Vietnam dan Tiongkok dikenal telah memiliki hubungan sejarah yang cukup panjang dan berliku-liku. Hubungan yang tidak akur dimulai sejak awal invansi militer Tiongkok ke Vietnam pada 1979. Kemudian, perdamaian diantara keduanya berhasil melahirkan hubungan diplomatik yang progresif.Â
Kerjasama Vietnam dengan Tiongkok kembali diselenggarakan setelah restorasi hubungan diplomatik Vietnam-Tiongkok pada tahun 1991 sampai 2007 yang didasarkan pada prinsip "Sixteen Golden Words", yaitu tetangga yang baik, kerjasama yang progresif, kestabilan dalam perdagangan, hubungan jangka panjang, tujuan yang berorientasi kedepan, dan penyelesaian masalah sengketa perbatasan Gulf or Tonkin (Rizka, 2017).
Restorasi ini menghantarkan Vietnam pada perkembangan perekonomian yang progresif karena banyaknya investasi asing yang ditanamkan oleh Tiongkok. Namun, hubungan yang baik ini ternyata tidak bertahan lama. Keagresifan dan keangkuhan Tiongkok dalam klaimnya di Laut China Selatan telah mengacaukan hubungan diplomatiknya dengan Vietnam.Â
Klaim yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap pulau-pulau kecil di Laut China Selatan seperti kepulauan Paracel (Xisha) dan Spratly (Nansha) telah  mengancam kedaulatan Vietnam. Dengan landasan tersebut, artikel ini akan fokus membahas tentang dinamika kerjasama ekspor beras antara Vietnam dengan Tiongkok dikala menegangnya konflik Laut China Selatan. Â
Setelah berakhirnya reformasi ekonomi, Vietnam menjadi negara yang lebih terbuka terhadap sistem internasional. Vietnam mulai menjalin hubungan kerjasama dengan berbagai negara di dunia.Â
Kerjasama yang dilangsungkan tidak semata-mata berdasar kepentingan ekonomi, namun mempertimbangkan kepentingan lainnya, seperti politik, hukum, hak asasi manusia, sosial-budaya, dan lain-lain. Kerjasama Vietnam dengan Tiongkok pun demikian, yang tidak hanya menekankan pada aspek politik, namun juga berusaha terus-menerus meningkatkan kerjasama di bidang ekonomi hingga sosial-budaya.
Hubungan bilateral antara Vietnam dengan Tiongkok memiliki kompleksitas yang tinggi. Hubungan diantara keduanya memiliki perkembangan yang dramatis, Â yang bermula dari lawan menjadi kawan, kemudian menjadi lawan lagi dan begitupun seterusnya hingga sekarang. Karakteristik hubungan diplomatik Vietnam-Tiongkok adalah dari "comradeship plus brotherhood" menjadi "the most direct and most dangerous enemies" (Rizka, 2017). Meskipun demikian, hubungan antara kedua negara dalam bidang ekonomi telah menunjukkan peningkatan yang cukup dramatis setelah normaliasi hubungan pada tahun 1990.
Salah satu bentuk peningkatan perekonomian Vietnam adalah kerjasama dalam perdagangan dan ekspor beras. Tiongkok merupakan negara dengan tingkat konsumsi beras paling banyak di dunia dengan rata-rata konsumsi sekitar 145,86 juta ton per tahun (Rizka, 2017). Meskipun Tiongkok tergolong sebagai negara produsen beras, namun ternyata Tiongkok mengalami kekurangan pasukan konsumsi beras. Hal ini dibuktikan dengan adanya kekurangan pasokan beras pada tahun 2009 hingga 2013 yang terjadi di Tiongkok yaitu mencapai 2,51 juta ton.
Sedangkan, Vietnam merupakan negara produsen beras yang masuk dalam kelompok pengekspor beras terkemuka di dunia. Hal ini merupakan hasil dari kebijakan komprehensif Doi Moi yang mulai diterapkan di Vietnam pada tahun 1987 oleh Partai Komunis Vietnam (PKV).Â
Program utama Doi Moi adalah meningkatkan produksi pangan dan bahan pokok lainnya dengan sasaran pemenuhan kebutuhan domestik dan pengimbangan kebijakan ekspor beras. Pada tahun 1989, untuk pertama kalinya Vietnam berhasil mengekspor beras sebanyak 1 juta ton (Rizka, 2017). Kebijakan Doi Moi dinilai berhasil dalam membawa Vietnam menuju ketahanan pangan yang lebih kuat dan mampu membawa Vietnam sebagai negara pengekspor beras di dunia.