Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita Tak Selesai...

22 Juli 2010   03:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:41 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lila tak lagi memandang ruang kelas sebagai ruang kelas. Ibu guru dan semua teman-temannya tampak sebagai monster-monster berukuran manusia yang siap menusuk jantungnya dengan seringainya. Mereka tertawa-tawa, mencemooh dan menunjuk-nunjuk dirinya. Seperti di film-film.  Lila cepat membuka mata. Degup jantungnya tak mampu diaturnya agar melambat. Bahkan semakin cepat dan cepat. Ia rasakan kedua tangannya telah menyerah pucat pasi dan dingin berpeluh seperti wajahnya. Seketika ia mendengar suara Bima yang sedang membaca dengan lancar dan teratur. Tenang tanpa beban. Ia menoleh ke kanan. Ya Tuhan, sebentar lagi giliran dirinya. Tinggal Sena. Ia mencoba rileks. Tarik napas, hembuskan perlahan, tarik nafas, hembuskan perlahan, tarik nafas.... "Lila, seragammu basah tuh. Kamu takut disuruh baca ya?," terdengar suara setengah berbisik dan tertawa tertahan dari belakang tempat duduknya. Lila mencoba untuk tak peduli. Mereka memang jahat. Mereka tak tahu apa yang kurasakan. Ia mencoba lagi untuk berkonsentrasi. Tenang Lila, tenang. Semua ini pasti cepat berlalu. Kamu cuma perlu waktu 5 menit untuk membaca ini. Terdengar suara Sena. Suaranya ketika membaca sama dengan anak-anak lain yang normal, begitu pikir Lila. Dan tibalah saat itu. Saat yang sering kali tak bisa dihindarinya. "Lila...," suara bu Asmi terdengar bagai pisau yang menghunjam tepat di jantungnya. Seketika itu pula segala konsentrasi dan ketenangan hati yang coba dibangun Lila hancur berantakan. Degup jantungnya kembali tak karuan. Keringat dingin perlahan kembali muncul. Ia kepalkan tangannya untuk sekedar menguatkan hati. Aku bisa. Aku bisa. Lalu ia pun buka suara. Tapi belum sempat ia membaca satu kata... "Dia nggak bisa baca, bu. Masih kelas satu SD," suara Aryo di belakangnya membuat seisi kelas tertawa riuh rendah. Suasana kelas yang tadinya hening mencekam bagi Lila, kini berubah menjadi ramai mencekam seperti bayangannya tadi. Semuanya mendadak menjadi monster-monster yang siap menenggelamkannya ke perut bumi. Lila menggigil. Malu, takut, cemas, dan marah jadi satu. Ini kali ke sekian Aryo dan teman-temannya memperlakukan ia seperti ini. "Ayo Lila. Lanjutkan bacaan tadi. Kalian jangan ribut," kata bu Asmi setelah menenangkan isi kelas. Matanya langsung ke mata Lila. Tegas. Sosoknya telah menjadi sosok raksasa wanita yang membuat dirinya merasa kecil tak berarti. Tapi Lila mengangguk perlahan. "Semasa kecil ia hidup bersama kakek dan neneknya. Setiap pagi ia ke ladang dan menanam pepohonan di ke...di ke...hssh....di ke...," suara Lila yang semula terdengar tegar, perlahan menghilang. Suasana kelas diam mencekam, menunggu kelanjutannya. Lila diam menunduk. Dilihatnya tangannya yang gemetar memegang ujung-ujung buku teks Bahasa Indonesianya. 5 Detik. 10 detik. 20 detik. Akhirnya bu Asmi tak sabar lagi. Ia berjalan ke meja Lila dengan langkah cepat dan tegas. Buku bahasa Indonesia digenggamnya erat. Sesampainya di meja Wina di urutan kedua dari belakang... "Kenapa kamu Lila?," suara bu Asmi yang tak terdengar lembut membuat kelas hening menanti jawaban Lila. Lila tercekat. Mulutnya sedikit bergerak. Ia ingin sekali mengatakan sesuatu sekedar membela diri. Namun gerakan bibirnya pun tak berarti sepatah kata. [caption id="attachment_201146" align="aligncenter" width="300" caption="(http://listverse.com/)"][/caption] "Sudah berulang kali kamu seperti ini. Dan saya anggap kamu hanya sedang sakit. Katamu, kamu sakit tenggorokan. Tapi ini sudah ke sekian kalinya kamu tak menyelesaikan bacaanmu. Sekarang katakan, kamu tidak mau atau tidak bisa membaca? Katakan pada ibu. Ayo, jawab!" suara bu Asmi tiba-tiba meninggi, membuat teman-teman Lila takut pada bu Asmi sekaligus kasihan pada Lila. Gadis itu terus saja menunduk. Tia yang berjarak satu meja di seberang kanannya memandang Lila iba. Dilihatnya air mata yang menanti menetes di kedua mata Lila saat Lila sekilas memandangnya. Tia mengangguk memberi dorongan. Mendapat dukungan seperti itu, Lila pun mencoba kembali tegar. Ia mendongak menatap bu Asmi sekilas. "Saya ti..dak..bi..bisa bu..," jawab Lila akhirnya. Ia denguskan nafasnya perlahan. Sedikit kelegaan dan ketakutan bercampur aduk dalam dirinya. "Maksud kamu apa? Kamu tidak bisa membaca? Apa yang kamu pikirkan? Lila, kamu tergolong pandai di kelas ini. Apa maksudnya kamu tidak bisa membaca? Kamu mau berbohong sama ibu?," Lila menggeleng. "Jadi apa, Lila?," suara bu Asmi terdengar sedikit melunak. Ia masih melipat kedua tangannya dengan tangan kanan menggenggam buku erat. Matanya masih tajam memandang Lila. Lila memandang bukunya. Beberapa kata diejanya dalam hati. Kala diam seperti itu, ia pandai membaca. Ia begitu pandai membaca. Ia dapat membaca habis sebuah buku setebal 200 halaman dalam waktu 2 hari. Namun di saat ia terpaksa membaca keras di kelas, atau bahkan ketika ia terpaksa harus berbicara dengan orang lain, ia sering kali gugup. Kecerdasannya dalam berbahasa langsung saja hilang entah kemana. Ia mudah merasa gugup. Itu saja. Atau lebih tepatnya, ia gagap. Gagap. Ia ingin mengatakan itu pada bu Asmi. Namun rasa malu menghalangi niatnya itu. "Kamu hanya menghabiskan waktu pelajaran saja, Lila. Ya sudah, kita selesai hari ini. Kerjakan saja tugas...." Kata-kata bu Asmi selanjutnya tak lagi didengar Lila. Ia menatap kosong ke belakang kursi Lastri di depannya. Ia merasakan tatapan sinis, iba tertuju padanya. Rasa malu dan mengasihani diri sendiri menjalari darahnya yang terasa memanas. Tapi ah, ia sudah tak peduli. Ia telah terbiasa dengan keadaan ini. Ia tinggal menanti cemoohan dan cibiran teman-temannya setelah pelajaran usai. *** >> Sedikit kisah tentang Stuttering >> Cerpen tak selesai... (29 Desember 2006)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun