang-ngiang di telingaku. Sejak akhirnya aku mengetikkan surat wasiat yang bertandatangan Bapak dan Ibu, kami pun kadangkala berdiskusi agama tentang hal itu. Tanpa sadar aku pun berlaku seperti bersiap-siap kehilangan mereka. Aku semakin sadar akan arti kehadiran mereka dalam kehidupanku. Betapa mereka berdua adalah makhluk Allah yang luar biasa bagiku. Kami jadi lebih sering melewatkan waktu bersama dengan penuh hikmah. Kasih sayangNya benar-benar ditunjukkanNya dengan kehidupan keluarga yang harmonis dan tenteram. Semua kakak-kakakku tak tahu menahu perihal surat wasiat itu. Namun tidak pun diberitahu, mereka juga adalah anak-anak Bapak dan Ibu yang berbakti pada keduanya. Nyaris tidak ada pertengkaran ataupun masalah dalam keluarga kami. Dan kini, apakah ini pertanda Bapak akan lebih dulu pergi? "Ratmi ingat, Bu. Waktu itu Bapak pernah cerita. Ketika pergi haji, Bapak berdo'a di Multazam agar Bapak diperkenankan Allah pergi ke tanah suci sampai 5 kali. Ratmi rasa, berdo'a di tempat mustajab seperti itu insya Allah, pasti akan dikabulkan Allah." Ibu seperti mengingat-ingat. "Iya ya. Bapak pernah berdo'a begitu. Sampai sekarang, Bapak sudah pergi berhaji 2 kali, umroh 1 kali. Minggu lalu, Pak Farid, tetangga kita, meminta Bapak ikut bersamanya tahun depan, dengan niat untuk menghajikan Bapaknya yang sudah meninggal." Bapak memang seorang tokoh yang dituakan di lingkungan rumah kami. Karena ketokohannya itu, beliau diangkat masyarakat sebagai nazir masjid. Pastilah karena itu Bapak yang diajak Pak Farid menghajikan orangtuanya. Aku yakin Ibu juga berpikir hal yang sama denganku. Sebenarnya ini sudah tidak pantas kami duga-duga. Ini tentang ajal, kematian. Hanya Allah yang Mahatahu. Tapi jauh di lubuk hati, kami berdo'a agar Allah mengabulkan do'a Bapak, sehingga kami merasa lebih tenteram, Bapak tak akan pergi cepat. Tapi kemudian aku beristighfar. Ini pemikiran manusia yang masih mencoba menawar pada Tuhannya. Tetap saja manusia adalah makhluk yang lemah, tak tahu rahasia Tuhan. "Ya sudahlah, Bu. Ini perkara Allah, bukan kita. Yang penting kita berdo'a untuk kesehatan dan keberkahan umur Bapak. Kalau Bapak minta kain kafan lagi, bilang saja seperti yang Ibu bilang semalam. Anak-anak Bapak, para tetangga, kerabat dan teman-teman Bapak pasti banyak yang mengurusi." Ujarku menutup pembicaraan. Tak ingin aku larut dalam kesedihan yang tak jelas seperti ini. Ibu mengangguk. Namun jauh di dalam hatiku, ada keresahan yang mengambang. Terlintas kekhawatiran akan janji hati yang tak bisa kupenuhi bila Bapak telah benar-benar pergi. *** Bukannya aku sengaja, tapi kurasakan wajahku yang pias begitu aku mendengar kabar kalau kakak keduaku ingin mengajak Bapak dan Ibu pergi umroh tahun ini. Mereka akan pergi berombongan dengan keluarga abang iparku. Sekarang bulan Januari. Rencana mereka berangkat bulan April. Ada waktu 3 bulan sebenarnya, tapi aku merasa waktu itu tak cukup untuk menuntaskan janjiku pada Bapak. Meski aku tak pernah mengutarakannya langsung, tapi janji yang kubuat sendiri itu telah telanjur menancap dan mengakar di dalam hatiku. Aku ingin membuat Bapak bangga dengan predikat kelulusanku nanti. Aku yang sejak satu setengah tahun yang lalu mengambil magister, ingin mempersembahkan sebuah predikat cum laude, khusus kudedikasikan untuk Bapak. Sejauh ini aku sudah menghitung nilai-nilai IPK-ku pada tiap semester, dan bila kalkulasiku tidak