Mohon tunggu...
Annaurah Kireina
Annaurah Kireina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Brawijaya

Antusias terhadap hal baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Revitalisasi Pelayanan Publik: Transformasi Digital dalam Melawan Praktik Calo

11 Desember 2023   21:40 Diperbarui: 11 Desember 2023   21:51 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Public Service (pixelshot)

Pelayanan publik merupakan aspek penting dari pemerintahan manapun, karena ia bertujuan untuk memberikan layanan yang diperlukan kepada warganya secara efisien dan efektif. Namun, apakah pelayanan publik telah memenuhi tujuannya? Tentu, hal tersebut masih menjadi sebuah pertanyaan melihat masalah calo (perantara) dalam pelayanan publik yang masih merajalela. Dalam konteks pelayanan publik di Indonesia, istilah "calo" mengarah pada perantara atau perantara yang beroperasi dalam sistem birokrasi untuk mempercepat atau memudahkan proses administrasi dengan imbalan tertentu. Kehadiran calo melemahkan legitimasi pelayanan publik, sehingga menyebabkan korupsi dan inefisiensi. Akibatnya, masyarakat menghadapi ketidaksetaraan dalam pemenuhan hak asasi manusia dan memberikan dampak negatif terhadap pelayanan publik yang seharusnya merata dan adil. 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, memiliki definisi kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Pelayanan publik dalam penyelenggaraannya perlu memenuhi beberapa asas, seperti keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas, ketepatan waktu, dll. Asas tersebut perlu dipenuhi agar dapat maksimal mendorong tata kelola pemerintahan yang baik dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun, broker atau calo dalam pelayanan publik pada realitanya masih besar jumlahnya. 

Pada tahun 2019, SPI merilis data yang menyatakan bahwa keberadaan calo untuk pelayanan publik ditemukan 99 persen instansi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa praktik calo atau broker dalam pelayanan publik masih menjadi isu yang mempengaruhi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan pelayanan publik. Keberadaan calo ini dapat merugikan masyarakat secara langsung, menyebabkan peningkatan biaya, penundaan proses, dan mengurangi transparansi. Selain itu, fenomena ini juga memberikan peluang bagi praktik korupsi dan nepotisme, yang dapat merusak integritas tata kelola pemerintahan. 

Jumlah yang semakin besar menjadikan praktik calo dalam pelayanan publik dinormalisasi di berbagai sektor, mulai dari pelayanan administratif hingga proses perizinan. Keberadaan broker layanan publik telah mengintervensi di berbagai sektor. Fenomena ini tentu dapat menimbulkan keresahan karena dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap pelayanan publik. Tidak hanya itu, dengan menormalisasi keberadaan broker dapat berpotensi merugikan integritas institusi pemerintah yang berefek pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem administrasi publik. Akan tetapi, dalam mereduksi jumlah broker dalam pelayanan publik yang begitu besar diperlukan telaah lebih lanjut mengenai determinan di balik kehadirannya. 

Hakikatnya, masyarakat mengharapkan pemerintah memberikan layanan publik yang efisien, adil, dan fasilitas yang memadai. Eksistensi calo sebagian besar dapat diatribusikan pada kualitas pelayanan publik itu sendiri. Kelangkaan kualitas ini menjadi landasan bagi kemunculan calo di berbagai sektor. Ketika pelayanan publik tidak memenuhi standar efisiensi yang diharapkan, masyarakat dapat merasa terhambat dan frustasi. Kondisi ini mendorong mereka mencari solusi "pintas" melalui perantara seperti calo. Oleh karena itu, kunci untuk mengurangi eksistensi calo adalah dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik secara keseluruhan. Dengan memberikan layanan yang efisien, transparan, dan responsif, pemerintah dapat memenuhi harapan masyarakat, mengurangi insentif untuk menggunakan jasa calo, dan menjadikan sistem pelayanan publik lebih efektif dan dapat diandalkan.

Penelitian yang dilakukan Zaenudin, dkk (2004 : 3) menyatakan bahwa kurang optimalnya peran pemerintah dalam pelayanan publik selama ini adalah karena sikap dan perilaku aparat sendiri. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa kekuasaan terpusat hanya di tangan aparat pemerintah sebagai pemegang otoritas penyelenggara pelayanan publik dan mengabaikan realitas yang memungkinkan intervensi dari pelaku lain yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pelayanan publik, yaitu calo. Asumsi ini menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem pelayanan, di mana keputusan dan kontrol secara dominan berada pada pihak pemerintah, dan hal ini memberikan ruang bagi praktik calo untuk tumbuh dan berkembang.

Gambar 2. Corruption (89Stocker)
Gambar 2. Corruption (89Stocker)

Kurang optimalnya peran pemerintah dapat dikaitkan dengan adanya calo, yang memanfaatkan hubungan mereka di dalam birokrasi untuk memperoleh keuntungan dari masyarakat yang mencari pelayanan dasar publik secara optimal. Para calo ini bertindak sebagai perantara, yang mengenakan biaya selangit sebagai imbalan atas percepatan proses birokrasi. Akan tetapi, calo sering kali terlibat dalam praktik korupsi, termasuk penyuapan dan pemerasan, sehingga semakin merusak kepercayaan publik. Korupsi dan penyuapan dalam pemberian layanan publik terus menghambat upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi pelayanan. Sangat disayangkan, dampak yang dihasilkan tidak berhenti sampai disitu, praktik korupsi seperti ini juga melanggengkan ketimpangan dan menghambat pembangunan ekonomi, menghambat kemajuan dalam mencapai sistem pemberian pelayanan publik yang lebih transparan dan akuntabel.

Lingkungan birokrasi yang memiliki transparansi rendah juga memicu kehadiran calo. Dampak dari buruknya pelayanan publik akibat  belum terlaksananya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Sinambela, 2006). Hal tersebut mengindikasikan bahwa kehadiran calo berperan signifikan dalam melanggengkan korupsi dan suap di ranah pelayanan publik. Profesionalisme personel pegawai negeri sipil (PNS), serta mekanisme kerja yang belum jelas dan terlaksana dengan baik dianggap menjadi faktor pelayanan publik tidak dianggap akuntabel oleh masyarakat (Usman, dkk, 2016). Mirisnya, praktik calo sudah dianggap wajar oleh pihak yang berwenang. Bahkan mereka juga ikut terlibat ke dalam praktik ini. Hal ini menciptakan lingkungan di mana ketidakakuntabelan dianggap sebagai norma, merugikan integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.

Apabila pejabat publik terlibat dalam praktik korupsi seperti penyuapan atau nepotisme, maka sumber daya yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemberian layanan publik dialihkan untuk keuntungan pribadi yang dapat melemahkan efisiensi, efektivitas, hingga aksesibilitas penyampaian layanan publik secara keseluruhan, sehingga berdampak pada tidak memadainya pelayanan. Tentu, hal tersebut perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan membenahi sistem pelayanan itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun