Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Tentang Ayah (50K)

14 Januari 2011   12:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:35 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_83103" align="aligncenter" width="500" caption="(http://tinyurl.com/4pfzobv)"][/caption] Hari belum terang benar ketika Ayah membuka jendela. Dari mataku yang masih menyipit menahan beratnya kantuk, aku lihat Ayah bersiap dengan semangkuk kecil air. Sayup-sayup kudengar suaranya menyuruhku bangun untuk shalat Subuh. Mataku sungguh berat. Aku ingin melanjutkan tidur saja. Tapi tiba-tiba sepercik dua percik air menyemprot mukaku, disertai suara Ayah yang bernada perintah menyuruhku segera bangkit menuju sumur. Dengan berat langkah aku pun harus rela melepas mimpi menuju belakang rumah. Dinginnya air memang sanggup mengenyahkan setan-setan dari pelupuk mataku. Terkadang aku membayangkan setan-setan itu bermain ayunan di bulu mataku yang agak panjang. Terkadang bermain perosotan atau hanya bergelayut saja di situ. Lalu ada segerombolan lagi yang memaksakan kehendaknya untuk terus duduk di kelopaknya. Menekannya dan menyuruhku terus tidur saja. Lalu setelah diguyur air wudhu, mereka pun berteriak ketakutan dan hilang begitu saja. Blass! Begitu bunyinya. Aku pun merasa menjadi pemenang setelah itu. Menang berjihad melawan setan-setan kecil yang lucu seukuran kutu. Setidaknya itu kata guru mengajiku. Selesai shalat Subuh, aku pun mandi dan bersiap-siap berangkat ke sekolah. Baju seragamku yang kupakai kemarin masih menggantung di balik pintu. Segera kuambil dan kupakai dengan terburu-buru. Hari memang masih belum terang benar, tapi aku sudah agak terlambat. Perjalanan 3 km ke sekolahku butuh waktu cukup lama bila ditempuh dengan sepasang kaki kecilku. Maka untuk mempercepat langkahku, sebelum berangkat segera kusambar sepotong pisang yang baru direbus Umak. Tak lupa pula teh manisnya, yang langsung kuhabiskan sampai kandas. Selesai bersepatu, aku pun menyalami Ayah dan Umak. "Hati-hati di jalan...," teriak Umak dari dalam setelah aku sampai di halaman. Umak masih sibuk beberes di dapur. "Pulang sekolah, langsung pulang," begitu selalu pesan Ayah di ambang pintu. Pakaian Ayah kemeja putih dan celana panjang hitam. Di kepalanya bertengger peci berwarna hitam pula. Tali pinggang dan sepatunya juga hitam. Ia terlihat begitu klimis dengan seragamnya sebagai guru bantu di Sekolah Rakyat (SR) Desa Sibatu itu. Ayah berangkat setelah aku melangkah ke sekolah bersama kawan-kawan. Biasanya diawasinya dulu aku dan kawan-kawan sampai hilang di belokan jalan. Sambil ia memandangku menjauh, aku tahu, di dalam hatinya ia berdoa, semoga aku selamat dalam perjalanan pergi dan pulang dari sekolah. Harapannya sungguh besar padaku. Sebesar tekadku melintasi perkampungan penduduk sejauh 3 kilometer untuk bisa sampai di sekolah. *** (satu tahun sebelumnya...) SR tempat Ayah mengajar itu kecil. Hanya ada dua kelas. Satu lagi guru yang mengajar di situ adalah Pak Lubis. Berdua mereka bergantian mengajar puluhan murid kelas 1 dan kelas 2. Aku adalah salah satu muridnya. Bila zaman sekarang anak seorang guru yang setiap hari bertemu di sekolah yang sama lebih banyak diistimewakan, maka jauh sekali kenyataannya denganku. Aku tak beda dengan murid-murid lain. Ayah di rumah dan di sekolah sama saja.  Sama-sama keras. Setelah besar, baru kupahami caranya itu sebagai hasil didikan orang-orang Belanda, sebagaimana lazimnya orang-orang yang besar di masa penjajahan. Tapi terkadang kurasa Ayah sungguh kelewatan. Seperti waktu itu. Aku masih kelas 2 SR. Sebagai anak yang kurang gizi, tubuhku sangat kurus. Pendek pula. Kalau ada fotonya, kurasa orang-orang zaman sekarang bisa meneteskan air mata bila melihatnya. Keadaanku sungguh menyedihkan. Tapi soal kelincahan gerak, jangan tanya. Aku bisa bermain apa saja dengan kawan-kawan tanpa lelah seharian. Nah, waktu itu, pada jam istirahat, aku dan kawan-kawan yang sedang ingin mengunyah camilan, memanjat pohon jambu yang tumbuh kekar di halaman rumah salah satu warga di dekat sekolah. Jambunya jenis jambu air yang merah ranum. Sungguh menggugah selera. Maka tanpa segan-segan kami mengambil dan langsung memakan buahnya. Tak disangka, jam istirahat lewat sudah. Ketika tersadar, kami langsung tergopoh-gopoh turun dari pohon dan lari tunggang langgang ke sekolah. Halaman sudah sepi. Murid-murid lain telah kembali belajar di dalam kelas. Dengan wajah ketakutan, aku dan kawan-kawan mengetuk pintu kelas. Di depan kelas ada Ayah dengan penggaris kayu panjang kebesarannya. Di antara kawan-kawan, sesungguhnya aku yang paling takut. Di rumah, pasti aku dimarahi lagi. Jadi dua kali lah aku kena. Kenyataan itu langsung menciutkan nyaliku. Tak berani aku bersitatap dengan wajahnya yang mengetat. Tubuh kurus kecilku semakin mengerut ketika kudengar suara Ayah menggelegar bertanya, "Dari mana saja?!," pertanyaan yang serupa bentakan. Mulutku terkunci. Aku semakin menunduk. "Ayo jawab! Dari mana saja kau?!" Pertanyaan itu khusus ditujukan padaku meski kawan-kawanku yang tiga orang juga berbaris menunduk di belakang. "Yang lain duduk!," Tunjuknya ke arah ketiga kawanku. Segera mereka kembali ke bangkunya masing-masing. Tinggallah aku yang menahankan derita. "Da...dari rumah situ...ma...makan jambu," jawabku akhirnya perlahan. Ayah makin murka. "Kau bilang apa? Makan jambu? Di rumah orang? Mencuri kau ya?," tuduhnya tanpa belas kasihan. Segera diayunkannya penggaris kayu itu. Tepat mengenai betisku yang tak lebih besar dari gagang sapu. "Plaakkk!!" penggaris itu terbelah dua. Kakiku langsung mati rasa menahankan sakit yang luar biasa. Mukaku merah meringis. Belum habis penderitaan... "Pulang kau sana!" usir Ayah dengan telunjuk mengarah ke luar. Aku tahankan perih yang kemudian menjalari seluruh tubuhku. Sakit sekali rasanya. Tak tertahankan. Aku paksakan kakiku melangkah. Dengan langkah terseok-seok, aku pun pulang mematuhi perintahnya. Untunglah jarak sekolah ke rumahku tak jauh, hanya 100 meter. Sampai di ambang pintu, aku diam menatap Umak yang sedang menyapu. Lama juga aku tak berkata sepatah pun. Umak belum menyadari kepulanganku. "Hah? Sudah pulang kau dari sekolah? Kenapa cepat?," tanya Umak begitu melihatku duduk berselonjor di lantai dekat pintu. Aku diam saja. Umak meletakkan gagang sapunya dan mendekatiku. "Pucat kali kau kutengok. Sakitnya kau?," punggung tangannya meraba kening dan pipiku. "Heh? Kenapa kakimu ini?," sambil menatap kakiku yang sudah lebam membiru. Pertanyaan yang kemudian membuat air mataku mengalir pelan-pelan lalu terisak. Ibu menatap mataku. Dari mataku yang memerah, kulihat matanya berkaca-kaca. Ia pasti sudah paham kakiku mengapa. Digenggamnya kedua tanganku. Lalu dituntunnya aku ke kamar untuk beristirahat. Sorenya, aku merasakan badanku panas sekali. Umak sibuk bolak-balik mengompres keningku. Dari sepicing mataku, aku melihat Ayah di pintu, memandangku dengan raut wajah iba. Aku memalingkan wajah ke Umak. Tak ingin aku berlama-lama melihat Ayah yang tega nian memukulku. Panasku tak turun sampai esok paginya. Ayah mulai khawatir. Bolak-balik ia ke kamarku demi melihat keadaanku yang semakin parah. Ketika bercakap dengan Umak, aku mendengar mereka berencana membawaku ke bidan kampung. Ayah lalu mendekatiku. "Mir, malum ma anakki...anggo malum, naron hita mangan soto da... (Mir, sembuhlah nak...kalau sembuh, nanti kita makan soto ya...)," bujuk Ayahku sambil mengusap-usap kepalaku. Soto Wak Limah, soto di depan bentangan sawah yang terkenal sedapnya. Soto itu berkuah bening. Racikannya sungguh menggugah selera. Ada irisan daging ayam tipis-tipis, soun, kentang goreng diiris tipis, sepotong perkedel, dihiasi irisan tomat, rajangan daun sop dan ditabur bawang goreng. Makannya dengan nasi panas. Air liurku terangsang. Ingin sekali rasanya makan di situ tiap hari. Tapi uang Ayah tak cukup bila kami sering-sering membelinya. Hanya sesekali saja, biasanya pada hari-hari istimewa. Bila panen sawah kami yang sepetak itu meningkat atau saat liburan sekolah. Kali ini kutambahkan satu lagi daftarnya; bila anak sakit karena dipukul dan membujuknya agar lekas sembuh. Aku mencari ketulusan kata dari mata Ayahku. Kali ini, ia sungguh-sungguh. Dalam hati, aku pun memaafkan perbuatannya. Ayah ternyata masih baik. Tak lama, aku pun terlelap dan bermimpi memakan soto Wak Limah yang nikmat, sampai berminyak-minyak mulutku. *** >>  Satu kisah dari ribuan kisah tentang Ayah. Sebuah novel biografi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun