Setelah mengunjungi Taman Soekasada (Soekasada) dan mengisi lambung barang sejenak, kami (saya, Dwi, Dian, dan Pak Eko) melanjutkan perjalanan ke Tirtagangga Water Palace (Tirtagangga). Â Berada di Desa Ababi, kami tidak memerlukan waktu yang lama untuk mencapai Tirtagangga dari Soekasada, karena memang keduanya berada di Karangasem.
"Ayok kita lanjooott," Pak Eko menyemangati kami ber-3 yang tampak mulai lieur ngantuk kekenyangan. Â Ikan gurame bumbu matah dan sepiring besar nasi ternyata, yang walaupun tidak tandas, sudah sukses merabunkan pandangan saya.
Ajakan Pak Eko saya sambut dengan anggukan seraya tak henti menguap dan membiarkan mata digenangi titik-titik air menahan kantuk. Â Kenapa ya setiap kekenyangan selalu bikin ngantuk? Kopi mana kopi.
Hamparan Hijau Bak Lukisan
Melangkah pelan sejauh kurang lebih 200 meter menuju gerbang masuk, saya menikmati waktu-waktu mengamati beberapa toko handicraft dan warung penjual makanan ringan di sepanjang jalan. Â Pemandangan umum yang selalu kita lihat di setiap destinasi wisata di Bali.
Saya mendadak feeling lost karena sudah tidak lagi mengenali "wajah depan" Tirtagangga. Â Terakhir ke sini mungkin saat saya masih berusia belasan tahun (berapa puluh tahun yang lalu itu). Â Saat-saat dimana istana air yang dibangun oleh Raja Karangasem, Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem, di tahun 1946 ini, masih belum terpasang pagar dan gampang terlihat langsung dari pinggir jalan, serta dikelilingi oleh berhektar-hektar sawah.
Sekarang destinasi wisata ini sudah dikepung dinding semen permanen dan gerbang menjulang dengan pagar kecil di sisi kanan (masuk) dan kiri (keluar). Â Nyaris tidak ada yang istimewa.Â
Tapi begitu melewati pintu masuk ini, decak kekaguman dijamin bakal merajai rasa dan indera penglihatan kita. Â Kemegahan Istana Air seluas 1.2 hektar ini tersaji begitu sempurna dengan penataan yang cantik dan kebersihan yang sangat terjaga. Â Persis sebuah lukisan untuk ruang keluarga yang pernah saya temukan di beberapa galeri seni yang berada di Ubud.
Saya mendadak terpaku untuk beberapa waktu. Â Tergugu dan hanyut dalam kekaguman sambil menebarkan pandangan. Â Mendadak kantuk yang tadi menyelimuti hilang tak berbekas. Â Segitunya? Yak segitunya. Â Dari tempat saya berdiri, persis di depan gerbang masuk, ada 2 kolam (atau mungkin lebih tepat disebut danau) berair tenang dan berisikan (mungkin) ratusan ikan-ikan bersisik cantik.
Tak ingin melewatkan satu pun sudut indah di sini dan demi kepentingan narsisme feed di Instagram, saya memutuskan untuk menyerahkan HP ke Dwi, sementara saya konsentrasi memotret menggunakan kamera analog. Â Semua pastinya terlalu indah untuk tidak dikenang.