Mohon tunggu...
Money

Pasar: Kesederhanaan Budaya yang Harus Diberdayakan

20 Februari 2019   22:40 Diperbarui: 20 Februari 2019   22:59 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar Belakang

Narasi tentang pasar tidak terlepas dari narasi pertumbuhan kota di Indonesia. Bertumbuhnya kota-kota di Pulau Jawa tidak terlepas dari kolonialisasi bangsa Barat di negeri ini. Salah satunya adalah Kota Surakarta. Awalnya kota ini menjadi pusat kekuasaan tradisional, karena memiliki struktur masyarakat tradisional. Berbagai macam bentuk ritual kebudayaan dan relasi sosial yang terjalin dalam masyarakat, memberikan makna tersendiri bagi Kota Surakarta, untuk bertransformasi menjadi ruang terbangunnya kemandirian. Salah satunya adalah Kampung Laweyan yang tumbuh menjadi basis aktivitas para pedagang di kota ini. Menciptakan kemandirian ekonomi dalam sistem perdagangan yang dibalut solidaritas keagamaan.

Pasar tradisional dan dinamika kota

Kota Surakarta, sebagai salah satu pusat budaya Jawa sangat menyadari bahwa budaya tradisional merupakan elemen penting dalam pembangunan dan perkembangan kota. Pola perkembangan kota senantiasa diiringi dinamika sosial dan dinamika masyarakat yang makin kompleks. Inovasi terus dimunculkan untuk memenuhi kebutuhan yang ada, salah satunya adalah mekanisasi dalam proses produksi, konsumsi dan distribusi. Menurut tulisan M Santos, dalam Peter J.M Nas (1979), perkembangan kota dikategorikan kedalam empat periode sejarah: periode sebelum perdagangan dunia (sebelum abad ke-16), periode perdagangan (dimulai abad ke-16), periode revolusi industri dan pergeseran capital (sejak 1850), serta periode pasca-Perang Dunia II atau sekarang (setelah 1945). Akhirnya kota pun menjadi konsentrasi banyak aspek kehidupan dengan beragam kebutuhan yang menyertainya. Kawasan kota sebagai pusat perekonomian juga memicu perkembangan pasar. Pasar memanfaatkan peran kota sebagai pusat jaringan perdagangan yang akan menjadi simpul bagi relasi dengan kota-kota kecil di sekitarnya. 

Saat ini dengan kebijakan yang berorientasi pada perdagangan dunia, pasar-pasar terbentuk sebagai pusat transaksi. Di Surakarta, aktivitas dagang mulai tumbuh dari komunitas masyarakat Laweyan. Posisi geografis Kampung Laweyan yang dialiri sungai besar yaitu Kali Kabanaran, Kali Jenes dan Kali Batangan dimanfaatkan untuk membawa, menukar, maupun menjual berbagai hasil bumi ke daerah sekitarnya, seperti Bandar Nusupan di tepi Bengawan Solo, dan Kali Pepe yang mengalir melewati depan Pasar Gede. Aktivitas ekonomi ini terlembaga dalam bentuk pasar, dengan sistem harga luncur, dimana terdapat ketidakpastian harga yang disebabkan tawar menawar yang tidak memiliki standar. 

Nilai nilai pasar tradisional

Seorang pedagang akan masuk ke pasar sebagai penjual jenis barang tertentu yang membangun jaringan distribusi antara satu pedagang dengan pedagang lainya. Kemudian seseorang akan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain didalam satu pasar untuk mencari barang yang dibutuhkannya, untuk dijual kembali atau digunakan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Kesederhanaan siklus ini memunculkan pola interaksi sosial yang cukup unik, jenis jenis barang dan nilai transasksi yang beragam menempatkan pasar dan para pelakunya dalam sebuah dinamika yang memungkinkan para pedagang menjalin hubungan transaksional dengan berbagai orang dari latar belakang yang beragam, hal ini menjadi sebuah keahlian yang harus di pertahankan. 

Pola interaksi ini terus berkembang mengiringi perubahan zaman, pada masa lalu transaksi yang terjadi melibatkan sisi sosial yang kental, pembeli dan pedagang mempunyai ikatan emosinal yang tinggi, saling mengenal secara mendalam satu sama lain, pertukaran informasi baik ekonomi maupun sosial politik sering terjadi di pasar. Pasar tradisional penuh dengan nilai-nilai lokal, ia merupakan salah satu simbol budaya di Tanah Air. Definisi kebudayaan menurut Koentjaraningrat (2003) memiliki tiga wujud, yakni (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma dan peraturan, (2) sebagai kompleks aktivitas serta tindakan berpola, (3) dan sebagai benda benda hasil karya manusia. Jika 3 nilai tersebut di implementasikan pada pasar tradisional makan akan berwujud (1) nilai yang menjadi dasar bagi sistem penyelenggaraan budaya pasar tradisional, seperti nilai solidaritas, nilai pertemanan usaha, nilai keakraban, dan nilai nilai kehidupan yang lain (2) seperangkat aktivitas ekonomi dan sosial yang berpola dan kontinyu dari para pelaku pasar dengan peran dan fungsi yang beragam, seperti jual beli dengan tawar menawar, bercengkrama, dan berpola paguyuban, (3) dan eksistensi lahan juga tipe bangunan dimana suatu pasar tradisional berlangsung ikut menjadi bagian dari kebudayaan.

