Mohon tunggu...
Anna Sophia
Anna Sophia Mohon Tunggu... -

Sedang mencari kebermaknaan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Senja (Selesai)

5 November 2013   09:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:34 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ini lanjutan sekaligus ending dari cerpenku yg ini nih--> http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/11/04/ceruta-senja-bersambung-606461.html
Selamat membaca teman :)

Akhirnya ibu diizinkan pulang, setelah 10 hari dirawat. Bahagia tentunya, karena itu berarti aku bisa menikmati senja bersamanya lagi. Badannya masih lemah tuk menopang tubuhnya sendiri, terpaksa ibu pun mau menggunakan kursi roda tuk memudahkan pergerakannya.

Waktu yang di tunggu pun tiba. Tepat ketika jarum panjang dan pendek jam berdekatan di angka enam, kami –aku dan ibuku- duduk di teras samping, pinggir kolam. Teh sudah aku siapkan tuk menemani kami bercengkrama bersama sore.

“ Mungkin ini senja terakhir yang bisa kita nikmati di tahun ini, nduk.”

Aku paham perkataan ibu, karena ini akhir September yang berarti perpisahan untuk musim kemarau juga untuk senja yang indah itu.

“ Adakah yang ingin kau ucapkan sebelum malam memelukmu, Senja?”

Pertanyaan tiba-tiba itu buatku menoleh ke arahnya dan sedikit memicingkan mataku tanda meminta penjelasan dari apa yang beliau ucapkan barusan.

“ Berdamailah dengan bapakmu. Turutilah keinginannya, itu untuk kebaikanmu. Bukankah kau ingin kuliah? “

JLEB. Memang terkadang kata-kata jauh lebih menakutkan tenimbang pedang. Kata-kata yang meluncur dari mulut ibu tepat sasaran menusuk jantungku. Nafasku terhenti. Ibu sudah tau semuanya.

“ Aku merasa Tuhan tak adil kepadaku. Atau mungkin ibu masih tak rela kalo Senja menjadi penulis? Hingga Tuhan selalu menggagalkanku dalam tes?”

“ Kau menuduh ibu? Ibu memang masih berharap kau kelak akan menjadi dokter ataupun perawat. Tapi bukan berarti ibu ga rela kalau kau tak menginginkannya.”

Terlihat nada tersinggung dari jawaban beliau. Aku sedikit merasa bersalah.

“ Maafkan Senja Bu, bukan maksud Senja…”

Belum selesai aku berkata ibuku memotongnya.

“ Sudahlah. Takdir memang terkadang membingungkan.”

Sejak aku kecil, ibu memang telah menjejaliku dengan segala hal yang berbau ‘dokter’, mulai dari memberikanku mainan stetoskop, baju dokter, ataupun cerita-cerita pengantar tidur berkisah tentang dokter yang baik hati. Semakin aku beranjak dewasa, aku sadar bahwa dokter bukanlah cita-citaku.

Aku tahu bahkan sangat mengerti kenapa bapakku repot berpikiran demikian. Sudah tiga kali aku gagal dalam ujian masuk universitas. Padahal aku merasa yakin-seyakin perkataan ibuku dulu- karena aku tidak merasa kesulitan sama sekali dalam tes tertulis. Memang benar kata ibu barusan, takdir terkadang membingungkan. Sebingung aku sekarang untuk menerima penawaran bapakku atau tidak. Tapi, aku tak ingin menjadi dokter.

*****

“Dok, gimana keadaan ibu? Ibu sakit apalagi? Bukannya kemarin ibu udah sembuh dari semua penyakitnya?”

Mendapat banyak pertanyaan dari mulutku, dokter muda itu hanya membalas dengan senyum menenangkan.

“Belum semua, Senja. Tapi kau tak usah khawatir. Doakan saja agar keadaan beliau membaik. DBnya sudah sembuh total, tapi tumor di otaknya harus segera diangkat, kalau tidak kondisi ibumu akan bertambah parah.”

“ Apa maksud dokter? Tumor? Ibuku?”, tanyaku frontal, aku tak pernah mendengar bahwa ibu mengidap tumor. Tapi, yang ditanya malah dengan gugup meninggalkanku. Pikkiranku benar-benar terpecah. Aku masih belum yakin betul dengan apa yang baru saja dokter katakan.

*****

Belum genap sehari ibuku berada di rumah, beliau kembali dilarikan ke rumah sakit, setelah kepalanya mengalami pusing hebat. Ibuku bahkan hanya bisa menangis sembari memegangi kepalanya. Saat aku bertanya apa yang sedang terjadi pada ibu, bapak tak menjawab, diam bergeming. Mungkin beliau masih marah kepadaku.

Sekarang, aku sedang berdiri jinjit demi melihat tubuh ibu yang terkulai lemah dengan banyaknya peralatan kontrol yang menempel pada tubuhnya, termasuk pendeteksi detak jantung yang masih menunjukan getarannya. Bapakku tepat di sampingku, masih saja berdiri kaku dalam kesunyian, gurat wajahnya berarti banyak bagiku. Tapi aku masih sungkan bertanya atau sekadar menenangkan hatinya dengan ucapan. Aku takut.

Kemarin malam, bapak kembali mengajakku berbicara, tentunya saat ibu sedang tertidur pulas dan belum merasakan sakitnya. Sungguh aneh, bapak sungguh memintaku untuk menuruti keinginannya, bahkan hingga mata sayu beliau berkaca-kaca.

“Senja, bapak sudah menelpon Om Duta dan dia pun telah melihat rapor juga ijazahmu. Om Duta bilang, kau benar-benar layak untuk menjadi seorang dokter.”

Aneh. Aku yang biasanya sensitive dengan perbincangan ‘dokter’ dan pasti selalu membantahnya seperti kemarin, sekarang rasa muakku dengan kata ‘dokter’ sungguh menguap. Apalagi dengan ekspresi yang beliau tunjukan seakan menjadi ‘dokter’ adalah hal yang paling sakral. Namun, aku memilih diam.

“Ayolah nduk, ibumu pasti senang jika kau menjadi dokter. Ibumu pasti bahagia, ibumu pasti kan sembuh, ibumu…”

Tangis bapakku membuncah, aku yang tak pernah melihat beliau menangis spontan memeluknya.

“Iya, Pak. Senja mau jadi dokter.”

Tangan beliau balik memelukku, jauh lebih erat tenimbang pelukanku.

“Terima kasih, Senja. Ibu pasti senang mendengarnya.”

“Pak, bolehkah aku bertanya satu hal? Dan berjanjilah bapak akan berkata jujur kepadaku.”, pintaku membuatnya melepas pelukan eratnya.

Terlihat sedikit keraguan di matanya, namun beliau tetap menuruti permintaanku. Beliau mengangguk.

“Apakah ibu mengidap tumor otak? “

Air mukanya berubah, seakan kebohongan yang selama ini ditutupi berangsur-angsur terbongkar. Beliau kembali mengangguk tanpa suara. Anggukan yang tidak aku inginkan.

*****

September baru menapak satu minggu, tapi pergantian musim sungguhlah kentara. Layaknya hari ini. Seakan tahu apa yang dirasakan olehku, keluargaku, juga orang-orang yang dekat dengan ibuku. Langit mendung menyusup ke dalam indahnya fajar yang hanya bisa mengalah tak bisa memberi ruang tuk matahari tertawa bersinar. Langit menangis menitikkan tetes-tetes hujan setelah mengetahui kepergian beliau.

Ibu pergi meninggalkan kami, beliau berpindah ke dimensi lain dimana napas tak dibutuhkan lagi. Ibu meninggal dengan wajah berseri. Percakapan kami di malam hari masih teringat jelas, semua kata-katanya dan ekspresi wajahnya. Aku tak menyangka.

“ Terima kasih nduk. Ibu jadi tak usah khawatir lagi bila sakit. Ada kau yang selalu menyembuhkan ibu juga bapak, Senja.”

Senyumnya merekah. Ada rasa senang yang membuncah dalam diri beliau. Aku bisa merasakannya, dari wajah beliau yang begitu berseri menghilangkan sejenak wajah kuyunya yang terlihat pasrah dengan berbagai alat yang menempel pada tubuh beliau. Aku tersenyum mantap penuh yakin pada apa yang telah aku putuskan. Menjadi dokter. Entah apa yang telah mengubah mindsetku yang dahulu begitu anti menjadi dokter. Malam setelah akhirnya bapak menang membujukku, ada rasa aneh dalam diri ini yang meyakinkanku bahwa menjadi dokter adalah masa depanku. Anganku tuk menjadi sastrawan awalnya telah hilang ditelan rasa aneh itu.

“ Senja, taukah kau mengapa ibu ingin sekali kau menjadi dokter? “, tanya beliau lirih.

Aku hanya bisa menggeleng. Aku benar-benar tak tahu. Yang aku tahu hanya beliau ingin salah satu anaknya menjadi dokter, tanpa tahu apakah ada alasan di balik itu.

“ Ini untukmu.” Beliau menyerahkan buku diari bersampul emas yang telah lusuh kepadaku.

“ I…i..inikan buku berharga ibu yang tak boleh ada seorangpun yang meminjamnya bahkan membacanya. Kenapa ibu memberikannya padaku?” tanyaku penuh heran dan penasaran.

“ Kau kan tahu alasan mengapa ibu ingin kau menjadi dokter, Senja. Anggap saja ini hadiah terakhir ibu untukmu.”

Air mataku sudah di pelupuk mata, spontan memeluk beliau erat.

“ Apa maksud ibu? Jangan bicara yang tidak-tidak. “

Beliau hanya tersenyum dan berusaha menenangkanku.

“ Jadilah senja seperti yang ibu katakan dulu, Senja yang kuat, yang membuat sebuah perpisahan begitu indah. Kala matahari meninggalkan langit, senja dengan senang hati menggantikannya membuat horizon langit menari di atas warna warni langit sore sebelum bulan mengambil alih langit yang mulai gelap. “

*****

Senja sore ini begitu indah bahkan di tempat yang sempat ku benci ini. Rumah sakit. Tepat di beranda lantai dua ini, aku dengan bebas bisa menikmati suasana langit sore walau tanpa ibu. Diari emas beliau semakin lusuh di tangan ini. Tak tahu sudah berapa kali aku baca buku itu, masih ada rasa tak percaya juga tak terima. Tak khayal tangisku yang membuncah membuat buku lusuh itu semakin tak berwujud.

Bapak. Kanker. Dokter. Senja. Empat kata yang saling berhubungan. Empat kata yang telah menyadarkanku. Empat kata yang tersingkap dalam diari emas ibuku.

Sekarang semua tampak begitu jelas. Fakta yang dulunya menjadi rahasia seakan menamparku dan buatku tersadar sepenuhnya. Lembar demi lembar telah aku jelajahi tiap maknanya.

12 Juni 2013

Suamiku kembali mengalami pusing hebat. Aku sudah berkali-kali memintanya tuk berkonsultasi dengan dokter. Tapi dia hanya berkata simple bahwa dia terlalu lelah memikirkan pekerjaannya.

2 Juli 2013

Suamiku berbohong. Aku menemukan kertas dokter atas namanya. Dokter mendiagnosis kanker otak stadium satu. Saat ku bertanya padanya, dia hanya memperingatiku agar tak memberitahukannya pada Senja.

20 Juli 2013

Dia menyuruhku tuk kembali menjalani kontrol. Sudah lama aku dinyatakan sembuh dari tumor yang tumbuh di otakku.  Tumor itu sudah ku angkat bahkan sebelum Senja dilahirkan. Tapi memang belakangan ini, aku sering merasa pusing.

12 Agustus 2013

Tumorku kembali. Aku tak menyangka, padahal dulu dokter telah benar-benar yakin menghilangkannya bahkan sampai ke akar. Ya sudahlah, yang pentng Senja tak tahu.

13 Agustus 2013

Aku ingin Senja kelak menjadi dokter. Dia anak yang pintar. Aku yakin dia bisa. Agar kelak, saat aku tak bisa berada di samping suamiku, dia bisa menemaninya juga menyembuhkannya dari kanker otak.



25 Sepember 2013

10 hari di rumah sakit. Aku merasa kematian telah mngintai. Kesehatanku menurun drastis, aku menyadarinya. Suamiku mencoba menghiburku, tapi ku tahu dia sebenarnya juga merasakan sakit yang kurasa. Aku melihatnya muntah darah kembali, menjadikanku teringat dengan kata dokter kemaren perihal kondisi suamiku. Aku benar-benar ingin Senja menjadi dokter.

26 September 2013

Aku tak ingin mengekang keinginannya, tapi aku juga ingin memberitahunya bahwa kami –aku dan suamiku-  ingin Senja menjadi penjaga hidup kami, dokter kami, yang kan menyembuhkan dan menentramkan jiwa kami. Jika ku benar-benar meminta, apakah Tuhan akan mengabulkannya?

Ibu ingin aku menjaganya atau bahkan menjadi dokter pribadinya, tapi sayang aku hanya bisa menjaganya. Ibu ingin aku menjaga bapak dan menjadi obat baginya, tentu saja aku kan mengabulkannya. Aku kan terus selalu menjaga bapak dan menjadi dokter pribadinya dan dengan pasti kan mengenyahkan kanker dalam diri beliau. Yakinlah bu, kelak aku kan menjadi dokter yang hebat. Ibu wajib melihatnya saat itu, walaupun harus melihatnya dari jauh sekalipun, janji?

“Ibu, aku mulai menyukai pemandangan senja di rumah sakit ini. Tak kalah indah dengan senja yang biasa kita lihat di teras rumah. Semburat merah, oranye, dan ungu mewarnai horizon langit. Bu, sepertinya Senja mulai menyukai ini, takdir yang kan ku tapak. Tak usah khawatir dengan bapak, karena Dokter Senja kan selalu menjaga dan pasti menyembuhkan beliau. Jadi, tenanglah di surga sana, Ibu.”, bisikku pada angin yang kan membawa pesanku ini pada beliau di surga sana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun