Pada acara hari besar atau lebaran, biasanya seluruh anggota keluarga harus hadir, baik yang masih kecil maupun yang sudah lansia. Kenikmatannya ya di acara kumpul keluarga. Selain menjadi ajang silahturahmi, ini juga cara orangtua memperkenalkan anak-anaknya pada sepupu orangtuanya, kerabat dari kakek buyut dan lain-lain. Bahkan bukan hanya dari satu pihak saja, misalnya ayah, tetapi juga dari pihak ibu juga. Lingkup yang lebih besar lagi terkadang dari pihak nenek dan kakek dari kedua belah pihak. Bayangkan jika ini terjadi pada anak remaja yang belum pernah mengenal satu per satu dari mereka. Dengan sedikit tekanan dari orangtua untuk selalu sopan dan tersenyum sambil menyalami orang yang baru mereka kenal. Padahal mereka baru pertama bertemu, masakan orangtuanya memaksa mereka harus seolah telah mengenal kerabat yang begitu banyak. Bayangkan kecanggungan anak tersebut antara harus sopan dan berusaha mengatasi kecanggungannya. Bagaimana habisnya energi untuk beramah tamah, senyum sana-sini, salim dan ditanyai hal-hal yang pribadi, diajak foto oleh orang-orang yang baru pertama ditemui. Saya bisa merasakan betapa menderitanya mereka.
Saya malah membayangkan wajah putri saya di acara kumpul keluarga, ketika saya memintanya menyalami seluruh anggota keluarga seraya mengenalkannya. Dianya tersenyum pada kerabat-kerabat, tetapi, sekejab setelah bersalaman, dia berpaling dengan wajah yang jelas-jelas berkata, 'Apaan sih, Ma. Capek, tahu!" Saya hanya tersenyum geli melihat ekspresinya. Setelah itu, dia akan duduk di samping saya seharian sambil mensecroll ponselnya.
Bukan hanya anak saya saja yang seperti itu, tetapi juga anak-anak lain yang seumuran mereka. Mereka susah untuk berbaur dengan sepupu-sepupu jauhnya yang baru pertama mereka kenal. Kalaupun mereka berbicara, hanya sekedar tanya-tanya sekolah, setelah itu hening kembali.
Namun, pernah satu waktu anak saya bertemu sepupu jauh yang ternyata booster suasana. Meski baru pertama bertemu, sepupunya ini pandai membuka percakapan. Mulai dari obrolan ringan, lalu masuk ke hobi menari K-Pop, dan---klik!---mereka ternyata sama-sama fans grup yang sama maka terjadilah percakapan yang makin seru dan hangat. Bahkan mereka terlihat akrab dan tertawa bersama. Hingga anak saya yang introvert tadi berinisitaif minta tukaran akun IG sehingga mereka saling follow. Malah sekarang mereka suka saling DM di instagram
Dari situ saya belajar, tak selamanya anak introvert tak bisa berkomunikasi. Kadang mereka hanya belum menemukan "frekuensi" yang cocok. Mereka jarang memulai, tapi ketika sudah ada yang membuka ruang, mereka pun bisa terbuka dan menikmati interaksi itu.
Introvert dan ekstrovert: dua karakter yang saling mengisi.
Di dalam keluarga, karakter anak-anak tentu berbeda. Ada yang cerewet dan mudah akrab, ada pula yang pendiam dan menghindar dari interaksi dengan orang baru.
Anak ekstrovert biasanya menjadi "penyambut tamu"---senang duduk di ruang tamu dan ngobrol. Sementara anak introvert lebih nyaman berada di dapur, menyiapkan minuman, atau membantu di belakang layar---asal tak perlu ikut menemani tamu. Akibatnya, tamu dan keluarga besar lebih mengenal si ekstrovert.
Namun, keduanya sama pentingnya. Anak introvert mungkin tak suka kumpul keluarga besar, tapi jangan biarkan mereka absen. Semakin sering mereka hadir, semakin besar peluang mereka menemukan kerabat yang sefrekuensi. Perlahan, mereka belajar merasa nyaman, dan belajar caranya berkomunikasi.
Introvert dan ekstrovert bukan dua sisi yang saling bertolak belakang---mereka bisa saling melengkapi. Di tengah hiruk-pikuk Lebaran, mereka bersama menciptakan keseimbangan: yang satu memulai, yang satu menguatkan. Yang satu bicara, yang lain mendengar. Dan pada akhirnya, mereka saling memberi ruang untuk menjadi diri sendiri---di tengah keluarga yang besar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI