banyak saudara dirasa Cahaya banyak untungnya. Selain punya banyak teman, tugas rumah juga menjadi cepat selesai karena dibagi dengan banyak saudaranya. Terlahir sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara membuat Cahaya bisa bermain dan sekadar bercanda. Meski tak jarang ada pertengkaran yang terjadi di antara mereka.
Berasal dari keluarga denganKakak perempuan pertama dan ketiga Cahaya sudah menikah. Sedangkan kakak laki-lakinya bekerja di luar negeri. Kakak perempuan keempat dan keenamnya menuntut ilmu di pondok. Tinggallah Cahaya, Candrasari kakak ke lima dan Rahma, anak terakhir. Jarak usia Cahaya dan saudaranya hampir dua tahunan. Kecuali jarak usia Cahaya dan Rahma, adiknya terkecil, mereka terpaut usia delapan tahun. Dulu orang tua Cahaya mengira jika ia adalah anak terakhir, namun di usia yang tidak lagi muda, ibu Cahaya kembali melahirkan anaknya yang kedelapan, Rahma bersamaan dengan lahirnya cucu pertamanya.
Cahaya dan Candrasari hampir terpaut usia 6 tahun. Meski saudara kandung, Cahaya dan Candrasari memiliki kepribadian yang berbeda. Sari yang sejak lulus sekolah di SMEA di pondok pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang, memilih bekerja di Pabrik sepatu Peihai di Mojoagung Jombang. Sebenarnya, Yasif kakak laki-laki satu-satunya sudah menawari Sari untuk kuliah, namun ia menolaknya karena ingin bekerja.
Candrasari memang lebih berani dan tomboi dari semua saudara-saudara perempuan lainnya. Saat semua saudara-saudaranya takut untuk minta bayar sekolah kepada orang tuanya karena takut belum punya uang, tidak begitu dengan Sari. Meski belum waktunya pembayaran di sekolah, Sari selalu minta uang ketika mengetahui orang tuanya sedang punya rezeki. Sehingga sewaktu-waktu bila ia butuh membayar, tak lagi kebingungan meminta kepada orang tuanya.
Saat bekerja di pabrik, Sari dan Cahaya memang menjadi saudara yang begitu akrab. Meski usia terpaut enam tahun, namun mereka seakan menjadi teman yang saling melengkapi. Saat Sari yang bekerja di pabrik memutuskan kos dekat pabrik, Cahaya tinggal sendiri dengan adiknya di rumah. Meski begitu, tak jarang Sari tidur di rumah, apalagi jika orang tuanya sedang sibuk mengurus sawah. Biasanya Sari lebih memilih pulang ke rumah dari pada tempat kos.
"Ning, besok emik ngirim ke sawah banyak sekali. Pulang yah, bantu emik masak. Aku ada ujian di sekolah," pinta Cahaya kepada kakaknya.
(Emik adalah panggilan Cahaya kepada ibunya)
"Iya," jawab Sari.
Sari dan Cahaya memang sudah terbiasa beker-jasama. Saat Cahaya ujian, bahkan Sari melarang Cahaya membantu memasak atau sekadar membersihkan rumah. Begitu juga saat Sari ujian ketika masih sekolah. Biasanya Cahaya yang melakukan semua tugas rumah, dan Sari fokus pada belajarnya.
Tak jarang Cahaya mengantar Sari ke kos pada sore hari karena sepeda onthel Cahaya sedang rusak dan tak ada yang memperbaikinya. Sepeda yang biasanya dipakai Sari bekerja terpaksa dipakai Cahaya agar besok bisa pergi ke sekolah. Namun, Minggu sore sebelumnya, ia harus me-ngantar kakaknya ke kos. Dan menjemputnya Sabtu sore seminggu setelahnya.
Ketika cuti dari pabrik, tak jarang Sari dan Cahaya membantu ibunya di sawah. Menanam, memupuk, menyiram bahkan panen cabe, terong atau ketimun. Kakak Cahaya yang satu ini memang lumayan mengerti kondisi ibunya. "Kita kerjakan sendiri saja besok Mik, dari pada mbayari orang. Paling dua hari sudah selesai mupuk jagungnya," pintanya suatu hari kepada ibu.