[caption id="attachment_128032" align="aligncenter" width="640" caption="Sebelas Patriot (dok. AFR)"][/caption]
Mulanya saya agak kecewa dengan tema teranyar buku karya Andrea Hirata ini. Bagaimana tidak? Sepak bola bukanlah kegemaran saya. Saya tidak suka cabang olahraga yang satu ini. Apa menariknya menonton lapangan hijau yang luas dengan dua puluh dua lelaki bertubuh atletis berlari-larian memperebutkan sebuah bola untuk dijebolkan ke jaring-jaring raksasa? Hah! Sama sekali bukan minat saya. Meskipun sebenarnya pada event-event tertentu saya menontonnya juga. Saat Piala Dunia, misalnya. Itu pun lebih karena ikut terhanyut dalam euphoria. Atau event Piala AFF Suzuki tahun lalu yang menghebohkan itu. Untuk yang satu ini, tak terbayangkan sebelumnya jika saya sampai menuliskan uneg-uneg ketika timnas Malaysia mengalahkan timnas Indonesia. Rasa nasionalisme saya terusik. Tak rela rasanya jika negara merah putih ini kalah melawan tim negara tetangga yang sesekali mengajak ribut itu. Pada akhirnya, mau tak mau, saya membelinya juga. Walau bagaimanapun, tak ingin rasanya ketinggalan membaca karya salah satu penulis favorit saya ini. Sebelas Patriot, judulnya. Buku ke-tujuhnya ini tak setebal buku-buku sebelumnya. Hanya 101 halaman cerita. Agaknya Andrea semakin ringkas saja dalam menuangkan ide-idenya. Inti ceritanya hanya satu; sepak bola, yang keseluruhannya berakar dari sang Ayah. Cerita-cerita di awal sungguh membuat keharuan menyesak. Entah mengapa. Meski dengan gaya bercerita yang saya rasa tak lagi banyak detail dan bersayap-sayap, Andrea mampu menyajikan sebuah kisah yang sedikit banyaknya mengusik rasa kebangsaan dan cinta tanah air melalui sepak bola. Bermula dari foto sang Ayah yang ditemukan Ikal -yang selalu sebagai tokoh utama dalam novel-novel Andrea Hirata- tanpa sengaja di dalam sebuah album foto tua. Tanpa dinyana, ternyata sang Ayah yang bersahaja itu menyimpan riwayat masa lalu yang menyedihkan. Semuanya terjadi pada masa penjajahan Belanda. Sebagaimana nasib rakyat di wilayah Indonesia pada masa lalu, sang Ayah pun bekerja rodi. Sepanjang hari memeras tenaga sebagai kuli parit tambang bersama dua saudaranya yang lain. Bertiga mereka menahankan beban fisik dan mental sebagai pekerja rendahan yang diperlakukan secara tidak manusiawi oleh penjajah  Belanda. Satu-satunya kegembiraan para pekerja ini hanyalah saat diadakannya musim kompetisi olahraga piala Distric Beheerder, kompetisi untuk memeriahkan ulang tahun Ratu Belanda. Berbagai macam cabang olahraga dipertandingkan antara sesama rakyat jajahan atau antara penjajah dengan rakyat jajahan. Tentu saja kompetisi ini telah dipolitisasi agar kemenangan selalu mutlak diraih oleh negara penjajah meskipun rakyat jajahan lebih pantas untuk menang. Di antara yang ikut pertandingan cabang sepakbola adalah Ayah Ikal dan dua abangnya. Tiga bersaudara ini ditahbiskan sebagai pemain sepak bola yang bertalenta luar biasa. Khususnya si bungsu, Ayah Ikal, yang pada suatu pertandingan berhasil mencetak satu-satunya gol ke gawang penjajah. Aksi nekat yang tumbuh dari rasa kebangsaan dan hasrat ingin merdeka. Bukannya ia tak tahu akan risiko yang mungkin diterimanya, namun letupan semangat perjuangan, pengorbanan dan cinta tanah air begitu dahsyat dirasakan hingga ia pun berteriak, "Indonesia! Indonesia!" berkali-kali hingga lapangan hijau itu tak ubahnya seperti medan pertempuran untuk menggempur penjajah.
[caption id="attachment_124338" align="aligncenter" width="560" caption="sang Ayah (dok. AFR)"][/caption] Tak ayal lagi, penderitaan segera mengintai. Tiga bersaudara dan pelatihnya diseret ke tangsi -semacam ruang penyiksaan- dan berakhir tragis. Si bungsu yang saat itu masih berusia 17 tahun pulang dengan keadaan tempurung kaki kiri yang hancur. Selamanya ia tak akan pernah bisa bermain sepak bola lagi. Sampai di sini, jujur, saya berlinang air mata. Kisah yang diketahui Ikal dari seorang pemburu tua seangkatan Ayahnya itu lah yang melecut semangatnya untuk menggapai mimpi menjadi seorang pemain PSSI. Berbagai upaya dilakukannya untuk dapat menembus seleksi pemain tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Usahanya yang tak kenal lelah itu hanya berpuncak sampai di tingkat provinsi. Harapan yang sebenarnya tak pernah terungkapkan oleh Ayahnya itu justru menjadi pemacu semangatnya untuk membuktikan kalau ia mampu melanjutkan cita-cita sang Ayah sebagai pemain sepak bola andal di bawah bendera PSSI. Apa daya, berulang kali ia mencoba, selalu gagal untuk tembus ke tingkat nasional. Ia lalu terpuruk dalam kondisi kecewa berat. "Prestasi tertinggi seseorang, medali emasnya, adalah jiwa besarnya." Ujar Ayahnya. Kata-kata dari lelaki sunyi, sepi dan senyap itu lah yang menjadi penenang jiwa dan pembangkit gairah hidupnya kembali. Cerita pun melompat ke masa depan, suatu masa saat Ikal menjelajah Spanyol demi menjejakkan kaki di markas besar klub Real Madrid, klub kesayangan Ayahnya, untuk membeli sebuah kaus kenang-kenangan bernomor punggung 10, Luis Figo, pemain pujaan sang Ayah. Ciri khas karakter Ikal yang tak kenal putus asa untuk meraih mimpinya dan keajaiban-keajaiban yang ia dapat setelahnya kembali dipaparkan. Mengingatkan kita akan lika-liku hidupnya di buku Edensor. Kali ini dengan uraian yang lebih singkat. Begitu singkat hingga saya tak sadar telah habis membaca novel ini dalam beberapa kesempatan saja. Saya menduga, selain sebagai pengobar semangat nasionalisme melalui sepak bola -mengingat bulan terbitnya menjelang peringatan 17 Agustus dan saat PSSI sedang naik daun-, kisah dalam buku ini juga sebagai pembuka cerita selanjutnya yang -mungkin- lebih detail tentang sosok sang Ayah. Ah, sesungguhnya saya sangat menantikan ketika Andrea bercerita lebih banyak lagi tentang Ayahnya. Semoga saja tak menunggu lama. *** >>Â Â Novel ini dilengkapi CD musik yang berisi tiga lagu ciptaan Andrea Hirata berjudul "PSSI Aku Datang", "Sebelas Patriot" dan "Sorak Indonesia". >> Novel ke-delapan berjudul "Ayah" dijadwalkan akan terbit bersamaan dengan edisi internasionalnya yang berjudul "Two Trees". >> Resensi novel sebelumnya, Padang Bulan dan Cinta di dalam Gelas, bisa dibaca di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H