Mohon tunggu...
Anna Sophia
Anna Sophia Mohon Tunggu... -

Sedang mencari kebermaknaan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Senja (Bersambung)

4 November 2013   09:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:37 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja. Aku sangat suka melihat pemandangan langit senja yang memperlihatkan gradasi warna yang begitu memesona. Tak hanya aku, ibuku pun suka melihat pemandangan langit senja. Terbalik. Sebenarnya ibukulah yang pertama kali memperlihatkan pemandangan menakjubkan itu. Kebiasaan beliau melihat senja memang sudah bukan menjadi rahasia lagi. Sejak muda dulu, ibu selalu menyempatkan pergi ke atas bukit, dekat rumah kami, hanya untuk melihat langit senja dengan atraksi matahari terbenamnya yang juga begitu mengagumkan.

“Banyak peristiwa penting yang terjadi di senja hari, Nak.”

Jawab beliau ketika aku penasaran melihat ibu yang tidak berkedip melihat langit yang begitu jingga seakan matahari telah membakarnya.

“Termasuk juga kau, Senja.”

Lanjut beliau dengan senyum yang mengulum sembari melihatku bangga.

Senja. Memang itulah namaku. Kata bapakku, itu karena aku lahir sesaat setelah matahri terbenam. Tapi, kalau versi ibuku, walaupun aku lahir di waktu fajar pun, beliau juga akan memberiku nama ‘Senja’. Karena ibu ingin aku jadi perempuan yang tangguh, katanya. Aku benar-benar tak mengerti maksudnya saat itu, karena aku baru kelas 1 SD ketika guru Bahasa Indonesiaku memberikan PR untuk mengungkap makna dibalik nama kami. Akupun menjelaskan kepada teman dan guruku persis seperti apa yang dikatakan oleh bapakku, bukan ibuku. Alasan bapak lebih rasional dan mudah aku cerna tenimbang alasan ibu yang aneh, pikirku.

Sabtu senja. Itulah waktu favoritku bersama ibuku. Aku masih ingat terakhir kali kami berbincang di teras samping –saat senja tentunya– sambil menyeduh secangkir teh.

“ Apakah kau juga menyukai langit senja, Nduk? “

Tanya beliau tiba-tiba setelah kami terdiam cukup lama –terbius dengan keindahan langit– dan aku hanya menanggapinya dengan anggukan ‘iya’.

“ Jangan bilang alasannya sama seperti Ibu. Kau kan suka ikut-ikutan Ibu.”

Ujarnya menyelidik dan tawa renyahnya seakan meremehkan aku.

“ Yee… Alasan Senja jauh lebih rasional dari alasan ibu, tau!”

Jawabku sirik dengan nada jengkel.

Tawanya terhenti dan sorot matanya tajam tepat mengarah ke bola mataku seakan meminta ‘alasan yang jauh lebih rasional dari beliau’.

“Karena aku suka warna langit senja, gradasi warnanya begitu indah, seindah melihat aurora borealis walau tak menari.”

Dan beliau hanya tersenyum simpul mendengar jawabanku. Aku mengartikannya sebagai rasa kagum ibuku yang tak bisa tersampaikan dengan kata-kata. Hatiku berbunga saat itu.

*****

“ Dek Senja, masa kritis ibumu sudah berlalu. Kamu sudah bisa menengoknya di ruang paviliun kembali”, kata dokter ketika kami berpapasan di lobi rumah sakit.

Sebenarnya aku yang menyapanya untuk mengetahui keadaan ibu, tapi sebelum aku bertanya, beliau sudah menjelaskan.

“ Terima kasih, dok” jawabku singkat dengan senyum mengembang.

Sudah satu minggu ini ibu dirawat di rumah sakit setelah mengalami demam tinggi dan pusing hebat pada malam Sabtu lalu. Saat itu aku masih tertidur pulas dan bapak tak berani mengusik kedamaian tidurku. Padahal aku sudah cukup dewasa untuk diganggu, apalagi saat ibuku yang meminta. Aku tersadar saat pagi hari bapak sms untuk membawakan pakaian ibu ke rumah sakit daerah kami. Tak banyak pikir, aku langsung menelpon bapak untuk meminta penjelasan apa yang sedang terjadi pada ibu. Bapak hanya berkata lirih bahwa ia akan menjelaskannya di rumah sakit nanti. Aku pun bergegas menuju rumah sakit. Untungnya aku masih dalam libur panjang setelah pelaksanaan UAN, jadi aku bisa leluasa untuk menemani ibu di rumah sakit.

Aku bertemu bapak di lobi rumah sakit, bau khas rumah sakit yang begitu menyengat buatku sedikit pusing dan badanku terhuyung sebentar. Bapakku berlari kecil ke arahku –takut aku akan terjatuh- dan memegangi badanku.

“ Bau obatnya bikin pusing “, jelasku pada beliau yang terlihat sedikit khawatir.

“ Dimana ibu, Pak? Ibu sakit apa? “, tanyaku sebelum bapakku menaggapi ucapanku tadi.

“ Demam berdarah, nduk “, jawab beliau serak, seakan kesedihan telah membuat tenggorokannya tercekat.

Tiba-tiba tubuhku terasa lemas, tepat setelah mendengar jawaban lirih bapakku. Seakan tersambar petir di siang bolong, tubuhku hampir saja terjatuh tak berdaya. Untung tangan bapakku masih mencengkram pundakku dan sekarang telah mengendalikan tubuhku. Tanpa sadar beliau telah menuntunku sampai di depan ruang ICU.

“ Berdoalah untuk ibumu, Nduk. Semoga masa kritisnya segera berakhir. Tadi malam ibumu demam tinggi hingga kejang. Alhamdulillah bapak belum terlambat membawanya kesini. Kalau tidak…”

“ Tenang saja, Pak. Ibu pasti kuat. Ibu pasti akan segera sadar dan pulang ke rumah lagi”, aku menyela sebelum bapak melanjutkan ucapannya dengan kata yang tak ingin aku dengar dan berusaha menarik mulutku untuk tersenyum –senyum pasrah sekadar untuk menenangkannya–  dan beliau membalas senyumku dengan anggukan ‘amin’.

Dan setelah tiga hari mendapat perawatan yang intensif, keadaan ibuku akhirnya membaik, kesadaran beliau mulai pulih. Tapi sayang, beliau masih telalu ringkih untuk keluar dari ICU sehingga dipindahkan ke kamar pasien biasa.

“ Tunggu sampai masa kritis ibumu benar-benar berlalu, Senja”, kata dokter dengan sabar setelah aku berulang kali menanyakan kapan ibu bisa keluar dari ruang yang menurutku menakutkan itu.

“ Siklus demam berdarah itu layaknya tapal kuda bla bla bla” jelas dokter muda yang menurutku lumayan ganteng itu. Tapi, karena aku tak paham dengan apa yang dikatakannya aku hanya mengangguk-angguk, sekadar menghormati.

*****

Kabar gembira itupun datang di hari ke tujuh, saat aku terburu-buru menuju ruang ICU dan berpapasan di lobi dengan dokter yang mengurusi ibuku. Setelah mendapat info tentang pindahnya ibu ke ruang pavilion, aku merasa ‘hidup’ kembali. Dan aku pun mengucapkan terima kasih sembari berlari untuk menuju ruangan dimana ibuku menginap.

Aku tak kuasa untuk memeluk beliau, rindu kehangatan pelukannya yang sangat ampuh mengobati jiwaku yang sedang rapuh ini. Tapi, belum lepas pelukanku dari dekapan hangatnya, tiba-tiba jantungku berhenti berdetak sesaat membuat hatiku nyeri, mendengar kalimat spontan yang meluncur dari bibir beliau.

“ Gimana hasil SBMPTN -Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri- nya, Nduk?  Tadi Bu Rini dateng ke sini dan nanyain itu ke ibu.”

Wajahku menegang, tak tahu harus berkata apa. Buru-buru aku menata wajahku agar beliau tak curiga sebelum melepas pelukannya dariku. Bapak yang tepat berdiri bersebrangan denganku memberikan sedikit isyarat yang benar-benar aku tahu maksudnya.

“ Belum tau, Bu. Dari kemarin koneksi internetnya trouble. Padahal udah aku cek berkali-kali.” Jawabku sedikit kecewa bercampur cemas.

“ Oh, ya udah gapapa. Ditunggu aja, emang kalo banyak yang ngakses koneksi jadi trouble. Tapi ibu percaya kok, kalo kamu pasti lolos. Anak ibu gitu loh, yang selalu dapet peringkat atas bahkan dari TK.” Ujarnya penuh keyakinan dengan senyum lebar penuh kebanggaan itu.

“ Ibu bisa saja.” dengan sekuat hati, akhirnya aku bisa memaksakan senyum hampa ini.

Bohong. Faktanya, aku telah mengetahui hasil ujian SBMPTN-ku dengan mudah tanpa adanya koneksi yang trouble, aku sign in dan mendapati kata ‘TIDAK LOLOS’ betengger di bawah namaku. Aku benar-benar tak bisa terima dengan hasil itu dan berusaha menenangkan diriku bahwa hasil bisa berubah-ubah. Maka, aku berulang kali mencoba sign in dan berharap kata ‘TIDAK LOLOS’ berubah menjadi ucapan ‘SELAMAT, ANDA LOLOS’. Tapi, tak ada perubahan. Nonsense. Aku menangis.

*****

“ Jangan beritahu ibu tentang ini.”, tegas bapak sesaat setelah aku memberitahunya kemarin.

Sedih dan kecewa buatku kehilangan separuh jiwaku. Menangis menjadi hobi baruku. Aku tahu maksud bapak melarangku berkata jujur pada ibu, beliau tak mau membebani pikiran ibuku dengan gagalnya aku dalam ujian itu, takut kondisi ibu akan memburuk. Tapi, hati ini kerap berdetak tak keruan dan dadaku terasa nyeri tiap kali ibu bertanya penasaran akan hasil ujian itu. Tenggorokanku tercekat dan hanya bisa beralasan sama.

Di rumah, ketika aku sedang sendiri, bapak sering kali menceramahiku bahkan terkadang nada bicaranya meninggi seperti akan memarahiku. Aku takut tiap kali beliau berusaha mendekatiku, bukan karena ceramah atau marahnya, tapi permintaan beliau yang buat haiku kelu.

“Kau tahu sendiri kan senja, bahwa ibu kau ingin sekali melihat kau menjadi dokter atau setidaknya perawat Kau tahu kan?”

Aku hanya bergeming, dengan wajah tertunduk.

“Mungkin, Tuhan tahu bahwa kau sebenarnya lebih pantas menjadi seorang dokter. Lagian kau itu jebolan IPA kan Nak? Dunia sastra itu tak cocok untukmu, jadi berhentilah dan beralihlah. Bapak akan telepon Om Duta –salah satu pamanku yang bekerja sebagai dokter sekaligus dosen kedokteran di salah satu universitas ternama- segera.”

Aku sudah tak tahan lagi dengan pembicaraan ini.

“Tapi Bapak tahu sendiri kalo aku takut darah, aku benci obat, dan segala hal dengan dokter. Iyakan Pak? Senja juga sudah dewasa untuk memilih menjadi apa nantinya. Lagian ibu juga sudah mengizinkanku tuk menjadi apa yang aku mau.”

Ucapku dengan nada meninggi. Aku sudah tak tahan lagi.

“PLAKKK”

Tangisku mengalir deras, membanjiri muka merahku yang sedari tadi menahan diri.

“Kau tak tahu apa yang ibu inginkan. Kau tak tahu, Senja.”

Muka Bapak semerah mukaku. Ya, beliau marah besar kepadaku. Aku dihantui oleh kalimat terakhir bapak. Apa katanya? Aku tak tahu apa yang ibu inginkan? Cuihh. Akulah orang yang satu-satunya tahu apa yang sebenarnya beliau inginkan.

*****

Langit senja. Itulah satu-satunya hiburanku saat ini. Lukisan alam yang bisa membiusku sejenak tuk menghilangkan nyeri di dada ini. Membiarkan angin sore menerpa wajah, berusaha menghapus jejak air mata yang tertinggal. Burung-burung walet yang sedang menikmati mandi sorenya di kolam ikanku menambah ramai pemandangan langit senja sore ini.

Pinggir kolam. Tempat favorit aku dan ibuku untuk menikmati suasana senja hari. Dan di situlah aku sekarang. Berdiri sunyi, di tengah keramaian opera senja yang memperlihatkan pertunjukan alam, termasuk burung-burung walet yang telah selesai dengan ritual mandi sorenya siap tuk terbang pulang.

“ Senja itu bisa juga berarti perpisahan. Perpisahan yang begitu indah. Saat matahari memasrahkan tanggung jawabnya kepada bulan untuk menerangi bumi. “

“ Tak selamanya perpisahan itu berarti kesedihan, Nduk. Lihatlah pemandangan itu – menunjuk langit yang mulai mempertunjukan lighting warna yang begitu memukau- indah bukan? “

Sekelebat ucapan ibu terngiang dalam pikiranku. Apakah aku harus merelakan keinginanku, memasrahkan diri tuk menjadi apa yang mereka mau? Tak tahu juga. Aku masih bingung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun