Siapa yang tidak butuh listrik di zaman serba butuh listrik seperti sekarang ini? Kecuali memang kita ingin mengisolasi diri kita tanpa listrik di suatu pulau antah berantah, hmm sepertinya ide yang cukup bagus untuk menghilangkan kepenatan dari rutinitas yang tidak ada hentinya. Namun kali ini kita tidak akan membahas itu, bahasan kita sekarang mengenai aspek ekonomi dalam dunia kelistrikan.Â
Listrik merupakan salah satu jenis energi yang tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan umat manusia. Bangun tidur sampai akan tidur lagi hampir semua rutinitas kita ditopang oleh keberadaan listrik di antara kita. Namun pernahkah terbesit di pikiran kita berapa investasi dari energi listrik itu sendiri, terutama di Indonesia? Boroskah kita dalam menggunakan listrik? Bagiamana proyeksi biaya investasi listrik di Indonesia terutama bagian tengah di beberapa tahun kedepan? Terdapat banyak pertanyaan yang cukup membuat kita berpikir jika dihadapkan pada masalah ketersediaan energi listrik di Indonesia.Â
Oleh karena itu, pada kesempatan menulis artikel ini, saya akan sampaikan bagaimana sih menghitung biaya investasi tahunan untuk listrik di Indonesia khususnya di bagian tengah yaitu Sulawesi, sebagai salah satu pulau besar di Indonesia.
Pada kesempatan ini akan fokuskan pada perhitungan listrik di wilayah Sulawesi bagian selatan atau Sulbagsel. Data Badan Pusat Statistik, Edisi Maret 2018 melaporkan bahwa pada tahun 2017 pertumbuhan ekonomi Sulawesi mencapai 6,19% dengan pertumbuhan tertinggi berada pada provinsi Sulawesi Selatan sebesar 7,23%. Wilayah Subagsel meliputi Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat. Wilayah ini termasuk wilayah interkoneksi listrik yang besar di Indonesia.Â
Beban puncak Sistem Sulbagsel diluar Sultra saat ini sebesar 1.115 MW dengan daya mampu sebesar 1.300 MW. Kontribusi beban terbesar ada di sistem Sulselbar dengan pusat beban berada di kota Makassar dan sekitarnya. Penambahan pelanggan listrik dari sektor industri dan smelter menjadi salah satu dasar dalam menaikkan kebutuhan listrik yang dilayani tiap jam dalam satu tahun.Â
Hal tersebut akan dibarengi dengan penambahan pembangkit baru selama periode 2018-2027 sebesar 3.361 MW. Sesuai dengan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik atau RUPTL PLN 2018-2027, saat ini masih dalam tahap kontruksi jaringan transmisi 150 kV ke Kendari termasuk juga IBT 275/150 kV di Wotu yang direncanakan selesai pada tahun 2018. Jika kedua proyek tersebut selesai maka akan terbentuk Sistem Sulbagsel sampai ke Kendari di Provinsi Sulawesi Tenggara. Sehingga sebagian sistem isolated seperti Malili, Lasusua, Kolaka akan terhubung ke jaringan transmisi 150 kV.Â
Saat ini terdapat 2 proyek pembangunan pembangkit Energi Baru dan Terbarukan atau EBT berupa Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang ada di Sistem Sulbagsel antara lain PLTB Sidrap dengan kapasitas 70 MW dengan rencana beroperasi pada tahun 2018 serta PLTB Jeneponto dengan kapasitas 60 MW dengan rencana beroperasi pada tahun 2019. Sidrap merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan berada di bagian utara dari kota Makassar sedangkan Jeneponto berada di bagian selatan kota Makassar. Namun dalam pengoperasianya, diperlukan pembangkit cadangan untuk mengantisipasi fluktuasi listrik yang dihasilkan saat terjadi penurunan kecepatan angin.Â
Dari data-data yang telah dikumpulkan, selanjutnya dilakukan simulasi untuk mendapatkan total biaya investasi tahunan menggunakan program EnergyPLAN yang dikembangkan oleh Sustainable Energy Planning Research Group, Aalborg University, Denmark. Pada perhitungan menggunakan EnergyPLAN ini terdapat bagian electricity demand atau permintaan listrik yang akan diisi sesuai kebutuhan permintaan listrik di daerah tersebut. Cooling demand dan heat demand merupakan bagian untuk masukan permintaan sistem pendingin dan pemanas yang disediakan oleh penyedia listrik contohnya adalah sistem pendingin gedung, termasuk teknologi absorbs pada CHP.Â
Dalam perhitungan yang dilakukan pada penelitian ini hanya dibatasi pada perhitungan permintaan listrik dengan asumsi bahwa permintan sistem pendingin maupun pemanas sudah termasuk pada permintaan listrik dan tidak ada sumbangan listrik dari industri untuk perusahaan listrik. Pada awalnya dilakukan simulasi sesuai dengan data kelistrikan sistem Sulbagsel pada RUPTL 2018-2027. Penjualan pada tahun 2018 diperkirakan sebesar 7.357 GWh dan naik hingga dua kali lipat menjadi 15.954 GWh di tahun 2027 dengan total Daya Mampu Netto (DMN) sistem sebesar 1.912 MW dan 4.195 MW pada tahun 2018 dan 2027.Â
Hasil yang didapatkan adalah total biaya investasi pada tahun 2018 sebesar 1.072 Juta USD dengan asumsi 1 USD setara dengan Rp.13.940,00, sementara pada tahun 2027 biaya investasi sebesar 2.167 Juta USD. Sehigga Biaya Pokok Produksi (BPP) pada tahun 2018 dan 2027 adalah Rp.2.031,22/kWh dan Rp.1.893,44/kWh. Biaya tersebut sudah termasuk biaya dalam penyedian bahan bakar seperti batubara, minyak dan gas bumi, biaya operasi dan biaya emisi CO2. Pada tahun 2027 terjadi kenaikan biaya pada emisi CO2 dari 119 Juta USD menjadi 275 USD. Hal ini harus menjadi konsen kita dalam menekan biaya emisi CO2.
Inovasi perhitungan yang dilakukan meliputi penambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT seperti tenaga angin, air, biomassa dan sampah. Inovasi 1 dilakukan dengan menambahkan 100 MW pada PLTB dan PLTA; inovasi 2 manambahkan 30 MW pada PLTS; inovasi 3 menambahkan 30 MW PLTS, 100 MW PLTB dan PLTA; inovasi 4 menambahkan 30 MW PLTS, 100 PLTB dan PLTA, 10 MW PLTBm; inovasi 5 menambahkan 30 MW PLTS, 10 MW PLTBm dan PLTSampah. Tabel 1 merupakan hasil dari perhitungan setiap inovasi.