Mohon tunggu...
Annika Fathma
Annika Fathma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pelita Harapan

Interested in film and media

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Ancaman terhadap Konsep Diri dalam Platform Jaringan Sosial Karir

19 Desember 2021   04:32 Diperbarui: 19 Desember 2021   06:39 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Media sosial telah merubah bagaimana kita menavigasi dunia sosial. Beriringan dengan dunia "offline" ataupun tidak, media sosial menunjang proses pembangunan, artikulasi, dan berkembangnya hubungan maupun status dengan jejaring kita (Wild, 2020). Berkembangnya jejaring sosial karir Linkedin sebagai media sosial, menjadi kasus yang menarik dalam bagaimana seseorang menavigasi dunia sosial mereka terutama dalam konteks karir. Sebagai sebuah social networking platform yang memiliki tujuan untuk menghubungkan para profesional di seluruh dunia, LinkedIn merupakan sebuah platform yang dapat membantu segala tahapan dan perjalanan karir seseorang. Namun, fitur-fiturnya yang semakin menyerupai media sosial pada umumnya, menimbulkan banyak ancaman terhadap konsep diri seseorang. 

Pertama-tama, perlu diketahui bahwa konsep diri terdiri dari perasaan dan pikiran kita tentang kelebihan dan kekurangan kita. Menurut Devito (2015), konsep diri ini bisa didapatkan melalui empat hal, dua di antaranya merupakan gambaran yang orang lain persepsikan tentang diri kita dan apa yang mereka ungkapkan tentang kita dan perbandingan yang kita buat dengan diri kita dan orang lain. 

Melalui gambaran orang lain tentang kita, kita bisa mempelajari ini melalui konsep "The Looking-Glass Self". Konsep ini menjelaskan jika kita ingin mengetahui sesuatu tentang diri kita, kita dapat melihatnya melalui gambaran diri yang dinyatakan orang lain terhadap kita (Cooley, 1992). Lebih spesifiknya lagi, kita dapat mencari opini orang yang signifikan dan terdekat di hidup kita untuk mencari tahu lebih dalam tentang pendirian kita. Cara orang itu bersikap terhadap kita juga bisa menjadi gambaran bagi pendirian kita dari bagaimana mereka memperlakukan kita.

Lalu, cara lain untuk mengembangkan konsep diri kita adalah melalui perbandingan sosial (Devito, 2015). Ini adalah cara bagaimana kita terkadang membandingkan diri kita ke orang lain atau sesuatu. Contohnya, Alfa yang memiliki sedikit pengalaman membandingkan dirinya dengan Bono yang memiliki 5 tahun pengalaman di industri yang Alfa minati dan akhirnya membuat Alfa merasa bahwa harga dirinya rendah padahal kemampuannya tidak setara dengan Bono. Disinilah mengapa terpaan media sosial dapat menghasilkan dampak negatif terhadap konsep diri seseorang. Media sosial memudahkan kita untuk membandingkan diri kita dengan orang lain melalui laporan dari search engine yang memudahkan seseorang untuk mencari nama mereka dan orang lain di situs online dan dengan mudahnya seseorang bisa membandingkan dirinya melalui hasil search engine tersebut. Selain itu, persebaran jejaring seseorang juga bisa menjadi cara kita membandingkan berapa koneksi atau teman yang kita punya di media sosial dengan orang lain. 

LinkedIn secara tidak langsung menjadi salah satu platform yang menjadi acuan banyak orang dalam membandingkan diri mereka. Mungkin tidak jarang seseorang setidaknya sesekali mencoba mencari nama orang lain melalui search engine dengan tujuan untuk menemukan halaman LinkedIn-nya. Fitur LinkedIn sendiri memang menyoroti beberapa hal yang dapat mendorong perbandingan sosial seperti jumlah koneksi, pengalaman yang dimiliki seseorang, penghargaan, dan lain sebagainya. Tidak berhenti di situ, fitur untuk memposting sesuatu sering kali menjadi ajang seseorang untuk menunjukkan rasa terima kasih mereka terhadap suatu pencapaian, penerimaan kerja, kelulusan, dan lain sebagainya. Namun, banyak orang dapat menganggap LinkedIn sebagai platform media sosial yang toxic lainnya. Banyaknya konten di LinkedIn yang bertujuan untuk mengesankan koneksi mereka, dapat menimbulkan permasalahan seperti berkurangnya self-esteem seseorang dan imposter syndrome (Opinion: Unlink from the Toxic Side of LinkedIn Pepperdine Graphic, 2020). Menurut Wild (2020), komentar dan fitur "suka" pada sebuah postingan juga dapat berfungsi sebagai indikator kinerja dan umpan balik. Sehingga, seberapa banyak atau sedikit umpan balik yang diterima menjadi penilaian individu terhadap kemampuan mereka meski merupakan penilaian subjektif orang lain yang dapat mengancam konsep diri ketika terjadi kesenjangan yang besar (Wild, 2020).

Secara spesifik perbandingan sosial dapat terjadi dimana seseorang bisa merasa divalidasikan lewat respon dan umpan balik jejaringnya mengenai "pengumuman" tersebut. Selebihnya, postingan tersebut juga bisa memvalidasikan kehadiran seseorang di dunia maya karena mereka bisa melihat dan membandingkan berapa banyak orang yang memberikan like terhadap postingan tersebut. Dalam konteks Linkedin, seberapa banyak orang menjadi tertarik untuk lebih lanjut melihat profil mereka juga menjadi salah satu faktor lainnya yang dapat mempengaruhi persepsi diri dan pada akhirnya konsep diri yang terdistorsi.

Meski demikian, LinkedIn tidak sepenuhnya eksklusif terhadap profil-profil dengan karir yang cemerlang ataupun postingan-postingan rasa syukur yang mengumumkan segala pencapaian. LinkedIn dimaksudkan untuk menjadi platform yang menghubungkan para professional di seluruh dunia, baik yang baru melangkah pertama kali di dunia kerja ataupun yang sudah bertahun-tahun. LinkedIn juga seharusnya menjadi jaringan sosial untuk dapat meningkatkan hubungan antar pribadi dengan jejaring kita, secara efektif membuat ide Anda didengarkan, hingga berkoneksi dengan calon klien atau kolega. Pada akhirnya, tidak ada satupun orang yang sempurna, apalagi perjalanan karir seseorang. Menyoroti perjalanan ataupun perjuangan karir juga sama pentingnya dengan pencapaian yang kita miliki. Terkadang kita lupa apa yang kita lihat online hanya merupakan hasil atau tujuan akhir seseorang saja. Oleh karena itu, tidak seharusnya kita membandingkan awal kita dengan akhir atau pertengahan seseorang, terutama ketika konsep diri kita yang menjadi pertaruhannya. 

Referensi:

Devito, J. (2015). Human Communication: The Basic Course, 13th ed. USA: Pearson. 

Opinion: Unlink from the Toxic Side of LinkedIn Pepperdine Graphic. (2020). Pepperdine Graphic. https://pepperdine-graphic.com/opinion-unlink-from-the-toxic-side-of-linkedin/

Wild, T. (2020). "Social Media Responses To Self-Concept Threats". The Undergraduate Journal Of Psychology At Berkeley. Volume 13, 44-55. https://works.swarthmore.edu/fac-psychology/1149

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun