Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak Lelaki Penantang Matahari

23 Agustus 2010   02:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:47 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak tergapai Tak tergenggam Tak terengkuh Semburat panas lepuhkan peluh Kobarkan semangat menyala Benderang menembus celah-relung sukma *** [caption id="attachment_235905" align="alignleft" width="165" caption="dok. AFR"][/caption] Anak lelaki itu masih berusia 6 tahun. Tubuhnya kurus, rambutnya coklat kemerahan. Ia tidak hanya duduk di situ, menanti Ibunya dan beberapa pekerja lain selesai menjagal unggas-unggas pesanan pembeli. Bosan hanya menonton orang-orang yang bekerja keras di sekitarnya, ia pun ingin turut serta terlibat. Dengan sikap percaya diri, ia mengambil sebatang tongkat kayu dan dengan kedua tangan kecilnya, tongkat kayu yang berujung besi itu ia tusukkan ke seekor bebek yang telah dibului, lalu mengangkatnya ke tungku api, membakar bulu-bulu halus pada daging bebek hingga berwarna kecoklatan. Api yang panas dari tungku tak membuatnya gentar. Daging bebek yang kecoklatan mengilat berminyak-minyak. Matanya turut berkilat-kilat, menikmati sensasi dari bau alami daging bebek yang dibakar dan kemampuannya menahankan berat tongkat kayu sambil berjongkok. Peluh serta merta menderas membasahi baju lusuhnya. Beberapa pembeli terlihat iba dan ingin menghentikan saja kegiatannya. Tak terkecuali aku. Ia masih jauh di bawah umur. Masih perlu banyak-banyak bermain dengan teman-temannya yang sebaya. Masih perlu belajar sambil duduk manis di bangku plastiknya yang kecil dan berwarna cerah. Masih ingin menjadi anak-anak, meskipun kata seorang pekerja dewasa di sana, ia sendiri yang ingin bekerja. Aku tak serta merta percaya. [caption id="attachment_235908" align="alignright" width="225" caption="dok. AFR"][/caption] Tapi tahukah kau? Sesaat kemudian aku mulai memercayai kata-kata lelaki pekerja dewasa itu. Gerakan tangannya yang piawai memperlakukan daging-daging unggas dengan tongkat kayu sedemikian rupa, kuyakini bukanlah suatu pekerjaan mudah yang selesai ia pelajari di pagi itu. Ketika coba kupanggil namanya seperti yang kutahu dari panggilan orang-orang dewasa yang bekerja di sekitarnya, dan ketika kusentuh bahunya yang kurus itu, ia hanya berbalik sebentar ke arahku lalu dengan sorot matanya yang tajam dan alis yang hampir menyatu, ia kibaskan tanganku dengan bahunya dan tak diacuhkannya panggilanku. Aku sempat tersentak. Tak ada wajah anak-anak. Tak ada senyum ceria anak-anak. Ia bukan anak lelaki biasa. Ia seperti orang dewasa yang berwujud makhluk kecil berlabel anak-anak. Dari sorot matanya yang tajam sesaat itu, aku pun paham kalau ia adalah anak lelaki penantang matahari, yang tak sudi diibai. Dalam dirinya yang kurus kecil itu, tersimpan semangat menyala laksana bara matahari; "Hidup ini keras, Maulana!". ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun