Mohon tunggu...
Anni Rosidah
Anni Rosidah Mohon Tunggu... Guru - Penulis Buku Arah Cahaya

Jaga Selalu cita-cita dan mimpimu. Jangan Pernah kau padamkan. Mesti setitik, cita-cita dan mimpi itu akan mencari jalannya

Selanjutnya

Tutup

Book

Arah Cahaya Part 6 (Awan Hitam Itu Muncul Lagi)

10 Agustus 2023   12:16 Diperbarui: 7 September 2023   16:10 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mardiyah, ibu Cahaya selalu berusaha memutar otak agar suaminya tak lagi membuat masalah dengan menjual semua hasil panen untuk sesuatu yang tahu untuk apa. Ibu Cahaya bisa sedikit merasakan lega. Hasil menanam sayuran dan beternak ayam kampung petelurnya dapat menghasilkan uang yang lumayan banyak. Jumlah ayam kampung petelur yang awalnya hanya puluhan, sekarang sudah menjadi puluhan ekor bahkan hampir mencapai ratusan.

Pembeli telur kampung dari tetangga desa juga bersedia mengambil hasil telur kampung milik ibunya. Sebelumnya, ibu yang menyetorkan telur-telur ayam kampung ke pengepul di tetangga desa. Namun kini, karena hasil telurnya melimpah, pembeli mendatangi rumah untuk mengambil telur-telur yang akan dijualnya ke Surabaya. Selanjutnya dibeli oleh para penjual jamu atau dijual di pasar-pasar di Surabaya. Setidaknya, seminggu dua kali ia naik kereta api membawa telur-telur ibu Cahaya itu untuk dijual ke Surabaya.

Dari hasil menjual sayur dan telur, ibu Cahaya mengumpulkan dan menyisihkan untuk membeli sawah tahunan. Ia pun menanami sawah tahunan yang dibelinya dengan tanaman tebu. Setidaknya dua petak sawah mampu dibeli. Meskipun tanaman tebu baru bisa dipanen setahun sekali atau bahkan lebih tidak seperti tanaman padi, jagung atau sayuran, namun kondisi keuangan Mardiyah semakin membaik. Dan ayah Cahaya, selalu menyibukkan diri dengan tugasnya sebagai kelapa dusun dan kelompok tani. Ia tak lagi peduli dengan kondisi anak dan istrinya. Seakan-akan, prioritasnya hanyalah tugasnya, bukan keluarga.

Tak lama hidup dalam kedamaian tanpa kerusuhan dari suaminya, kini kembali ayah Cahaya membuat ulah. Dua petak sawah yang dibeli Mardiyah yang ditanami tebu dijualnya tanpa sepengetahuan Mardiyah. Pertengkaran hebat kembali terjadi. Tak pelak, KDRT selalu dialami. Asbak, piring atau toples turut menjadi korban kemarahan Abdul saat ditanya mengapa ia menjual sawah yang bukan miliknya. Meski ketahuan bersalah, Abdul tidak malah meminta maaf, namun marah-marah tidak jelas dan membanting benda apa pun yang ada di depannya.

Bahkan jika menu makan yang disajikan tidak sesuai dengan maunya. Langsung membuang piring yang berisi lauk itu di belakang rumah. Kejadian itu diperparah dengan kondisi ayam-ayam kampung petelurnya yang banyak mati mendadak karena penyakit. Apalagi hujan dan banjir besar yang kembali melanda desa. Beruntung sebelum banjir Mardiyah sudah menjual ayam-ayam petelurnya meskipun dengan harga murah dari pada mati sia-sia. Sisanya disembelih dan dibagikan kepada keluarga-keluarganya.

Kembali awan hitam itu menghampiri keluarga Cahaya. Entahlah, sampai kapan kondisi seperti ini akan berlanjut. Semua terulang dan terulang lagi tanpa ada keinginan untuk lebih baik lagi. Rumah tangga yang seharusnya dibangun berdua, seperti tak ada dalam kamus Abdul. Bahkan kini ia jarang sekali pulang.

Suatu saat, ibunya menemukan nota belanja bahan bangunan di saku celana suaminya. Saat ditanya, dengan jujur ia menjawab untuk kebutuhan istri baru yang juga mantan pacarnya. Tak dapat dielakkan lagi, pertengkaran kembali terjadi. Meski demikian, tak ada satu pun kata cerai yang keluar dari mulut keduanya.

Istri baru, yang kata ayahnya adalah wanita salihah dan nurut kepada suami. Selalu dipuji di depan Mardiyah. Ayahnya bahkan mengajak Cahaya untuk ikut tinggal dengan istri barunya yang tinggal di kota itu. Cahaya pun tak keberatan untuk ikut dengan ibu barunya itu. Dalam pikirannya, hanya ingin meringankan beban ibunya. Cahaya ingin kuliah, biar ibu barunya yang membiayai hidup dan kuliahnya. Ia sungguh ingin meringankan beban ekonomi dan beban pikiran ibunya.

Meski akhirnya tak mungkin Mardiyah membiarkan anaknya itu tinggal dengan orang lain yang bukan apa-apanya. "Sehari, dua hari, mungkin ia akan diperlakukan baik. Tapi bagaimana jika sudah lama," pikir Mardiyah.

"Wanita tangguh, satu kata yang sangat menggambarkan sosok ibuku. Tak hanya dicoba secara materi, tapi juga hati. Namun ia mampu bertahan dengan tegar."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun