Jalan-jalan tanpa rencana? Sepertinya itu sudah menjadi hal yang lumrah dalam hidupku selama masuk dunia perkuliahan pariwisata yang hampir sebagian berisi manusia-manusia impulsif. Biasanya ide impulsif ini muncul ketika weekend atau hari libur yang gaada tanggungan tugas atau pun kelas. Selalu ada cerita seru yang menanti di setiap perjalananku.
Sebenarnya tujuan awal dari perjalanan ini adalah menemani Jhonny (temanku parwi) observasi di Pantai Baron demi tugas mata kuliah seminar. Awalnya, si Jhonny ini hanya mengajak satu orang saja untuk menemani dia observasi. Tapi, di hari Rabu siang tiba-tiba jadi 8 orang yang ikut Jhonny observasi…
Kenapa bisa jadi 9 orang yang berangkat ke Baron? Jadi, di hari Rabu itu, sebelum Jhonny berangkat observasi, aku dan teman-temanku sedang makan siang di Bonbin (kantin Fakultas Filsafat, bukan kebun binatang ya hehe) sambil ngobrol ngalor-ngidul.
Disela obrolan itu, ada seorang temanku bernama Hera yang tiada angin tiada hujan mengajakku ikut Jhonny ke Pantai Baron. Kemudian ajakan itu merembet ke semua orang yang ada di meja kantin saat itu. Setelah berbagai pertimbangan, pergilah sembilan orang ini ke Baron.
Butuh waktu dua jam untuk menuju Gunung Kidul. Kami rela menerjang teriknya matahari Sleman-Gunung Kidul. Berperang dengan panas, debu, dan asap kendaraan. Semua itu tidak mengurungkan niat kami. Demi healing semata, sejenak melupakan semua beban yang ada.
Singkat cerita, setelah dua jam perjalanan itu, sampailah kita di Pantai Baron. Cukup terkejut melihat keadaan Pantai Baron yang kini terlihat berbeda dari sebelumnya aku kesini. Ternyata Pantai Baron kerap terkena abrasi. Sekarang perlu menyebrangi sungai untuk main di pantai ini, dengan biaya Rp10.000,00/orang menggunakan perahu.
Salah satu kebodohan kami disini adalah lupa mengecek kesediaan uang cash. Ya, manusia-manusia cashless ini dengan santainya mengandalkan QRIS. Karena saat itu di antara kami minim uang cash, kami memutuskan untuk mencari pantai terdekat yang bisa main air tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Kami berpikir bahwa lebih baik uang cash yang sangat minim ini digunakan untuk membeli makan dan minum.
Setelah mencari-cari di google maps, bertemulah dengan Pantai Mesra. Jaraknya tidak jauh dari Baron, sekitar 7 menit. Tanpa pikir panjang, kami bergegas kesana sebelum matahari tenggelam. Akses menuju pantai mesra cukup mudah, meskipun terdapat sedikit jalan yang masih belum beraspal dan perlu jalan kaki sekitar 200 meter untuk turun ke pantainya.
Sesampainya di Pantai Mesra, aku cukup takjub dengan pantai Gunung Kidul satu ini. Serasa lagi di Bali!! Beruntungnya di sore hari itu ada sedikit goresan langit senja yang semakin menambah pantai mesra terlihat cantik. Langit senja, suara ombak, dan hembusan angin di pantai ini sangat memanjakan mata dan cukup menghilangkan penat, sejenak melupakan rumitnya isi kepala.
Puas menikmati pemandangan yang begitu menawan, tidak lupa kami berfoto ria. Mengabadikan segala momen disini.
Hari pun sudah mulai gelap. Dan kami juga sudah puas bermain disini. Pukul 18.30 WIB, aku dan teman-teman beranjak dari pantai ini dengan kondisi perut yang mulai keroncongan.
Drama kesekian dari perjalanan kali ini adalah masalah makan dengan keadaan uang cash yang pas-pasan. Di perjalanan pulang kali ini kami tidak tahu ingin makan apa dengan keadaan uang cash yang pas-pasan. Akhirnya kami gambling. Memilih tempat makan yang sejalan dengan rute yang kami lewati dengan perut yang sudah keroncongan. Setelah 1 jam perjalanan, bertemulah dengan Bakso Baskom.
Baru menapaki parkirannya, si tukang parkir berinisiatif menanyakan salah satu karyawan di sana, “Mba, masih nggak ya?”, lalu di karyawan menjawab “Sudah habis pak”.
Disitu kami kecewa. Tapi tidak lama kemudian, seorang karyawan bertanya,“Buat berapa orang, mba?”, lalu ku jawab, “Sembilan orang, kak”. Ternyata masih cukup untuk menampung kami ber-9, dengan catatan menu yang tersedia tidak banyak. Waktu itu hanya tersedia 4 porsi mie ayam dan 5 porsi bakso. Kami mengumpulkan semua uang cash yang ada untuk membayar makanan ini. Beruntung masih ada cukup uang, karena tempat ini hanya menerima pembayaran konvensional.
Perut sudah kenyang, kami bergegas pulang. Kami pulang dan istirahat di kos masing-masing. Inti dari jalan jalan itu sebenernya adalah action bukan planning yang hanya menjadi wacana semata. Sekian cerita perjalanan impulsif kali ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H