Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(FFK) Saksi Mata

19 Maret 2011   02:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:39 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_95293" align="aligncenter" width="600" caption="(http://tinyurl.com/6zh9pbm)"][/caption]

Sudah jam 9 malam lebih. Bis yang aku tunggu belum datang juga. Beberapa penumpang bersamaku menunggu. Kebanyakan sibuk dengan HP mereka sendiri-sendiri. Aku duduk di ujung bangku. Tasku aku taruh di pangkuan. Posisi duduk dan tas ini mengingatkanku pada Forest Gump. Waktu dia duduk menunggu bis sambil membawa sekotak coklat di pangkuannya, dia teringat pesan ibunya. Hidup ini seperti sekotak coklat, manis dan isinya tak terduga.

Bagiku hidup ini seperti naik bis kota. Aku sudah tahu pemberhentian terakhirku tapi kapan akan sampai dan siapa teman seperjalananku selalu tak terduga. Seperti hidup, bis selalu penuh dengan peristiwa dan selalu penuh dengan pilihan serta keputusan. Begitu naik, keputusan pertama harus dibuat, mau duduk atau berdiri. Kalau mau duduk, mau duduk di mana, di sebelah siapa? Di sebelah anak muda yang rapi tapi kemungkinan pencopet? Di sebelah gadis cantik wangi tapi ada kemungkinan dia pembius? Seperti hidup, semuanya serba pilihan dan pengambilan keputusan. Aku sering mendengar cerita tentang pemuda parlente yang ternyata pencopet . Aku pernah juga mendengar gadis manis nan wangi tetapi seorang pembius. Pura-pura dia menawarkan sekaleng minuman ringan yang membuat pingsan dan semua barang berharga raib. Tapi seperti dalam hidup, tidak semua pemuda parlente adalah pencopet dan tidak semua gadis manis nan wangi adalah pembius. Pun sebaliknya tidak semua copet perlente dan tidak semua pembius cantik dan wangi. Semakin malam semakin dingin. Sejuk AC bis ini terasa aneh. Penumpang lain tiba-tiba wajahnya seperti sudah sangat aku kenal. Tetapi mengapa mereka sepertinya orang-orang yang sudah mati. *** Lama terdiam dalam tanda tanya, kuputuskan untuk mengacuhkan pikiran anehku. Mungkin aku hanya sedang lelah saja. Kualihkan pandang ke luar jendela. Aku bisa melihat gelap di luar sana sekaligus bayangan samarku yang terpantul cahaya redup dari dalam bis melalui jendela itu. Diam sambil melamunkan yang sudah-sudah membuatku setengah terjaga. Kusandarkan kepala ke jendela kaca. Penat luar biasa sehabis bekerja membuatku justru tak bisa tidur. Tak biasanya begini. Kubetulkan posisi duduk senyaman mungkin, berharap dalam hitungan domba ke sepuluh aku jatuh dalam tidur lelap sebelum satu jam lagi sampai di pemberhentian bis. Penumpang sudah banyak yang turun. Kebanyakan orang-orang muda pekerja kantoran sepertiku. Kaum komuter. Tiba-tiba selintas angin lembut menelusup tengkukku. Perlahan mendirikan bulu roma. Kutolehkan kepala ke samping. Pria yang bersisian di kiriku masih dibuai mimpi. Mulutnya setengah menganga. Bunyi dengkur halus mengiringi setiap tarikan nafasnya. Diam-diam kuperhatikan wajahnya. Agaknya dia sadar kalau aku memandangnya begitu lekat. Dia terbangun dan langsung menoleh ke arahku. Ekspresinya yang bukan seperti orang baru bangun dari tidur yang pulas membuatku merasa aneh. Matanya segar dan senyum tipis menyungging di bibirnya. Aku membalas tatapan dan senyumnya dengan ragu-ragu. Kupandang lagi jendela kaca. Mencoba untuk tidur kembali. Angin lembut itu mengusik bulu romaku lagi dan membuatku kembali menoleh ke samping. Pria aneh tadi sudah tidur lagi dengan posisi dan gaya tidur yang sama. Tanpa sengaja aku kembali menekuri wajahnya dan ia terbangun lagi. Ekspresinya sama seperti tadi. Matanya segar dan senyum tipis menyungging di bibirnya. Bukan seperti orang yang