1. Sejarah Singkat Perkembangan Nuklir Korea UtaraÂ
Perkembangan nuklir di Korea Utara dilatarbelakangi oleh perpecahan Korea tahun 1950-1953, dimana Korea Utara menginvasi Korea Selatan untuk menjadi rezim komunis. (Permata, Analisis Konstruktivisme: Perilaku Korea Utara terhadap Denuklirisasi, 2019). Amerika Serikat (AS) yang pada saat itu mendukung Korea Selatan mengancam akan menggunakan nuklir terhadap Korea Utara jika Korea Utara menginvasi Semenanjung Korea. Ancaman AS sukses membuat Korea Utara melakukan gencatan senjata. Di tahun 1956 Korea Utara memutuskan untuk mengembangkan teknologi nuklir bersama Uni Soviet dengan mendirikan pusat penelitian reaktor nuklir di dekat Kota Yongbyon. (Permata, Analisis Konstruktivisme: Perilaku Korea Utara terhadap Denuklirisasi, 2019). Korea Utara meningkatkan pengembangan nuklirnya dengan mengoperasikan Intercontinental Ballistic Missile (ICBM). Untuk pertama kalinya ICBM Korea Utara beroperasi di tanggal 4 Juli 2017.
Konflik Korea Utara, Korea Selatan dan keterlibatan AS mengakibatkan adanya kondisi security dilemma di kawasan Asia Timur. Untuk melindungi kepentingan nasionalnya, negara-negara di kawasan Asia Timur mulai menunjukkan adanya peningkatan dalam banyak sektor, khususnya dalam sektor keamanan. Pengeluaran Korea Utara sendiri meningkat hingga sebesar 216,7 miliar dolar antara tahun 2016 hingga tahun 2020. Korea Utara mulai menguji coba nuklirnya secara perdana pada tanggal 9 Oktober tahun 2006 tepatnya di kota Gilju Provinsi Hamgyong yang mengakibatkan gempa sebesar 6 SR. (Damayanti, Hartati, Purwono, & Ismiyatun, 2022) Peluncuran nuklir yang dilakukan Korea Utara memicu Korea Selatan untuk mengembangkan teknologi senjata nuklirnya sendiri. Tidak hanya itu, Jepang sebagai negara yang menjadi korban peristiwa Hiroshima dan Nagasaki juga mulai mempertimbangkan untuk mengembangkan senjata nuklir nya sendiri dilatarbelakangi oleh faktor berkurangnya komitmen AS di Jepang.Â
2. Ketentuan Penggunaan Nuklir Dalam Ranah Internasional.
Diantara semua strategi eskalasi pertahanan Korea Utara, perkembangan militer dalam persenjataan nuklir merupakan strategi pertahanan yang dinilai paling menimbulkan ancaman stabilitas kawasan. (Anastasia & Yuniasih, 2020) Meskipun memang Korea Utara tidak secara eksplisit menggunakan nuklir sebagai senjata untuk tujuan perang, namun aktivitas nuklir Korea Utara cukup meresahkan baik bagi negara kawasan Asia Timur maupun dalam lingkup internasional (Manoe, Hergianasari , & Simanjuntak, 2022)Â
Dalam Piagam PBB, disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa tujuan dilahirkannya PBB sendiri adalah untuk menjaga perdamaian (Putri, Pramono, & Hardiwinoto, 2018). PBB membentuk statuta IAEA dalam Treaty on The Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) yang menyatakan bahwa kepemilikan energi nuklir berada dibawah pengawasan International Atomic Energi Agency (IAEA). NPT adalah perjanjian yang bertujuan untuk; Mencegah adanya penyebaran teknologi senjata nuklir,
2.Menjalin kerja sama untuk menggunakan teknologi nuklir secara damai
3.Pelucutan senjata
 Korea Utara pernah menjadi salah satu negara yang menyetujui kesepakatan NPT mengenai pengawasan nuklir di tahun 1985. Dalam keanggotaan NPT, negara yang secara legal mengembangkan nuklir adalah Cina, Perancis, Rusia, Inggris, dan AS (Putri, Pramono, & Hardiwinoto, 2018) Negara-negara tersebut merupakan negara yang tergabung dalam sebutan Nuclear Weapon States (NWS) yang sepakat untuk tidak menyebarkan senjata nuklir ke negara lain. Dengan bergabungnya Korea Utara dengan NPT menandakan Korea Utara setuju untuk menjadi anggota non-NWS. Negara anggota non-NWS tidak diperbolehkan untuk mengembangkan teknologi nuklir sebagai senjata untuk perang, melainkan hanya untuk tujuan yang damai dan terbuka akan pengawasan IAEA. (Permata, Analisis Konstruktivisme: Perilaku Korea Utara terhadap Denuklirisasi, 2019) Korea Utara masih melakukan pengembangan senjata nuklir secara diam-diam hingga tahun 2003 dimana Korea Utara menarik kesepakatan untuk berada dibawah pengawasan IAEA bahkan Korea Utara menyatakan untuk tidak terikat lagi dengan NPT. (Khoiriyah, 2020).Â
3. Penjatuhan Sanksi PBB Terhadap Tindakan Korea Utara
Pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Korea Utara menghasilkan kondisi ketegangan hingga mengancam stabilitas kawasan, Korea Utara dituntut untuk kembali bergabung dengan rezim NPT. NPT mengupayakan denuklirisasi sebagai tujuan utama untuk menghapus total aktivitas yang melibatkan persenjataan nuklir. Namun setelah berbagai kesepakatan dan tuntutan yang diberikan kepada Korea Utara, masih tidak ada peristiwa yang menunjukkan hasil yang signifikan, Korea Utara masih terus menguji coba serta mengoperasikan senjata nuklir ICBM. Hal ini menunjukkan bukti ketidakpatuhan Korea Utara terhadap hukum internasional jelas harus diberi sanksi yang kuat. Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi dengan mengeluarkan resolusi sebagai berikut;
Sanksi ekonomi
Sanksi ini tertuang dalam resolusi PBB nomor 1718 dari tahun 2006 hingga resolusi nomor 2397 yang dijatuhkan tahun 2017 mengenai larangan Korea Utara untuk melakukan perdagangan. Larangan perdagangan tersebut meliputi kegiatan ekspor impor perlengkapan militer, larangan perdagangan bahan bahan seperti batu bara, besi, bijih besi, emas, titanium, vanadium, logam tanah, makanan laut, dan segala bahan yang terkait dengan program pengembangan nuklir, seperti sistem artileri kaliber besar, pesawat tempur, kapal perang, dan bahan bakar penerbangan. Sanksi ini juga berlaku kepada negara anggota yang bertransaksi dengan Korea Utara untuk membekukan segala dana, aset keuangan dan sumber daya alam hingga impor suku cadang pesawat terbang ke Korea Utara. Upaya sanksi ekonomi berhasil melumpuhkan ekonomi Korea Utara sebesar 3,5 % di tahun 2016 hingga muncul masalah kelaparan di Korea Utara. Kelumpuhan juga terjadi pada sektor pertanian dan konstruksi sebesar 1,3% dan 4,4%. Ekspor ke Korea Utara menurun dari US$315,97 juta menjadi US$266,35 juta, sedangkan impor Korea Utara turun menjadi US$145,82 juta dari US$288,29 juta. (Nuraisah & Ekawaty, 2021) Â Kelumpuhan ekonomi membuat Korea Utara terbuka untuk melakukan kerjasama dengan AS untuk menghindari sanksi, tetapi hingga 2019 belum ada perubahan signifikan dalam upaya denuklirisasi Korea. (Damayanti, Hartati, Purwono, & Ismiyatun, 2022) Ditambah, banyak negara yang mengakhiri kerjasama ekonomi dengan Korea Utara, seperti Mesir yang mengakhiri jual beli senjata. Filipina dan Singapura menghentikan hubungan dagang, Menlu Jerman juga melarang segala kegiatan kerjasama dengan Kedutaan Besar Korea Utara untuk mematikan sumber pendapatan Korea Utara.Â
Sanksi Politik
Sanksi Politik yang diberikan kepada Korea Utara dituangkan dalam resolusi nomor 2270, 2321 dan 2371 berupa pemutusan diplomatik. Pemutusan diplomatik yang dilakukan diantaranya adalah pemutusan diplomatik antara Korea Utara dan Korea Selatan dilatarbelakangi dengan aliansi militer AS dengan Korea Selatan, pemutusan diplomatik Portugis-Korea Utara, pemutusan diplomatik Meksiko---Korea Utara yang berlandaskan uji coba nuklir ke-6 Korea Utara, pengusiran Duta Besar Korea Utara di Spanyol dan Italia, pengusiran diplomat Korea Utara di Myanmar, Uganda dan diikuti langkah serupa oleh Kuwait berupa pemberhentian visa Korea Utara, penangguhan hubungan dagang dan penerbangan antara Kuwait-Korea Utara. (Nuraisah & Ekawaty, 2021)