Budaya yang diberdayakan   

Bagian penting dari penciptaan simbol budaya dalam politik pemberdayaan di kota Surakarta adalah dilakukannya revitalisasi pasar tradisional terhadap 40 lebih pasar tradisional yang ada. Salah satunya adalah Pasar Gede, pasar terbesar di Surakarta yang dibangun pada zaman pemerintahan Keraton Kasunanan. Pasar ini dan lingkungan sekitarnya telah tumbuh menjadi simbol budaya lokal, dan menjadi aset kultural yang senantiasa dibangun dan dikembangkan. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Surakarta 2010-2015 adalah Pengembangan Manifestasi Karakter Budaya Jawa Dalam Tata Pemerintahan, Ekonomi, Sosial dan Budaya Untuk Mendukung Tata Kehidupan Masyarakat Yang Sejahtera. Tema pembangunan kemudian dimanifestasikan kedalam tiga prioritas utama salah satunya yaitu penguatan ekonomi kerakyatan. Dengan program revitalisasi pasar tradisional, pemerintah kota berupaya memberikan perlindungan kepada pedagang kecil dan menengah. 

Menurut penelitian yang dilakukan Omega (2012) proses pelaksanaan revitalisasi pasar tradisional meliputi beberapa tahapan yaitu: tahapan awal, tahapan desain, dan tahapan pelaksanaan. Tahapan Awal, dimulai dari proses sosialisasi, pelelangan gambar desain dan diakhiri dengan sosialisasi penempatan. Tahapan Desain terdiri dari pelelangan fisik dan pelelangan pelaksanaan. Tahapan yang terakhir adalah Tahapan Pelaksanaan yang merupakan proses terpenting karena merupakan proses pembangunan dan pemindahan pedagang selama pasar direvitalisasi. Program ini bertujuan untuk menyelenggarakan promosi pedagang dan pasar tradisional agar dapat bersaing dengan pasar-pasar modern.

Kembali #kepasar

Sebagai seorang mahasiswa yang ikut menikmati program dan fasilitas pemerintah, sudah semestinya untuk mengambil peran dalam penjagaan dan pelestarian budaya #kepasar. Dengan menciptakan aktivitas sosial yang berkesinambungan di tengah-tengah masyarakat. Dengan pendidikan yang didapatkan di kampus, semestinya mahasiswa senantiasa mengaitkan sumber pengetahuan dan realita yang ada, membangun relasi yang efektif dengan masyarakat, serta memetakan persoalan yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Salah satunya dengan menciptakan gerakan sosial yang dapat mengajak masyarakat untuk kembali menghidupkan budaya #kepasar tradisional. 

Ekonomi kreatif yang berbasis kepada modal kreativitas sumberdaya manusia, berpeluang mendorong daya saing bangsa Indonesia di masa depan. Mahasiswa dengan kemampuan untuk berkreasi dan kesempatan menciptakan inovasi dan nilai tambah, akan menjadi sumberdaya terbarukan yang tidak ada habisnya. Kreativitas akan mendorong dihasilkannya produk-produk manufaktur dan jasa yang inovatif dan bernilai tambah tinggi. Dr. Agus Achmad Suhendra, Dekan Fakultas Industri Kreatif Telkom University menyarankan dua pendekatan utama dalam pengembangan ekonomi kreatif nasional, salah satunya pendekatan kolaborasi nasional, yakni kolaborasi antara sektor industri, perguruan tinggi, pemerintah, pelaku usaha, dan komunitas kreatif. 

Kota Surakarta dengan segala potensi dan sumber daya budayanya menjadi lahan yang subur untuk pengembangan kolaborasi ekonomi kreatif. Memberdayakan kesederhanaan budaya pasar tradisional, dengan mengonversinya menjadi industri kreatif dimasyarakat. Karena itu yuk #kepasar, untuk membangun dan mempertahankan budaya, kita perlu menyatu dan mengenal budaya itu dengan padu.

Daftar Pustaka :

  1. Ramdhon A (2016), Merayakan Negara Mematrikan Tradisi, Buku Litera; 5-9.
  2. M Santos, dalam Peter J.M Nas (1979: 89), dalam Akhmad Ramdhon (2016: 17); 17
  3. Soedarmono (2004), Surakarta: Morfologi Kota Kerusuhan
  4. Harsasto P (2018), Strategi Pembangunan Kota Berbasis Budaya: Revitalisasi Pasar Gede di Kota Surakarta, Jurnal Ilmu Politik; 36
  5. Damayantho T (2015), Pasar Rakyat; Antara Nilai Ekonomi, Sosial-Budaya dan Ekonomi Kreatif, diakses di: https://www.kompasiana.com/inmytree
  6. Lestari AD (2016), Review Buku Antropologi oleh Prof. Dr. Koentjaraningrat, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada; 5-6.
  7. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Surakarta 2010-2015, Lembaran Daerah Kota Surakarta Tahun 2010 Nomor.12
  8. Omega CD (2012), Implementasi program revitalisasi pasar tradisional di kota Surakarta studi kasus pasar gading Surakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun