Sayup-sayup kudengar suara dari luar sana. Gelap. Dingin. Namun, suara itu terus masuk melalui indera pendengaranku. Reflek selimut tebal kuraih, merapatkan celah-celah yang memungkinkan dingin menyapu kulit. Suara itu semakin terdengar jelas. Kelopak mata berkedut tidak nyaman dan perlahan terbuka. Satu kedipan, dua kedipan, dan aku mulai menyadari keadaan di sekelilingku. Gelap, dingin, dan terdapat dua suara berbeda yang didengar telinga. Suara yang kukenali sebagai azan dan hujan yang tidak terlalu deras. Aku pun menghela napas panjang dan bangkit dari tidur nyamanku. Gagang pintu kuraih dan mulai menjalani aktivitas pagiku di tengah udara dingin ini.
Mataku hanya melihat kelabu di atas sana. Sudah dua hari belakangan sang mentari tidak menampakkan dirinya, seakan malu dengan eksistensinya kala itu. Rintik hujan tidak kurasakan jatuh membasahi bumi. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Lantas, mengapa langit hari ini nampak tidak bersemangat?
Setelah berpamitan dengan ibu, aku mulai menyalakan motor. Di dalam hati berdoa semoga perjalananku selamat sampai tujuan dan hujan tidak membasahi diriku selama pergi.
Pukul empat sore waktunya aku pulang ke rumah. Kutatap langit di atas sana. Masih kelabu dan lebih gelap dari tadi pagi. Aku pun memutuskan untuk memakai jas hujan, bersiaga jika selama perjalanan nanti diri ini akan diterpa hujan.
Benar saja. Di setengah perjalanan, rintik hujan perlahan-lahan bertambah deras. Laju motor diperlambat, berhati-hati di atas aspal yang menjadi licin. Tetesan air menerpa punggung tangan yang tak terlindung apapun. Dingin kurasakan di sana. Sekonyong-konyong angin berhembus membuat rintik hujan yang mengenai kulit menjadi perih. Aku hanya berharap sampai di rumah dengan selamat dan menikmati segelas susu hangat untuk menaikkan suhu badan yang turun akibat hujan.
Dua hari kemudian keadaan langit masih sama. Kelabu dan sang mentari yang malu untuk menampakkan diri. Untungnya hari ini aku tidak ada kegiatan di luar rumah sehingga tidak ada kekhawatiran selama perjalanan akan diterpa oleh dinginnya air hujan.
Aku membuka laman beranda akun Twitter. Terdapat suatu cuitan yang menarik perhatianku di sana. Cuitan tersebut ditulis oleh pemilik akun yang merupakan seorang pakar di bidang meteorologi. Di sana terdapat suatu peta beserta diagram yang dapat aku simpulkan sebagai peta cuaca. Sang pemilik akun menulis jika sebagian besar wilayah Jawa akan diterpa oleh hujan deras esok hari. Ia juga menambahkan salah satu faktor penyebab cuaca buruk belakangan ini adalah wilayah Indonesia yang sudah memasuki puncak musim hujan. Aku membaca utas cuitan tersebut sambil mencerna informasi baru yang kudapatkan dan mencocokkannya dengan ingatan tentang materi geografi yang pernah aku pelajari di bangku sekolah menengah dulu.
Esok harinya, aku bangun dengan perasaan hangat. Tidak ada hawa dingin yang kurasakan seperti beberapa hari terakhir. Aku membuka mata. Masih gelap namun ada secelah cahaya yang masuk menembus tirai. Ponsel kuraih dan layarnya menunjukkan angka 05.30. Ah, aku melewatkan azan Subuh rupanya. Aku bergegas bangkit dari berbaring dan melangkahkan kaki untuk mengambil air wudu.
Pukul sepuluh pagi ketika aku melirik jam dinding di ruang tengah. Hari ini aku tidak ada kegiatan lagi di luar rumah. Melalui jendela, aku dapat berasumsi jika pagi ini cerah. Akhirnya sang surya tidak malu untuk menampakkan dirinya. Sinarnya masuk menembus kaca jendela, membuat perasaan hangat di pagi ini. Akan tetapi, ada satu hal yang mengganjal di pikiranku. Apakah cuitan pakar meteorologi kemarin yang aku baca itu salah? Aku menebak jika hujan akan turun di siang hari. Mengesampingkan pertanyaan yang timbul di pikiran, aku pun menikmati hangatnya mentari yang sudah lama tidak aku rasakan.
Sayangnya, perasaan hangat itu sirna di kala waktu menunjukkan pukul dua siang. Perlahan langit mulai menggelap lagi, kelabu mengekor dan mewarnai langit di atas sana. Tak butuh waktu lama hingga kudengar tetesan air yang mengenai atap rumah. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes, dan terus bertambah banyak seiring dengan detik yang berjalan. Ah, ternyata benar. Hujan deras di siang hari. Bunyi hujan semakin memenuhi pendengaran. Acapkali suara gemuruh datang dari atas sana. Langit menggelap membuatku menyalakan lampu untuk membantu penglihatan.
Sejak saat itu, langit terus menunjukkan kelabu. Meskipun ada beberapa waktu mentari muncul di pagi hari, kelabu pasti kembali di siang hari. Terkadang membawa gemuruh yang menemaninya, suara rintik hujan tak luput dari pendengaran.