Mohon tunggu...
Annik Nurmiati
Annik Nurmiati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

open my mind!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah, Bisakah Aku Menjadi Dokter?

26 Juni 2012   01:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:32 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara adzan subuh berkumandang memecah kesunyian. Namun, mataku terasa sulit untuk kubuka. Ku paksakan diriku untuk bangun dan beranjak dari tempat tidur. Kemudian aku bergegas menuju kran untuk berwudhu. Dalam langkah, ku tersentak ketika ku lihat ayah masih terlelap tidur di lantai, yang hanya beralaskan tikar kecil tanpa bantal. Guratan lelah begitu tampak jelas di wajah ayah, yang selalu berusaha mengumpulkan sepeser uang untuk kami dan bertahan hidup di kota metropolitan ini.

Kami tinggal disebuah rumah yang cukup sempit di pinggiran kota Jakarta. Semua kemewahan dan fasilitas di Jakarta tak bisa kami nikmati karena terbatasnya kondisi keuangan keluarga. Tapi, inilah hidup semua harus dijalani dan disyukuri. Sebagian orang menikmati kemewahan yang ada, sementara di sisi lain masih banyak orang yang kurang mampu.

Kulanjutkan langkahku untuk berwudhu. Namun, beberapa menit kemudian terdengar suara kakakku memanggil untuk meminta bantuan. “Joni! Tolong bantu aku ke kamar mandi!” kata Kak Awin. Aku pun membantu memapahnya ke kamar mandi. Sudah sekitar dua bulan lalu kakakku sakit yang tak kunjung sembuh, tak jelas penyakit apa yang diderita. Dia begitu lemah dan pucat, namun yang aku tahu awalnya dia merasakan sakit pada ginjal kirinya dan harus di cek ke dokter setiap dua minggu sekali, tapi hal tersebut tidak dilakukan karena keterbatasan biaya yang kami miliki. Andai saja aku seorang dokter pasti aku akan mengobati kakakku dan menyembuhkan dia dari penyakit yang diderita. Sejenak ku terdiam dan memikirkan kata “DOKTER”, begitu sederhana namun mengandung makna begitu mendalam, ingin rasanya aku menjadi dokter yang memberikan pengobatan gratis untuk orang yang kurang mampu. “Ahhh, begitu sulit bagiku, rasanya tidak mungkin,” gumamku.

Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul 06.10. Setiap pagi jam 06.00 aku pergi ke rumah Mak Nur untuk mengambil gorengan dan kue yang harus aku jual keliling di sekitar kampung. Kegiatan ku setiap pagi sangatlah berbeda dengan anak lain seumuranku, yang harus menuntut ilmu dengan penuh keceriaan. Bukannya aku tak ingin seperti mereka, namun keadaan yang menuntutku untuk tidak melanjutkan pendidikanku. Sekitar 7 bulan lalu aku sempat bersekolah di SMP yang tak jauh dari rumah ku selama satu setengah tahun, tapi itu tidak bertahan lama karena ayahku tak bisa membayar uang sekolah selama 6 bulan sehingga pihak sekolah terpaksa mengeluarkan aku dari sekolah. Sedih rasanya aku kehilangan masa-masa sekolah, namun apa daya aku tak mampu menolak nya dan semua cita-cita ku menjadi dokter terasa jauh untuk diwujudkan.

Jam 06.20 aku tiba di rumah Mak Nur. Seperti biasa aku langsung masuk dan menemuinya. Tapi, ada yang berbeda pada raut wajah wanita tua itu pagi ini. Dia marah padaku karena aku telat mengambil keranjang, bahkan ucapan salamku pun tak dijawab. “Kok jam segini baru datang, darimana saja kamu? Tak biasanya kamu datang terlambat,” Mak Nur membentakku. “Maaf, Mak! Tadi saya telat bangun,” jawabku sambil menundukan wajah dan aku tak berani menatap wajahnya yang memerah itu. “Ya sudah, buruan kamu jual gorengan ini,” kata Mak Nur. “ iya, Mak. Saya berangkat. Assalamualaikum!”

Pagi ini, aku membawa kue dan gorengan sebanyak 50 buah di keranjang ini. Di sepanjang jalan aku harus mengeluarkan suara ku agar orang-orang tahu kalau aku menjual kue dan gorengan.

“Gorengan... Kue...!”

“Gorengan... Kue...!”

“Gorengannya, Bu! Kuenya...” begitu seterusnya.

Ya, kata-kata itulah yang harus aku teriakkan disetiap langkahku. Setelah sepuluh menit berjalan, gorengan ku sudah laku sembilan. Aku menjualnya dengan harga Rp.2000.- per tiga buah sedangkan kue nya seharga Rp.500.- per buah, dan tidak banyak keuntungan yang aku dapat dari jualan ini.

Aku melewati sekolah SMP ku yang dulu. Aku melihat guru dan teman-temanku masuk ke kelas dengan penuh semangat. “Tuhan! Kapan aku bisa sekolah lagi? Aku berharap secepat mungkin aku kembali ke sana,” gumamku.

Jam 10.00 aku tiba di rumah Mak Nur, dan syukurlah tersisa tiga buah gorengan lagi. Jadi total uang yang kuperoleh pagi ini adalah Rp28.000,-. “Mak, ini uang dan sisa gorengannya!” kataku. “Oh, iya. Ini jatahmu Rp.8.000,- dan bawalah gorengan ini untuk mu!” kata Mak Nur. “Iya, Mak. Terima kasih!” jawab ku. Aku pun bergegas pulang dengan membawa uang Rp.8000.- dan tiga gorengan yang terbungkus plastik. Setibanya di rumah, ku lihat kaleng tempat uang ku tergeletak di depan pintu.

“Ayah, ada apa ini? Kok kalengku di depan pintu?” tanyaku dengan rasa penasaran yang tinggi.

“Maaf, Nak! Ayah terpaksa melakukan ini, Ayah yang membongkar celenganmu,” jawab ayah ku dengan suara parau.

“Tapi kenapa, Yah?”

“Kakakmu tadi kejang-kejang dan dibawa ke puskesmas untuk dirawat. Ayah hanya punya uang Rp30.000,- kemudian Ayah mengambil uangmu untuk membayar biaya di puskesmas”

“Ayah. Tapi, uang itu buat aku bayar sekolah. Berarti semester depan aku tidak bisa meneruskan sekolahku lagi?

“ Ayah tahu, Nak!. Tapi, maafkan Ayah. Besok kalau ayah punya uang akan Ayah ganti, Ayah janji. Semester depan kamu bisa masuk sekolah lagi. Ayah yakin kamu bisa mencapai cita-citamu menjadi seorang dokter. Ayah sangat yakin, Nak. Kamu bisa dan kamu juga harus yakin!”

“Iya, Ayah. Aku yakin, aku bisa jadi dokter,” jawab ku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun