Sebagai kaderisasi bangsa selanjutnya, pemuda-pemudi Indonesi merupakan asset penting yang akan berperan besar dalam perkembangan bahkan kemajuan bangsa Indonesia untuk kedepannya. Tuntutan untuk menjadi kader yang cerdas saat ini ditujukan kepada seluruh mahasiswa atau pemuda pemudi Indonesi. Kecerdasan inilah yang akan merubah kebobrokan sistem yang ada di politik bangsa ini. Kebobrokan sistem ini telah mengantarkan ketraumaan dan ketidakpercyaan masyarakat terhadap dunia politik. Hampir 65% masyarakat Indonesi telah memandang negatif terhadap perjalan politik Indonesia. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap politik serta para elitnya ini dipicu oleh marak dan mengakarnya budaya korupsi yang ada di Indonesi. Bila di prosentasikan kasus korupsi yang dilakukan para legislatif ini hampir mencapai 75% dari keseluruhan para elit politik.
Para calon legislatif dituntut untuk mengeluarkan uang yang istilahnya adalah uang kampanye, demi mendapatkan kepercayaan dan suara rakyat. Uang kampanye yang di keluarkan inipun dalam jumlah nominalyang sangat besar , dan hal ini tidak sebanding dengan gaji yang akan diperoleh para caleg tersebut ketika telah berhasil menduduki kursi legislatif. Ketidak seimbangan ini merupakan bentuk dari kesalahan sistem yang akan memicu munculnya budaya korupsi. Dalam kedudukan yang telah diperoleh, secara otomatis para legislatif tersebut berinisiatif mengabil kembali uang yang telah dipergunakan untuk membeli kepercayaan dan suara rakyat tersebut. istilah trendnya adalah balik modal.
Jika pada pemilu 2009 ongkos kampanye telah mencapai 2 sampai 3 milyar, pada pemilu 2014 bisa mencapai 2 kali lipatnya. Ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh anggota fraksi PDIP DPR Sumaryoto. Bisa dibayangkan, jika ongkos kampanye yang harus dikeluarkan sedemikian besar dan bahkan bertambah 2 kali lipatnya di setiap pemilu selanjutnya, maka semakin lama budaya korupsi yang ada di Indonesi bukannya semakin berkurang akan tetapi semakin bertambah besar dan mengakar. Dan kehancuran bangsa ini telah dapat diprediksikan.
Kebobrokan sistem pemilu yang ada di Indonesia bukanlah semata-mata karena kesalahan mereka para calon legislatif. Tetapi juga kesalahan seluruh rakyat Indonesia yang telah menyebabkan ketidakpercayaan diri para calon legislatif untuk mencalonkan diri bila tanpa uang kampanye yang seolah menjadi tuntutan. Dimana jika ingin dipilih maka calon legislatif harus memberikan ongkos kampanye kepada masyarakat.
Berdasarkan data statistika, masyarakat Indonesia yang tidak peduli dengan uang kampanye hanya sekitar 20 % dari keseluruhan jumlah masyarakat Indonesia yang kurang lebih mencapai257.516.167 jiwa pada tahun 2012 lalu. Sungguh ironis sekali.
Tidak bersebrangan dengan apa yang dikatakan oleh Wakil Ketua DPR Pramono Anung, bahwa kemunduran kinerja legislatif diperlemen disebaban motivasi awal mereka untuk memiliki kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi, disamping buruknya rekrutmen dan kaderisasi di internal partai.
Dengan demikian langkah awal untuk menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran dan mengeliminasi berbagai kasus dan tindakan korupsi yang telah marak dan membudaya di negeri ini, butuh kesadaran penuh seluruh masyarakat Indonesia untuk membenahi dan memperbaiki kembali kebobrokan sistem yang ada. Tidak hanya kesadaran penuh dari para elit politik, tetapi juga kesadaran penuh masyarakat Indonesia untuk menjadi masyarakat yang cerdas dalam memilih calon legislatif juga masyarakat yang kebal terhadap politik uang. Selain itu para calon legilatif yang berasal dari individu terpelajar seharusnya benar-benar menumbuhkan kesadaran mereka untuk menjadi calon legislatif yang jujur dan bermoral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H