"Kak, pagi ini makan lontong saja ya. Sudah lama ngga ngerasain. Kangen."Â
Si kakak menyetujui, kami mendekati penjual sate di ujung kompleks perumahan.
"Bu, lontongnya dua ya." si ibu pun dengan tersenyum sumringah cekatan melayani.
Eh... Tersenyum?
Barulah saya sadar. Dan bertanya "Bu, kok ngga pakai masker?" dan rona wajahnya langsung berubah 'njaprut' dan menjawab dengan menggumam marah "pakai masker itu sumpek, apa ya harus pakai setiap saat."Â
Pagi yang indah itu pun ternoda oleh ekspresi murka akibat pertanyaan tak tahu diri itu.
Lagi-lagi karena ke'kepo'an. Saat akan memasuki kompleks untuk bekerja, dan menukarkan kartu identitas dengan tiket masuk kulihat pak satpam tidak memakai masker saat serah terima. Saya pun spontan berkomentar, eh bertanya, "Kok ngga pakai masker Pak?"Â
Pak satpam jaga menjawab, "Iya nih. Masker sedang dicuci."
Dijawabnya dengan woles sih. Tapi 'WHAT?' 'Sedang dicuci?' emang cuma punya satu masker gitu? Untuk profesi yang harus bertemu sebegitu banyak orang. Saya tidak habis pikir mendengar jawaban itu. Dan berlalu.
Hari ini, sudah sekian purnama kita menjaga  diri dengan protokol kesehatan. Mengenakan masker dengan baik dan benar, sering mencuci tangan, berolah raga, dan menjaga pola makan yang baik. Harapan baiknya kita menjadi terbiasa dengan kebersihan dan tindakan menjaga kesehatan. Dari situ kebersihan dan kesehatan menjadi budaya.
Namun, di lapangan, kondisi berkata lain. Orang-orang mulai jenuh dengan aturan, protokol yang dirasa menjadi beban. Kerepotan tambahan yang dianggap tidak penting.Â