Mohon tunggu...
Anna Zein
Anna Zein Mohon Tunggu... -

Hidup untuk berpikir, berpikir untuk hidup

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mentari yang Menghilang

7 Maret 2011   23:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:59 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

R

ubhi, nama yang terlalu mewah untuk seorang gadis kecil penjaga sawah. Yah, gadis yang berumur tujuh tahun, yang seharusnya mengenyam manisnya bangku sekolah dan bermain riang dengan teman sebayanya.

Tapi, keadaan haruskah dipersalahkan?

Demi sesuap nasi dan tempat tinggal yang tak jauh berbeda dengan gubuk penyimpanan kayu bakar.

Hidup menjadi benalu? mungkin benar. Sejak dibuang oleh perempuan yang dia sebut Ibu, di bantaran irigasi sawah. Anak hasil hubungan di luar nikah, itu satu-satunya status yang jelas, yang disandang gadis kecil itu. Hidupnya bergantung pada keluarga angkat yang tak berkecukupan pula. Tapi senyum tulusnya, menggambarkan dia menerima keadaan ini dengan ikhlas.

***
Kala itu senja menyapa kehidupan. Burung-burung berkejaran kembali ke sarangnya. Dan awan pun berarak menghiasi langit yang bersemu kemerahan. Langkah kecilnya yang telah terbiasa menapaki hamparan sawah yang luas, luput di balik keindahan senja. Namun, senandung lirihnya, membahana di angkasa, bertebaran bersama hembusan angin.

***
Seperti hari kemarin, Rubhi pulang setelah mandi di sungai di perbatasan sawah, tapi hari ini diamembawa segenggam gabah yang didapatnya setelah seharian mengais di antara sisa-sisa padi yang dibiarkan berserakan oleh pemiliknya. Harapan kecil di hatinya, dengan membawakan gabah itu, bahwa ayahnya akan membiarkannya tidur di dalam rumah.

Ketika derap kaki kecilnya memasuki halaman rumah yang kecil itu, tatapan merah menyala itu telah menyingkirkan harapannya. Gabah itu disimpannya di balik selendang lusuhnya, dan dia berjalan perlahan memasuki gubuk reotnya. Yah, gubuk pengasingan, bagi gadis tak ber ibu.

Rintihan kecil luruh bersamaan dengan derai dingin airmatanya. Ohh… ibu, kenapa meninggalkan Rubhi di sini? Apakah karena Rubhi dahulu nakal kepada mu Ibu? Mungkin itu isi hatinya, yang tak dia kenal bagaimana membahasakan perasaannya, oh, gadis kecil berparas lugu.

***
Mentari kembali menyapa senyum riangnya, sepertinya sama dengan hari-hari kemarin. Namun, senyum Rubhi berbeda hari ini, mungkin karena tatapan merah itu berubah tenang dan kumis tebalnya terangkat ke atas.

Entah angin apa yang mengubah sikap Ayahnya, namun Rubhi kecil tak peduli itu. Dia hanya tahu ayahnya menyayanginya dan dia dapat bermanjaan dengan ayahnya. Seperti dia dapat bergurau riang dengan teman dan tetangganya.

Ketika mentari merangkak ke peraduannya, ayahnya mengajak Rubhi pergi. Sepertinya akan mengunjungi pasar malam yang setahun sekali diadakan di desanya. Menaiki sepeda ontel tuanya, mengayuh sambil bersenandung riang, bersahutan dengan suara merdu Rubhi. Tawa kecilnya begitu renyah terhempas dari ratapan gigi dan pulen bibirnya. Benar-benar hari yang sangat menyenangkan bagi Rubhi.

***
Bintang-bintang telah menghiasi langit, tapi Ayah Rubhi, mengayuh sepedanya gontai, dia pulang tanpa Rubhi. Dan sejak saat itum Rubhi kecil yang periang itu menghilang dan tak pernah kembali.

Menghilangnya Rubhi sepertinya tak pernah mengganggu pikiran lelaki setengah baya itu. Setiap hari, tanpa hadirnya Rubhi, lelaki itu hidup penuh kecukupan dan sepertinya damai dalam senyum tipisnya. Mungkin benar, kehadiran anak tak ber-Ibu itu, menghalangi rezekinya. Entah mungkin juga tidak!

***
Lima hari setelah menghilangnya gadis itu, seorang petani desa menemukan tubuh kecil di semak belukar sekitar bantaran sungai, yang telah berbau. Tubuh kecil itu dikenalinya, namun, kepedihan menyeruak, kedua bola mata dari tubuh itu menghilang dari tempatnya, padahal seluruh anggota tubuh yang lainnya masih utuh, dan tubuh kecil itu adalah milik Rubhi. Yah, gadis periang yang menghilang sejak malam itu. Dan senyum riangnya telah tertutupi darah kering yang menetes dari kedua rongga matanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun