Stigma HIV dan AIDS masih menjadi tantangan dalam kehidupan bermasyarakat. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang dan melemahkan sistem kekebalan tubuh, yang pada akhirnya dapat berkembang menjadi AIDS. Meskipun hingga saat ini HIV belum dapat disembuhkan secara total, dunia medis telah menyediakan pengobatan yang mampu memperlambat penyebaran virus di dalam tubuh. Dengan pengobatan tersebut, penderita dapat memiliki usia hidup yang lebih panjang dan tetap menjalani kehidupan, meskipun belum sepenuhnya dapat dikatakan normal. Artikel ini akan membahas bagaimana kita bisa membantu ODHA (orang dengan HIV/AIDS) keluar dari lingkaran stigma yang merugikan, dengan melihat persoalan dari sudut pandang ilmu sosiologi kesehatan.
HIV & AIDS dikenal sebagai penyakit berbahaya yang dapat membahayakan nyawa penderitanya. Virus ini dapat ditemukan dalam cairan tubuh seperti sperma, cairan vagina, cairan anus, darah, dan ASI, tetapi tidak terdapat dalam air kencing maupun keringat. Di Indonesia, HIV umumnya menular melalui beberapa cara, di antaranya: pertama, penularan dari ibu ke anak selama masa kehamilan, proses persalinan, atau saat menyusui, yang sering kali menyebabkan bayi lahir dengan kondisi cacat atau tidak normal. Kedua, melalui aktivitas oral seks. Ketiga, penggunaan alat bantu seks secara bergantian. Keempat, melalui transfusi darah yang berasal dari donor yang telah terinfeksi. Kelima, penggunaan jarum suntik atau perlengkapan medis lainnya yang terkontaminasi, seperti spons atau kain pembersih.
Stigma dan diskriminasi sering kali menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan penderita HIV & AIDS. Stigma, yang merupakan pemberian label kepada individu atau kelompok tertentu, biasanya muncul karena adanya karakteristik khusus yang melekat pada mereka. Karakteristik ini dapat berupa penyakit kronis, sifat seseorang, orientasi seksual, ataupun ciri kolektif seperti ras, etnis, dan golongan tertentu (Roman & Trice, 2009). Individu atau kelompok yang diberi label cenderung bertindak sesuai dengan persepsi yang dilekatkan kepada mereka. Saat ini, stigma dalam masyarakat lebih sering bersifat negatif.
Individu yang terkena stigma sering menghadapi perlakuan yang tidak adil, seperti diskriminasi. Mereka sering kali kehilangan hak-haknya sebagai makhluk sosial dalam lingkungan tempat mereka tinggal. Interaksi sosial mereka juga menjadi terhambat, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dampak diskriminasi dan pengucilan ini terlihat dari ruang gerak yang terbatas, kesulitan dalam pergaulan, dan hak-hak sosial yang tidak terpenuhi. Orang yang terstigma juga sering menjadi sasaran hinaan, ejekan, dan perlakuan tidak menyenangkan dari orang-orang di sekitarnya. Akibatnya, mereka kesulitan bergaul dan bahkan sulit mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Restorasi sosial hadir sebagai cara untuk mengembalikan harga diri mereka dan menghapus cap buruk yang selama ini melekat. Â
Sosiologi kesehatan memberikan wawasan penting tentang pengaruh faktor sosial dan budaya terhadap kondisi kesehatan individu. Dalam konteks ini, stigma terhadap ODHA menjadi masalah sosial yang perlu ditangani melalui pendekatan komunitas dan kebijakan yang inklusif. Sosiologi kesehatan menekankan bahwa perubahan sosial yang berkelanjutan hanya dapat terwujud jika pola pikir dan norma masyarakat yang ada ikut berubah. Sebagai contoh, penerimaan terhadap ODHA dapat ditingkatkan dengan memberikan edukasi dan menyadarkan masyarakat tentang HIV/AIDS, cara penularannya, serta dampak negatif stigma terhadap kehidupan sosial. Selain itu, program berbasis komunitas yang melibatkan ODHA dalam berbagai kegiatan sosial dapat berkontribusi dalam mengurangi pengucilan sekaligus mendorong mereka untuk kembali menjadi bagian aktif dari masyarakat.
Perspektif Sosiologi Kesehatan dalam Penciptaan Restorasi Sosial dapat dianalisis melalui berbagai teori dalam sosiologi kesehatan, seperti teori labeling, teori konflik, dan teori fungsionalisme. Menurut teori labeling, stigma terhadap ODHA seringkali muncul karena pelabelan negatif yang diberikan masyarakat. ODHA kerap dianggap sebagai pelanggar norma sosial atau penyebab masalah kesehatan. Pelabelan ini menghasilkan stereotip dan diskriminasi yang memperburuk kesejahteraan psikologis maupun sosial mereka. Untuk mengatasi hal tersebut, restorasi sosial dapat dilakukan melalui penghapusan stigma dengan edukasi publik, kampanye kesadaran, dan penggunaan bahasa yang lebih inklusif dalam percakapan sehari-hari maupun media.
Teori konflik mengungkapkan bahwa stigma terhadap ODHA dipengaruhi oleh struktur sosial yang tidak adil, di mana kelompok dominan menggunakan stigma untuk mempertahankan kendali sosial mereka. Hal ini membuat ODHA menjadi kelompok yang termarjinalkan, dengan akses yang terbatas terhadap pelayanan kesehatan dan peluang sosial. Pendekatan restorasi sosial berdasarkan teori ini memerlukan kebijakan yang mendorong pemberdayaan ODHA, membuka akses kesehatan yang setara, dan mengatasi hambatan struktural yang menyebabkan diskriminasi.
Dalam teori fungsionalisme, masyarakat dianggap sebagai sistem yang saling terhubung untuk menjaga keseimbangan. Stigma terhadap ODHA mengganggu harmoni sosial karena menciptakan perpecahan dalam masyarakat. Untuk memulihkan keseimbangan ini, diperlukan upaya integrasi ODHA melalui peningkatan solidaritas sosial, pelaksanaan program berbasis komunitas, serta penghapusan diskriminasi guna menciptakan masyarakat yang lebih inklusif. Melalui perspektif sosiologi kesehatan, restorasi sosial bertujuan untuk menghilangkan stigma sekaligus memperkuat relasi sosial yang setara. Langkah ini dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan yang memungkinkan ODHA mendapatkan hak yang setara dalam pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesempatan kerja, sehingga mereka dapat berkontribusi secara penuh tanpa terhambat oleh stigma.
Restorasi sosial merupakan intervensi komprehensif untuk mengangkat kembali martabat dan kedudukan sosial individu atau komunitas yang telah terpinggirkan dan mengalami marginalisasi dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam perspektif ODHA, proses pemulihan ini difokuskan pada upaya menghapus prasangka negatif, meningkatkan kualitas eksistensi sosial, serta menjamin akses menyeluruh terhadap pelayanan kesehatan dan dukungan sosial tanpa diskriminasi. Ditinjau dari sudut pandang sosiologi kesehatan, restorasi sosial bermakna transformasi struktur sosial yang memungkinkan setiap individu memperoleh pelayanan kesehatan secara optimal, setara, dan bermartabat.
Referensi: