Aku terdiam. Bisu. Gigil mendera-dera tubuhku. Mataku sayu. Warnaku pucat serupa layu. Bibirku bergetar-getar biru. Lelaki itu kembali mengokang amarahnya. Menggempurku tiada ampun. Sesekali tangannya mendarat keras di wajahku. Kakinya menendang perut hingga selangkanganku. Aku pun terjungkang tanpa bisa membangkang. Lemah dan pasrah. Air mataku sudah berderai-derai. Hingga kering ia di pelupuk. Alhasil kelopak mataku sembab menghitam. Menahankan pedih tubuh dan perih hati yang tak tertahankan. Terus saja berulang cerita yang sama. Bermula ketika lelaki itu pulang dengan amarah segenggam karena terlilit utang. Amarah kecil yang terus membesar hingga tak kepalang. Aku pun menjadi korban. Padahal ia sendiri yang melakukan hingga terjadi demikian. Hama-hama penyakit lelaki; judi, mabuk dan main perempuan. Ya Tuhan...sehina itukah diriku hingga engkau menakdirkanku hidup bersamanya? Bukankah Engkau menjanjikan lelaki yang baik untuk perempuan yang baik dan lelaki yang buruk untuk perempuan yang buruk? Jika ia buruk, berarti aku juga buruk? Begitukah, Tuhan? Bagaimana lagi aku harus berbuat baik agar disebut sebagai perempuan baik-baik? Tapi mungkin aku yang masih terlalu bodoh untuk bisa menalar hikmahnya. Bila sudah begini, aku jadi teringat Bisu. Lelaki shalih yang dekat dengan Tuhan. Ia teman sekolahku dulu. Bersamanya aku belajar tentang banyak hal, termasuk tentang cinta yang maha; mencintai hanya karenaNya. Sesungguhnya, ia tidak bisu. Aku saja yang menamakannya demikian. Ia terlalu pelit bicara. Lebih banyak mengangguk, menggeleng dan tersenyum saja. Suaranya hanya keluar bila ditanya. Selebihnya jangan harap ia mau mengumbar-umbar kata. Berbeda denganku yang banyak celoteh, suaranya mahal. Nyaris seperti orang bisu. Jadilah aku suka memanggilnya "Bisu". Untungnya ia tidak keberatan. [caption id="attachment_80386" align="aligncenter" width="400" caption="http://tinyurl.com/29v5pkr"][/caption] Lalu jarak membuatku jauh darinya. Aku meninggalkannya di saat ia membawa secarik puisi, untukku. Puisi yang kuminta ia buatkan sebelum aku pergi ke lain tempat. Kedua orang yang kusebut orangtua menyeretku paksa dan tidak memberikanku kesempatan untuk berucap salam perpisahan. Kulihat ia termangu membisu di sisi pohon jambu. Mengikutiku sampai hilang ditelan jalan dengan pandangannya yang kuyu. Kata orangtuaku, ia buruk rupa. Tak pantas untukku yang mereka sebut jelita. Bagiku, ia pemuda paling tampan. Maka di sudut kamar di samping lemari ini, aku teringat Bisu. Di sela-sela isak tangisku setelah diperlakukan dengan kejam oleh lelaki yang kusebut "suami", aku akan dengan segera bersembunyi di tempat aman ini. Suamiku sebenarnya tahu dimana aku biasanya berada setelah ia puas dengan angkara murkanya. Tapi ia memilih membiarkanku saja di situ sendirian. Terkadang sampai aku tertidur pulas sampai pagi. Mataku yang sembab ternyata membuatku juga lebih cepat mengantuk. Kenyataan buruk yang barusan menimpa pun segera jadi mimpi buruk. Namun kelelahan menahankan rasa sakit jiwa dan raga membuat mimpi buruk itu tak berpengaruh apa-apa. Justru di dalam mimpi itu aku bertemu Bisu. Betapa senangnya. Bisu...entah dimana ia sekarang. Aku rindu. Maka aku akan selalu berharap ia terus hadir di sela-sela mimpi-mimpi burukku. Menjadi penawar duka, pelipur lara. Lalu diam-diam, aku menantikan saat-saat lelaki yang kusebut suami itu pulang sambil membawa setan amarahnya. Bila ia sedang tak ingin marah, aku menjengkelkannya hingga ia benar-benar marah. Setelah aku ditampar, dipukul, dijambak, dan ditendang sampai ke ujung ruang, aku pun bangkit lalu masuk ke kamar, bergerak menuju pojoknya. Aku pun meringkuk diam di situ, namun tak lagi menangis. Bibirku menyungging senyum tanda kebahagiaan. Di sana, sebentar lagi aku akan bertemu Bisu. *** Sebelumnya di Tanpa Aksara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H