meleset, ditambah dengan nilai tesisku nanti yang kuprediksikan akan memperoleh nilai minimal B, aku sudah mencapai targetku itu. 3,77. Sebuah angka keramat yang kuraih dengan penuh perjuangan selama kuliah magister. Itu angka yang sudah melewati standar capaian untuk memperoleh predikat bergengsi itu. Buah perjuangan yang bermuara pada satu niatan saja; aku ingin Bapak bangga padaku. Kini kenyataan bahwa kakakku ingin mengajak Bapak ke tanah suci, membuatku kembali gundah. Ini berarti kali kelima Bapak ke tanah suci dan itu berarti...ah...mungkinkah? Sebenarnya aku sedang cemas dengan pikiranku sendiri. Resah oleh hal yang tak pasti. Bagaimana bisa pikiran-pikiran negatif ini masih terendap dalam pikiranku? Bukankah pada kenyataannya Bapak masih sehat-sehat saja? Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi dasar diriku yang mungkin terlalu melankolis, segala hal dipikirkan bagai cerita dalam sebuah novel. Aku mencoba terus menerus menekan dan mengalihkan pikiran-pikiran negatifku perihal Bapak ke hal-hal lain. Aku mencoba berkonsentrasi pada pengerjaan tesisku yang hampir final. Tapi tetap saja, bayang-bayang kematian yang mungkin terjadi pada Bapak kapan saja selalu terlintas. Naïf sebenarnya. Apa yang selalu terbayang dalam pikiranku ini sudah seperti mendahului takdir Tuhan. Padahal siapa saja bisa mati tanpa tahu kapan dan dimana. Lalu, apa yang salah dengan kematian? Itu hanya persoalan waktu. Pada akhirnya, pertahananku akan munculnya pikiran-pikiran yang cenderung paranoid seperti ini kutumpahkan dalam bentuk bujuk rayu pada kakakku agar tidak jadi mengajak Bapak pergi. "Memangnya kenapa kalau aku mengajak Bapak?" Itu pertanyaan yang sudah kuduga keluar. Aku sempat terdiam. Tak ada alasan masuk akal untuk sesuatu yang tak pasti kapan terjadi, namun kupaksakan juga berargumen. "Bapak kan sudah tua. Lihat saja, jalannya sudah semakin pelan. Bukannya lebih baik Bapak tinggal di rumah saja? Daripada Bapak harus jauh-jauh beribadah ke Makkah sana. Bukankah Bapak sudah berkali-kali pergi ke sana? Bukan sekali dua kali, tapi empat kali!" Kening kakakku mengerut. "Lalu? Aku tak paham maksudmu apa. Kau mau ikut? Kalau kau mau ikut, nanti aku tanyakan dulu sama abangmu." "Bukan, kak. Aku tak mungkin ikut karena uangku sendiri belumlah cukup untuk pergi ke sana. Aku hanya khawatir akan kesehatan Bapak. Itu saja. Aku...aku sayang sekali pada Bapak." Sesaat aku mendengar nada melengos kakakku. "Memangnya kami, kakak-kakakmu ini tak sayang pada Bapak? Apa kamu saja yang paling berhak menyayangi Bapak? Dengar, Ratmi. Aku mengajak Bapak justru karena rasa sayangku yang juga besar pada Bapak, sama sepertimu." Mulai ada penekanan pada kata-kata kak Risma. Aku tak berkata apa-apa lagi. Aku juga tak mengerti mengapa aku begitu terpengaruh akan pemikiranku sendiri yang belum pasti terjadi. Ah, rasanya konyol sekali. Apa salahnya jika Bapak pergi? Memangnya ada jaminan Bapak akan dipanggilNya begitu selesai melaksanakan umroh? Siapa yang tahu ajal? Siapa yang berhak mengaturnya? Detik ini pun Bapak, Ibu, aku, kak Risma, atau siapapun di antara kami bisa dipanggilNya begitu saja tanpa firasat atau tanda-tanda pemberitahuan apapun. Diam-diam rasa malu karena merasa ikut mencampuri urusan takdirNya menyelusup hatiku. Sudahlah, apapun yang terjadi, aku akan mengikhlaskannya dan akan melakukan apapun niat baikku karena Allah semata. Bukan karena apa dan siapa. *** Dua malam sebelum keberangkatan Bapak, Ibu dan rombongan kak Risma ke tanah suci, aku dan Ibu sibuk berkemas-kemas. Aku ditugaskan mengisi kopor Bapak. Cukup banyak ternyata barang yang akan dibawa Bapak. Pakaian ihram, pakaian sehari-hari, beberapa pakaian dalam yang masih baru, kaus kaki, jaket, kopiah, lebai, sandal, sajadah, sampai segala macam obat-obatan kususun rapi di dalamnya. Aku baru akan mengancingkan retsleting kopor ketika Bapak masuk ke kamar lalu menuju lemari pakaian. Aku amati Bapak yang tiba-tiba sibuk mencari sesuatu di dalam lemari. "Ibu lihat plastik putih yang Bapak simpan di bawah ini?" Tanya Bapak sambil menunjuk rak tengah. Dahi Ibu berkerinyit, mengingat-ingat. "Yang bagaimana bungkusannya, Pak?" "Yang plastik kresek putih polos saja." "Apa isinya?" Bapak diam. Ia tampak berpikir tapi lalu kembali sibuk sendiri memeriksa isi lemari. Tak berapa lama, "Nah, ini dia. Alhamdulillah...ketemu juga," ujar Bapak senang. "Memangnya apa itu, Pak?" Ibu masih penasaran. Ditatapnya Bapak dengan bungkusan di tangannya. Bapak hanya tersenyum membalas tatapan Ibu. "Ah, nanti kalian juga tahu," kata Bapak lalu memberi isyarat padaku agar menaruh bungkusan itu ke dalam kopor. *** "Ratmiii...Ratmiiiii...ke sini dulu, Ratmiiii...cepat kemari!!" teriakan Ibu segera membangunkanku dari tidur. Aku lihat jam meja. Masih jam 2 dini hari. Bukannya Bapak dan Ibu baru akan berangkat pukul 8 nanti? Ada apa? Dengan diliputi rasa heran dan penasaran, aku bergegas ke kamar Ibu yang berada di depan kamarku. "Bapakmu, Ratmi. Bapakmu...Bapak pingsan, terpeleset waktu baru keluar dari kamar mandi!" suara Ibu cemas sekali. Sesaat aku bingung harus melakukan apa, hanya terpaku sambil menatap Bapak yang masih dibaringkan Ibu di pangkuannya di lantai. Sehelai sajadah tergelar kusut di dekat mereka. "Cepat kamu keluarkan mobil. Kita ke rumah sakit sekarang!" perintah Ibu membuyarkan pikiranku yang tiba-tiba kosong. Aku masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Bapak pingsan? Aku bergegas mengambil kunci mobil lalu ke garasi. Setelah agak bersusah payah membopong Bapak yang sekujur tubuhnya lemas, aku langsung tancap gas ke rumah sakit terdekat. Ibu di jok belakang, setia memangku Bapak. Dalam perjalanan dini hari buta itu, tiba-tiba terdengar suara berat Bapak dari belakang. "Ka...ka...fan...bung...bungkus..san," "Bapak? Bapak sudah sadar? Bapak mau bilang apa?" Ibu justru jadi histeris. Sambil menyetir aku berusaha menenangkan Ibu. Kudengar Ibu mulai terisak. "Bung...kuss..san..pu...tih," Bapak terbata-bata. Ibu berusaha diam menyimak perkataan Bapak. "Ka..fan...bung..kus..san...put..tih.." "Kafan bungkusan putih?" Ibu menebak patahan-patahan kalimat Bapak. Demi mendengar kafan disebut, nyaris aku oleng menyetir. Syukurlah jarak ke rumah sakit semakin dekat. Aku semakin tancap gas. Tak kuhiraukan dulu pikiranku yang mulai menjalar kemana-mana. Kurasakan pikiranku mulai kalut. Sesampainya di rumah sakit, baru saja aku mematikan mesin mobil, kudengar suara Ibu yang perlahan menuntun Bapak berlafaz syahadat sambil terisak. Mendadak badanku lemas. Aku hanya bisa menatap Bapak yang sedang menghadapi sakratul mautnya dari tempat duduk supir. Air mataku jatuh berderai-derai. Ya Allah...Yaa Rahmaan..Yaa Rahiimm...Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun...Inilah saat itu... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H