baru bangun dari tidur yang lelap. Aku mulai berpikir tentang dirinya yang pura-pura tidur. Pikiran buruk mulai menghantui. Jangan-jangan dia pencopet yang sering mengecoh calon korbannya. Tapi sungguh yang barusan itu adalah cara mengecoh yang aneh. Kuingat selintas wajahnya tadi. Ramah dan tampak menyenangkan, meskipun aneh. Rasanya tak mungkin dia itu berniat jahat. Tapi siapa yang tahu? Kutolehkan lagi kepalaku ke jendela. Kali ini bukan untuk tidur. Kugenggam erat tas yang sedari tadi kutaruh saja di pangkuanku. Kuperiksa diam-diam dompet dan handphone di saku celana. Masih aman. Tak ada yang hilang. Setidaknya belum. Ah, semoga jangan sampai. Aku sejenak lupa pada penat dan pegal di sekujur tubuhku. Pikiran dan mataku awas terhadap segala kemungkinan yang bisa terjadi di sebuah bis kota. Terutama pada orang yang berniat jahat. Dari kaca jendela samar-samar aku perhatikan sekelilingku, yang terdekat saja. Utamanya pria di sebelahku ini. Tapi kejadian selanjutnya benar-benar membuatku terlonjak. Ada apa ini? Tiba-tiba pria di sebelahku melakukan gerakan yang tak lazim. Ia mencungkil-cungkil dagunya dengan sebilah pisau lipat. Seketika aku merapat ke sisi jendela. Mulutku ternganga. Mataku kupastikan tengah terbeliak lebar. Kulit dagu pria itu terangkat sedikit demi sedikit. Anehnya, tak ada darah yang keluar. Dalam kekalutan aku melihat dia menarik kulit mukanya persis seperti menarik topeng. Dan muncullah wajahnya yang baru. Wajah yang sungguh membuatku ingin pingsan. Itu wajah Suhendar, temanku yang meninggal seminggu yang lalu sebagai korban pembunuhan. Wajah Suhendar pucat. Dari kedua matanya mengalir tetes-tetes darah kental. Ia memandangku lekat-lekat tanpa ekspresi. Tangan kanannya masih menggenggam pisau lipat. Aku tergeragap dan lemas. Jantungku luruh ke bawah. Belum selesai keterkejutanku, dari kursi  seberang aku melihat makhluk yang lain. Dari garis-garis wajah pasinya, kupastikan dia Hana, tetanggaku yang tewas di tangan mucikari. Hana menatapku juga dengan matanya yang kosong, dengan urat-urat merah di korneanya yang menjalar ke seluruh kelopak mata. Rambutnya tergerai kusut, menutupi daging pipi kirinya yang menganga. Aliran darah tak henti mengalir dari dalam luka berbau amis itu. Hana menggerakkan kepalanya perlahan ke samping dengan mata yang menatapku terus tanpa kedip. Bola matanya yang merah terbeliak, hampir jatuh. Aku menjerit tertahan sambil menutup sebagian mukaku. Entah darimana asalnya, seorang lagi datang dari belakang bis. Seorang lagi dari pintu depan bis. Keduanya seragam. Menyeringai dengan tubuh dibanjiri darah yang menetes sepanjang lorong. Mata-mata mereka sama. Membelalak menatapiku hingga menciut. Aku terkepung! Ya Tuhan, ada apa ini? Apa yang terjadi padaku? Aarrgghhh!. Aku bergetar hebat, keringat dinginku mengucur. Tas yang kupegang makin kuremas. Badanku membeku. Aku tak ingin melihat makhluk-makhluk ini tapi mataku tak bisa memejam. Nafasku makin memburu cepat. Dan... DUAARRR..!!. Jendela di belakangku tiba-tiba dipukul keras. Refleks aku menutupi mukaku dengan tangan, berusaha menghalangi pecahan kaca. Aku pun berteriak keras. Tapi aku sendiri tak mendengar suaraku. Aku bersuara lagi. Tetap tak ada bunyi yang keluar. Aku frustrasi. Emosiku campur aduk. Air mata ketakutan bercampur keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Kucoba melirik Hana dan Suhendar. Dan ... Bis itu kosong. Tak ada siapapun. Kedua makhluk buruk bermandikan darah itu juga. Bergegas aku tengok ke sekeliling bis. Tidak ada siapa-siapa. Senyap. Kulihat jendela di belakangku. Kacanya masih ada di tempatnya. Tak ada sedikit pun bekas pecahan. Tidak. Tidak terjadi apa-apa. Tak yakin, kusentuh kaca itu. Dingin, tanpa goresan. Samar-samar kulihat bayangan di luar jendela. Sepertinya kukenal pohon besar itu. Ya, itu pohon mangga  di depan rumahku. Pagar di bawahnya meyakinkanku. Sudah sampai? Aku terdiam beberapa lama. Kuremas kepalaku sambil berpegang pada sandaran kursi. Pikiran apa yang tadi merasukiku? Mimpi burukkah aku? Sebuah tamparan di pipiku menepis keraguan kalau aku sedang bermimpi. Menyadarinya, dengan sigap aku berdiri sambil melihat ke luar jendela. Benar. Bis ini berhenti di depan rumahku. Entah bagaimana caranya. Padahal terminal jauh dari sini dan tak pernah sebuah bis kota lewat di depan rumahku. Bergegas aku turun dari bis, dan dengan setengah berlari aku masuk ke rumah. Kucari kunci dari dalam tas lalu kubuka pintu dengan tangan gemetar. Tanpa menoleh lagi kukunci pintu rumah secepat kilat. Aku lalu mengintip ke luar rumah dari celah tirai. Mataku berputar mencari-cari bis aneh itu. Tak ada lagi di tempatnya. Hilang. Sunyi senyap. Segera kulirik jam tanganku. Pukul 10 malam. Tak kutemukan alasan mengapa sekitar rumahku sudah sepi saat belum terlalu larut begini. Aku berbalik mengatur nafas yang ritmenya kacau. Kupejamkan mata kuat-kuat sebelum tergesa menuju kamar tidur. Kulempar tasku sembarangan dan cepat-cepat kubaringkan tubuhku di atas tempat tidur. Pikiranku bekerja keras berusaha menelaah apa yang barusan terjadi. Penat dan lelah luar biasa tak sanggup memejamkan mataku. Aku bergerak bolak-balik di atas tempat tidur. Kutatap langit-langit kamar. Jam di dinding. Cangkir kopi di meja. Kulihat sampiran handuk di kursi lalu kembali menatap ke atas. Tiba-tiba langit-langit kamarku bergerak. Bergelombang serupa helaian kain yang ditiup angin. Pada salah satu sisi samar kulihat sepasang mata yang merah menyala. Perlahan membentuk garis-garis wajah dengan luka menganga di pipi kirinya. Aku masih mengingat wajah itu. Wajah Hana! Aku terkesiap dan meloncat dari tempat tidur. Jantungku berdegup cepat. Apa lagi yang terjadi? Kulihat ke samping. Foto diri yang tergantung di atas meja perlahan bergerak dan menggurat lagi sebentuk wajah. Mengingatkanku pada pria yang mencungkil dagunya dengan pisau lipat. Aku menahan nafas lalu sekuat tenaga berteriak, "Aaaaarrrggghhhh...jangan ganggu akuuuu! Apa mau kalian?? Apa salahku pada kalian??," Tak ada suara. Suaraku tertelan dinding-dinding yang bergerak perlahan. Makin lama makin cepat. Kepalaku ikut berputar cepat tanpa memberiku waktu untuk bernafas. Kurasakan tubuhku tanpa daya lalu menubruk ujung tempat tidur. Lalu gelap. Senyap. * * * "Sebaiknya biarkan dulu dia tenang," ucap dokter pada pria berjaket kulit hitam di sampingnya. "Sampai kapan, dok?," "Jiwanya belum stabil. Tunggu sampai dia dirawat dulu beberapa bulan ini," Pria berjaket itu menghembuskan asap rokoknya perlahan. Ditatapnya pria yang duduk di ujung tempat tidur. Pria itu hanya menekur dengan posisi meringkuk sejak tadi. Mulutnya seakan berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar. Sekali waktu wajahnya meringis ketakutan. "Bulan depan, coba datang lagi kemari. Siapa tahu dia sudah bisa sedikit ditanyai sebagai saksi mata," "Baiklah, dok. Saya permisi dulu. Terima kasih atas kerjasamanya," Ucap pria berjaket itu sambil menyalami dokter. Di tangan kirinya terselip rokok, juga map berisi lembar-lembar dokumen dan foto-foto korban pembunuhan yang belum lama terjadi; Suhendar dan Hana Wulandari. *** >> Silahkan membaca karya-karya FFK lainnya di Kampung Fiksi@Kompasiana >> Hasil Kolaborasi FFk 13 (Trio Ketan Duren): Ouda Saija, Babeh Helmi dan Annisa F. Rangkuti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun