Sejak awal pernikahan, saya dan suami  melakukan rutinitas belanja bulanan yang biasanya kami lakukan di awal bulan. Rutinitas belanja bulanan ini bukan hanya aktivitas belanja bagi kami, tapi juga berdiskusi mengenai perkembangan pasar, kemajuan ekonomi dan bahkan isu lingkungan.Â
Belanja bulanan ini adalah ajang buat kami berargumentasi dan memperkaya pengetahuan dan informasi satu sama lain. Suami saya cenderung untuk memilih barang yang harganya terjangkau, hemat, paket promosi dan popular di masyarakat. Sedangkan saya lebih memilih produk yang memiliki kemasan yang menghasilkan sampah sedikit atau dapat didaur ulang.
Dan upaya saling meyakinkan satu sama lain pun dimulai oleh kami berdua. Suami saya memilih untuk membeli minyak goreng dalam bentuk kemasan pouch, sedangkan saya dalam kemasan botol plastik.Â
Agar meyakinkan suami yang seorang bankir dan berlatar belakang ekonomi dan, saya menjelaskan mengenai ekonomi sirkular (circular economy) yang salah satunya adalah prinsip reduce (mengurangi) sedini mungkin dampak sampah kemasan yang dihasilkan dengan cara memilih produk yang dikemas dari bahan bahan yang mengandung material yang mudah di daur ulang untuk menjadi sumber daya produk lain yang bermanfaat atau bahkan  mengandung recycle content di dalam kemasan tersebut, Sehingga sampah kemasan yang nanti dihasilkan sangat minim atau bahkan tidak ada di lingkungan nanti termasuk di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Â
Saat ini sebagian besar botol kemasan minyak goreng adalah plastik jenis PET yang banyak dimanfaatkan oleh pendaur ulang untuk di olah menjadi produk lainnya atau mungkin bisa menjadi kemasan botol minyak lagi.Â
Sebenarnya kemasan plastik pouch juga bisa di daur ulang namun biaya logistik  untuk pengangkutan menuju industri daur ulang sangat mahal. Selain itu karena masih rendahnya budaya di masyarakat untuk memisahkan sampah organik dan anorganik, maka menyebabkan kualitas sampah kemasan tersebut menjadi rendah untuk di daur ulang karena menjadi basah dan kotor (lumpur, debu, air, dll). Sehingga  kemasan plastik pouch in menjadi tidak banyak untuk di daur ulang. Berbagai pihak perlu berkerjasama untuk meningkatkan laju daur ulang kemasan pouch ini.
Upaya menyakinkan suami  ini tentu saja tidak mudah karena suami  berpendapat dengan prinsip ekonomi tetap lah di No 1 yaitu membeli barang dengan harga semurah mungkin untuk mendapatkan barang dengan kuantitas banyak dan kualitas terbaik. Sehingga uang belanja bulanan bisa dihemat, ditabung dan kemudian di gunakan untuk piknik tahunan.Â
Jika saya membandingkan harga produk kemasan  pouch dengan botol, kemasan botol PET lebih mahal harganya dibandingkan kemasan pouch. Namun saya lebih memilih untuk kemasan PET untuk investasi lingkungan dan sosial. Investasi lingkungan dari kemasan PET ini adalah berkurangnya sampah yang dihasilkan karena di manfaatkan untuk material daur ulang dan dimanfaatkan kembali menjadi produk lain seperti produk fiber, dacron, textile, bahkan bisa menjadi kemasan botol lagi yang kemudian bisa di daur ulang menjadi kemasan botol lagi dengan mematuhi keamanan pangan dan teknologi yang semakin canggih.Â
Sedangkan investasi sosialnya adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang dengan menjadi pengumpul sampah kemasan, dan memberikan pendapatan bagi yang mengelola sampah kemasan tersebut. Â
Jadi selisih harga antara kemasan pouch dan kemasan PET ini adalah bagian dari tanggung jawab  yang harus ditanggung sebagai konsumen dalam mengelola sampah yang dihasilkan dan juga komitmen untuk berinvestasi di  perkembangan sosial dan lingkungan yang lebih baik.
Mungkin sebagai belum banyak konsumen seperti saya yang menerapkan salah satu prinsip Ekon0mi Sirkular (Circular Economy) yaitu reduce dengan mengimplementasikan" Thinking before Buying".