Pilkada 2024 seharusnya menjadi momen penting untuk memilih pemimpin daerah yang akan memajukan negara ini dengan kejujuran, netralitas, dan kepemimpinan yang berintegritas. Namun kenyataannya, pilkada kali ini lebih banyak menampilkan pelanggaran etika politik, kecurangan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Di sinilah ketidaknetralan pejabat negara dan berbagai pelanggaran hukum terjadi, yang tak hanya merusak kepercayaan publik, tapi juga menodai prinsip dasar demokrasi. Penting untuk dicatat bahwa dalam Tasawuf, nilai-nilai seperti kejujuran, amanah, dan ikhlas menjadi landasan dalam setiap tindakan, termasuk dalam politik. Kejujuran yang seharusnya menjadi kompas dalam menjalankan tugas negara kini terasa kian langka, tergantikan oleh strategi politik yang lebih mengutamakan kekuasaan daripada kebaikan bersama. Nilai-nilai Tasawuf menekankan pentingnya kejujuran (sidq), amanah, dan ikhlas dalam setiap tindakan, terutama dalam kepemimpinan. Dalam konteks pilkada ini, para pemimpin yang seharusnya memegang prinsip-prinsip tersebut malah banyak yang terjerumus dalam politik uang, manipulasi, dan tindakan yang merusak integritas mereka. Ketika akhlaq diabaikan dalam dunia politik, kita tidak hanya kehilangan arah moral, tapi juga menghancurkan harapan akan demokrasi yang jujur dan bersih.
Pilkada 2024 Indonesia semakin membuka tabir kelam tentang ketidaknetralan, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran etika yang semakin memperburuk proses demokrasi yang seharusnya berlangsung adil dan bersih. Ketika pejabat negara melanggar sumpah jabatan, apa lagi yang bisa diharapkan dari para pemimpin negara ini selain tumpukan kecurangan yang terus menghantui setiap fase pemilu?
Mari kita mulai dengan sayembara yang dikeluarkan oleh Ahmad Riza Patria, ketua tim pemenangan pasangan Ridwan Kamil - Suswono (Rido). Sebuah ide yang terlihat mulia di permukaan, membuka sayembara dengan hadiah Rp 10 juta untuk laporan kecurangan di Pilgub Jakarta 2024 justru berbalik menjadi bumerang. Setelah sayembara diumumkan, warganet dengan cepat menangkap kesempatan untuk melaporkan kecurangan yang justru melibatkan kubu RK-Suswono, seperti pembagian sembako yang disertai dengan kertas visi-misi pasangan calon. Ketika ini terjadi, bukannya memperbaiki citra, malah semakin memperlihatkan betapa rapuhnya pengawasan pemilu yang ada.
Tidak hanya itu, ketidaknetralan pejabat tinggi negara juga semakin memperburuk situasi. Prabowo Subianto, yang seharusnya menjadi contoh teladan dalam menjaga netralitas dalam pilkada, malah dengan terang-terangan mendukung pasangan calon di Jawa Tengah, melanggar prinsip yang telah diatur dalam Pasal 9 UUD 1945. Tentu saja, langkah ini tidak hanya mengaburkan kredibilitasnya sebagai Presiden, tetapi juga membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar. Jika Presiden saja melanggar sumpah jabatan dan konstitusi, apa yang bisa diharapkan dari pejabat lain di tingkat daerah?
Prabowo Subianto bukan hanya melanggar netralitas, tapi juga mengabaikan sumpah jabatan yang seharusnya dipatuhi sebagai kepala negara. Dalam UUD 1945, jelas tertulis bahwa setiap pejabat negara harus mematuhi konstitusi dan menjaga tatanan hukum. Ketika pemimpin negara justru terlibat dalam permainan politik yang kotor, hal ini bisa merusak integritas lembaga negara dan menciptakan kerusakan sistemik dalam demokrasi.
Namun, yang lebih mencengangkan adalah reaksi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang malah membebaskan Prabowo dari segala tuduhan pelanggaran. Apakah kita bisa berharap pada lembaga yang seharusnya menjaga integritas pemilu ini ketika mereka sendiri tampak begitu lumpuh dalam menjalankan tugasnya? Seperti yang sering dibicarakan oleh netizen, Bawaslu seolah hanya menjadi penonton yang terpaksa mengatakan, “Awas...awas...awas,” tanpa ada tindakan nyata untuk menegakkan hukum. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang seharusnya menegakkan hukum justru terkesan membiarkan tindakan tersebut. Menurut pengamatan pegiat demokrasi, Bawaslu lebih memilih untuk menyebut bahwa tindakan Prabowo tidak melanggar aturan daripada mengambil sikap tegas untuk menegakkan keadilan. Bawaslu kini tampak lebih seperti lembaga yang terjebak dalam ketidakmampuan menanggapi masalah ini, bahkan sering dianggap "tidak berguna" oleh publik.
Seperti yang dikeluhkan banyak pihak di Twitter, salah satunya @ernestprakasa yang menulis, "Dua kata lucu: KINERJA BAWASLU", menggambarkan betapa masyarakat merasakan ketidakberdayaan lembaga pengawas ini dalam menjaga netralitas pilkada. Di Twitter, banyak warganet yang melontarkan kritik tajam terhadap perilaku pejabat publik yang mereka anggap telah menodai konstitusi dengan terlibat dalam politik praktis yang tidak etis, seperti yang ditulis oleh @ardisatriawan yang dengan pedas mengungkapkan, “Kalau kalian merasa gak berguna, coba lihat yang namanya Bawaslu. Nyolong KTP? Lolos. Serangan fajar? Lolos. Kampanye di hari tenang? Lolos. Gak netral? Lolos. Semua lolos. Apanya yang diawasin?”. Lebih lanjut, kita melihat bahwa pilkada 2024 kini bukan hanya tentang mencari pemimpin terbaik, tetapi juga tentang mencari siapa yang bisa menggunakan kekuasaan dengan cara yang paling licik. Tindakan seperti politik uang dan penyebaran sembako bukan hanya sekadar kecurangan, tapi pelanggaran terhadap hak asasi manusia karena pemilih dipaksa untuk memilih berdasarkan iming-iming materi, bukan berdasarkan pilihan hati dan akal sehat mereka.
Jika kita masih berpikir bahwa pilkada 2024 adalah ajang demokrasi yang sehat, kita jelas salah besar. Serangan fajar, politik uang, dan kecurangan massal menjadi pemandangan yang kian biasa. Pelanggaran kode etik, seperti yang terjadi dengan foto Presiden yang terpasang di baliho paslon, bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Bawaslu dan lembaga pengawas lainnya seolah tak bisa bertindak tegas. Mengapa? Karena dalam banyak kasus, mereka juga ikut terjerat dalam praktik kotor yang membanjiri pilkada kali ini.
Dalam kondisi seperti ini, sangat sulit untuk tidak mempertanyakan apakah integritas masih ada dalam sistem pemilu kita. Jika pilkada bukan lagi tentang memilih pemimpin berdasarkan visi dan misi, tetapi justru tentang siapa yang bisa mengeluarkan duit paling banyak dan memiliki koneksi politik terbaik, maka demokrasi yang kita banggakan hanya tinggal ilusi. Bukankah Pancasila menuntut kita untuk mendahulukan keadilan sosial, bukan keadilan bagi segelintir elit yang mengendalikan kekuasaan?
Menghubungkan nilai-nilai Tasawuf dengan fenomena pilkada 2024 yang penuh dengan kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan, kita bisa menyimpulkan bahwa kita kehilangan etika politik yang mendalam. Tasawuf mengajarkan bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang memimpin dengan hati, menjaga kejujuran dan amanah, dan tidak terjebak dalam ambisi duniawi. Namun, dalam pilkada 2024, kita justru melihat para politisi yang lebih memprioritaskan menjaga kekuasaan mereka dengan cara apapun, tanpa peduli pada prinsip keadilan dan kebenaran.
Di saat seperti ini, rakyat Indonesia seharusnya kembali ke prinsip dasar demokrasi, yaitu untuk memilih pemimpin yang memiliki integritas, bukan yang pandai memainkan politik uang atau bahkan menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Pilkada 2024 tidak hanya mencerminkan seberapa jauh politik Indonesia maju, tetapi juga seberapa dalam kita telah terjerumus ke dalam ketidaknetralan, penyalahgunaan kekuasaan, dan kecurangan sistemik. Mengingat nilai-nilai Tasawuf yang menekankan kejujuran, amanah, dan ikhlas, kita berharap agar ke depan, pilkada benar-benar dapat mencerminkan keadilan dan kejujuran. Jika tidak, maka kita akan terus terjebak dalam lingkaran ketidakadilan yang tidak pernah selesai.