Mohon tunggu...
Anna Zein
Anna Zein Mohon Tunggu... -

Hidup untuk berpikir, berpikir untuk hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Et Pour T'aimer (Untuk Mencintaimu)

25 September 2012   02:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:46 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Orang lalu-lalang di hadapanku. Ada yang berbincang, tertawa dengan temannya atau mungkin saudaranya bahkan kekasihnya. Ada yang sibuk menata dan mengecek barang bawaannya, sedetik, dua detik, terus saja menghitung barangnya. Ada juga yang santai sambil membaca koran atau sekedar mengunyah permen karet. Ada yang berlarian mengejar waktu, agar tak terlambat. Ada yang berpelukan dan menangis, melepas orang yang mereka kasihi. Dan aku menjadi orang yang memperhatikan tingkah orang-orang itu, karena aku tak tau harus berbuat apa selama menunggu kedatangan seseorang. Ya, menunggu di stasiun kereta. *** Ku ada di sini. Ku terus saja menunggu di sini. Dan ku seolah melupakan lelahku. Dan terus menunggu di sini. Menunggu datangnya dia. Sampai waktu yang tak berbatas. Berharap ku lihat sosok mu diantara mereka yang lalu-lalang Tadi ku lihat, mentari masih tersenyum ramah. Tapi kini mentari itu seolah meluapkan amarahnya, hingga panas amarahnya menembus kaca-kaca di balik tempatku berteduh. Oh, ternyata ini telah tengah hari. Dan aku masih saja menunggu. Dua menit, lima menit, ku rubah letak duduk ku. Kembali duduk termangu dan memperhatikan orang-orang di sekitarku. Ku rogoh saku celanaku, ku ambil sebungkus permen. Ku kunyah dengan lembut, berharap akan merasakan kelegaan sedikit, namun tak ada yang berubah. Perasaanku kian gelisah. Ku tarik lengan bajuku, ku lihat detak jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Tepat pukul 14.00 wib. Dan yang ku tunggu tak kunjung tiba. Ku putuskan akan tetap menunggu hingga sejam lagi. Semakin beranjak sore, peminat kereta api tak kunjung berkurang. Tanpa sadar, ini telah pukul 16.26 wib. Dan yang ku tunggu tak kunjung datang juga. Ku angkat tubuhku dari bangku yang mungkin telah bosan ku tumpangi. Ku seret kakiku, melangkah keluar dari ruang tunggu ini. Ku rogoh tasku, mengambil dua tiket yang sejam lalu telah hangus masa berlakunya. Dua tiket itu, ku hibahkan pada tong sampah yang sedari tadi melambai-lambai. Bersama langkah gontai bin kecewa, aku berjalan keluar dari stasiun ini. Tak perlu ada air mata untuk kekecewaan ini. *** Mmmm... Rhein, kamu yakin mau pulang kampung?? ngga nyari kerja di sini aja?? tanya Andin padaku. Ku terdiam sejenak mengunyah mie ayam di hadapanku. Aku udah pikirin ini Din. Iya, kita udah bareng-bareng di sini, dan udah ngenal medan di sini. Tapi, rasanya aku belum bisa untuk menetap di sini, jadi aku tetep pulang aja :) balasku. Oke deh, kalo kamu tetep pengen pulang. Tapi inget, aku masih di sini, jadi kalo kamu berubah pikiran, cari aku yaa :)tegasnya lagi. Siap boss :Dgodaku pada Andin. Kami kembali meneruskan menikmati semangkuk mie ayam langganan kami. Sesaat, Andin melihat jam tangannya, dan setengah berteriak. Rhein, bukannya ini tanggal 20 yaa?? tanyanya. Emm... kayaknya si. Coba liat hp mu aja. Ku jawab santai, sambil terus menikmati mie ayamku. Hei, Rhein, kamu kok datar banget jawabnya? Ini udah tanggal 20 dan sekarang udah pukul 13.00 !! Tegas Andin. Hah??? kamu bilang apa tadi tanggal 20?? Ku sruput es teh yang ada di depanku, dan berlari membayar makananku pada Mang Asep. Rhein, tungguin aku dong!! Kejar Andin. Aku berpegangan erat pada Andin, yang sedari tadi ngebut, untuk mengejar waktu yang terus saja berjalan. Semoga kali ini kamu bisa tersenyum, bisik Andin saat berhenti di lampu merah. Amiin... jawabku dengan penuh harap. Aku berlari masuk ke dalam stasiun, mengantri untuk membeli dua tiket lagi. Sedangkan Andin, masih di luar, sibuk memarkirkan motornya. Siang, mbak Rhein... sapa petugas loket padaku. Siang pak. Beli dua tiketnya untuk jurusan Surabaya ya Pak, sambil menyerahkan kertas pemesanan. Ku dapatkan jadwal pemberangkatan yang ku mau. Pemberangkatan Surabaya tanggal 25 pukul 16.00 wib. Makasi yaa, Pak, ucapku pada petugas itu. Gimana?? Dapet ngga tiketnya?? tanya Andin sambil ngos-ngosan. Iyaa... dapet kok, makasi yaa Din, jawabku sumringah padanya. Fyuuhhh... untung deh, dapet. Kalo telat dikit aja, bisa kehabisan deh, balasnya sambil menyeka peluh dan mengatur nafasnya. Hu'um... makasi banget Din, udah ngingetin aku tadi, jawabku sambil menggenggam erat tangannya. Kami berjalan beriringan. Tersenyum, penuh rasa lega, atau mungkin kesedihan. Oh... dia datang lagi. Pasti memesan tiket yang sama, bisik tukang becak dengan teman sejawatnya. Andin geram. Aku pun demikian. Tapi ku tahan dan menarik Andin, untuk beranjak pulang. *** Bintang-bintang di atas sana, berkelap-kelip. Indah. Ku tatap lagi, dua tiket yang tadi siang ku beli. Ini sudah setahun lebih berjalan. Aku selalu membeli tiket yang sama, di hari dan waktu yang sama. Dan untuk tujuan yang sama. Dan mungkin akan berakhir dengan kejadian yang sama. Kejadian itu. Hampir dua tahun yang lalu. Seorang gadis lugu menunggu hingga tak mengenal waktu. Menunggu seseorang yang dikasihinya. Menggunakan setelan yang telah disepakati. Dan menunggu di sisi jalur pemberangkatan. Selalu menunggu di sana, tanggal 25 tiap bulannya. Menggenggam dua tiket, hingga lusuh terkena keringat atau terekat karena tersimpan rapih di dompet. Tak terasa, pipiku basah. Setiap kali mengingat penantian yang selalu ku lakukan untuknya. Entah mengapa aku tak pernah mampu menghapusnya dari ingatanku. Menghapus janji terakhir yang kami ucapkan. "Aku akan datang, besok. Jadi tunggu aku di stasiun ya", ucapnya padaku kala itu. "Baiklah, besok aku akan mengenakan setelan merah maroon itu", balasku padanya. "Oke. Jangan lupa, tiketnya dibawa juga", ingatkannya lagi. "Hu'um, aku udah menyimpannya di dompet", jawabku. "Baiklah, sebentar lagi kereta akan berangkat, jadi besok pagi aku sampai di sana. Sekarang tidurlah, sudah malam", ujarnya. "Iya, hati-hati di jalan", balasku lagi. "Iya, sayangku", jawabnya manis. tut...tut...tut... Telepon itu berakhir. Dan tak pernah berdering lagi sampai kini. Tuhan... di manakah dirinya kini? Mengapa tak pernah kunjung datang kereta yang membawa cintaku? Adakah jalurnya bertambah panjang, hingga jarak beberepa jam itu, tak kunjung berhenti di kota ini? Ini tahun kedua yang harus ku lalui untuk menunggunya. Haruskah tahun ini pun, aku tak akan bertemu dengannya, Tuhan? Haruskan ku akhiri penantianku kali ini, di bulan Oktober ini, di tanggal 25 nanti? Ku hapus air mata ku. Ku simpan kembali dua tiket kami. Dan ku harap nanti, kami akan benar-benar dipertemukan. *** Sebuah kecelakaan kereta api kembali terjadi. Bangkai kereta api tujuan Jakarta-Yogyakarta ini, tergolek di tengah persawahan. Hal ini terjadi karena kondisi rel yang dialui anjlok, kemungkinan banyak pencurian besi-besi rel yang dilakukan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Dalam kecelakaan ini, merenggut banyak korban. Sejauh ini data korban yang tercacat, tewas 57 orang dan ratusan luka-luka. (Sebuah berita dari salah satu stasiun TV, tertanggal 24 Oktober, (dua tahun lalu) pukul 23.35 wib). *aku bersyukur kau di sini kasih,.. Masih di sini, di hatiku Selama aku mampu untuk bertahan, Kan ku bawa kasihmu dalam setiap alur hidupku Tuhan, menciptakan ku untuk mencintai mu takkan lekang oleh waktu Kaulah cintaku Walau raga takkan pernah bersua lagi Tapi kuyakini hatiku untukmu *Selamat jalan cinta, Tu me manques ...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun