Pada 15 Juli 2013, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), "mewakili" sekolah-sekolah di seluruh Indonesia untuk menerapkan kurikulum 2013 (K-13). Ini menambah sejarah panjang Indonesia mengubah kurikulum menjadi sepuluh kali. Seperti dapat kita lihat, kurikulum yang pernah dilaksanakan di Indonesia antara lain kurikulum rencana pengajaran (1947-1968); kurikulum 1947 (rencana studi 1947), kurikulum 1952 (downgrade course plan 1952), kurikulum 1964, kurikulum 1968, kurikulum berorientasi tujuan (1975). -1994); Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dan K-2013.
Dalam implementasinya, Â Kemendiknas telah mengevaluasi kekurangan atau permasalahan pada kurikulum sebelumnya guna melakukan perubahan K-13 yang lebih baik. Uji publik menemukan beberapa permasalahan dalam Kurikulum 2006 (KTSP), antara lain:
- Kurikulum tidak sepenuhnya memenuhi persyaratan fungsi dan tujuan pendidikan nasional;
- Kemampuan tidak sepenuhnya menggambarkan bidang sikap, keterampilan dan pengetahuan.
- Beberapa kemampuan (seperti pendidikan karakter, metode pembelajaran aktif, keseimbangan soft skill dan hard skill, jiwa wirausaha) yang diperlukan sesuai kebutuhan perkembangan tidak dimasukkan dalam kurikulum, tidak peka dan tidak tanggap.
Menarik untuk melihat poin ketiga dari pertanyaan di atas. Salah satunya adalah pendidikan karakter. Artinya, Kemendiknas ingin menjadikan pendidikan karakter sebagai prioritas utama K-13. Sebagaimana dikemukakan oleh Samani Muchlas dan Hariyanto dalam buku "Konsep dan Model Pendidikan Karakter" (2012:7), sejak orde lama, pendidikan karakter berguna dalam menambah warna kurikulum Indonesia. Sebagai landasan pengembangan budaya, pendidikan karakter menekankan pada hubungan antar manusia, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang tua, dan antara siswa dengan siswa lainnya. Ini menandakan bahwa dalam K-13 ini, pemerintah ingin lebih menekankan pada pendidikan karakter.
Senada dengan penjelasan di atas, Guru Besar Mendiknas. Muhammad Nuh juga menekankan urgensi pendidikan karakter. Dimulai pada tahun 2011 dan bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Tema kegiatan peringatan Hari Pendidikan Nasional saat itu adalah "Pendidikan Etika Pilar Kebangkitan Bangsa", dan subtemanya adalah "Berprestasi dan Karir, Memajukan Moralitas". Hal ini merupakan bentuk "kepedulian" pemerintah terhadap urgensi pendidikan karakter, mengikuti perilaku anak didik kita saat ini, yang sangat bertolak belakang dengan tujuan pendidikan yang tertuang dalam UU Pasal 3 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan nasional, mengutamakan pengembangan potensi peserta didik, dan menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan warga negara yang bertanggung jawab.
Perilaku anti nilai pendidikan karakter sejalan dengan rendahnya disiplin dan tertib belajar di sekolah seperti siswa banyak yang bolos atau tidak hadir di sekolah. Kelompok komunitas sepeda motor semakin banyak di jalanan, dan terdapat budaya plagiarisme contohnya menyontek. Selain itu, Tempo Interaktif, 27/8/2009) dalam Samani Muchlas dan Hariyanto dalam buku "Konsep dan Model Pendidikan Karakter" (2012: 2) juga menunjukkan bahwa fakta sekarang ini semakin banyak pertengkaran di kalangan siswa serta konflik lainnya. Bentuk-bentuk kejahatan remaja khususnya di perkotaan adalah fenomena pemerasan, bullying, kecenderungan atasan untuk mendominasi generasi muda, dan buruknya akhlak siswa kita. Dalam situasi yang ada ini, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), setiap lembaga pendidikan perlu memperkuat pendidikan karakter.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H