Anak-anak dewata yang akan menjaga keindahan tanah kelahirannya Awalnya ingin menulis tentang kehidupan yang aku ciptakan dalam khayalku, berbekal cerita yang pernah ku dengar dari kakekku, tentang bagaimana sulitnya hidup di masa penjajahan Jepang! Namun, setelah seminggu ku timbang kembali dan akhirnya ku persembahkan sedikit kenyataan yang aku alami sendiri. Tak bermaksud untuk memamerkan diri, tapi ini adalah salah satu kebanggaanku terlahir sebagai gadis Bali. Aku bersyukur kepada-Nya, yang telah memilihkan tempat ini sebagai tanah kelahiranku. Yahh… tempat yang selalu memberi kenyamanan bagiku. ***** Selama 17 tahun, sejak aku dilahirkan dan pertama kali melihat dunia, saat itu udara Bali menyapa ku lembut penuh kedamaian. Di mulai dari belajar berkedip hingga pandai melirik (heeeee…. :D), Bali selalu sama buatku, tak ada yang membuatku merasa istimewa tinggal dan hidup di pulau dewata ini. Hingga akhirnya, dua tahun lalu, kehidupan dan demi masa depan yang ingin ku raih, takdir hidup membawaku untuk melangkah pergi meninggalkan tanah kelahiranku. Membuatku menutup lembaran masa remajaku dan menyimpannya dalam hati saja. Dan gelombang samudra yang terlampaui, mengarahkan pada angin dewata bertemu dan berkenalan dengan penguasa angin selatan. Hemmm… Keberangkatanku ke Jogja dan memilihnya sebagai kota kedua dalam kehidupan ku, mengusik alam sadarku, hingga membuatku bangga membawa Bali sebagai darah dagingku. Begitu banyak tantangan dan usaha keras untuk mempertahankan nilai keajegan dewata di tengah gencatan kota budaya ini. ***** Bali yang terkenal dengan pantai Kuta dan kegembiraan wisatawannya, kesenian, budaya, keramahannya, logatnya, dan tentunya satu-satunya pulau yang kental dengan ritual yang berbasis pada satu agama, dan di lain pihak, kerukunan antar agama begitu dijunjung tinggi, hal ini membawakan jamuan pujian dan kritikan baginya. Dari sanalah aku baru menyadari, siapa lagi yang akan mencintai Bali, jika bukan putera Bali sendiri yang mencintai tanah kelahirannya!!! Di balik sisi kehidupan yang kini semakin melupakan “rasa” yang telah tertanam sejak kecil, kemudian di serbu dari segala arah dengan “KEBANGGAAN” mengenakan lencana membudayakan budaya bangsa lain! “aku tak punya hati untuk menyakiti mu, dewata ku!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H