Mohon tunggu...
Annas Tupank
Annas Tupank Mohon Tunggu... pegiat UMKM -

Annas Tupank, manusia sederhana yang memiliki motto : "Jalani dengan Hati."

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Untitled (LPI Vs LSI di Rumah Madu)

24 Februari 2011   17:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:18 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Raja siang terus mengarah ke arah barat, sosoknya tidak lagi terlihat karena telah dikeroyok oleh kawanan awan lembab, sinarnya mengacung-acung bagai kepalan tangan para demonstran yang menuntut keadilan dan hawa panas yang ditinggalkan seakan terus membakar semangat untuk terus melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Begitulah aku memaknai sore hari ini, sebentar lagi jam kantor akan berakhir. Dalam seminggu aku hanya tiga hari berada dikantor para staf dan karyawan mulai pulang karena pekerjaan mereka telah selesai. Sejak pagi tadi aku merasa tidak nyaman dan ingin segera pulang, tapi sebagai Kabag Office Boy gengsi rasanya jika aku pulang lebih cepat, itulah prinsipku masuk dan pulang tepat waktu.

Lewat satu menit aku pulang. Kulepas senyum untuk satpam yang setia berjaga lalu kuinjak pedal gas Mitsubishi Lancer warna hitam meninggalkan gerbang kantor tempatku bekerja. Kaca mobil kubiarkan terbuka menikmati terpaan angin sore dengan iringan lagu I’m your jason mraz. Menurut Reika Kabag Personalia yang sudah lama suka padaku, aku bisa saja mendapatkan posisi yang lebih baik. Dibagian Humas atau IT misalnya tapi aku tidak begitu berambisi untuk menduduki posisi itu. Aku lebih nyaman sebagai Kabag Office Boy, lebih banyak kesempatan untuk berbuat baik dan yang lebih penting aku tidak mempunyai kesempatan dan peluang untuk korupsi. Dulu aku memang tidak sukai oleh para Office Boy tapi sekarang disiplindan ketegasan yang kuterapkan berhasil mengorbitkan beberapa orang diantara mereka mendapatkan jabatan yang lebih baik diperusahaan ini.

Mengenai pendapatan juga biasa saja, sebagai Kabag gajiku hanya tiga persen lebih besar dari gaji para Office Boy lainnya. Mitsubishi Lancer dan rumah tipe 36 yang terletak diujung gang kubeli dari honorku sebagai penulis freelance dibeberapa media dan royalty dari penulisan buku ditambah penghasilan sampingan bila ada yang mengundangku untuk menjadi narasumber dalam seminar atau pelatihan-pelatihan walaupun aku tidak pernah berharap lebih dari situ, bagiku bisa berbagi pada banyak orang adalahhal yang sangat menyenangkan.

Separuh perjalanan aku berbelok arah menuju sebuah tempat yang kami namai Rumah Madu. Sejak berumur enam bulan hingga lulus SMP aku tinggal dipanti asuhan ini. Saat aku kelas satu SMP kami tidak ingin lagi tempat ini disebut panti asuhan, bersama teman dan kakak-kakak lainya kami mengganti papan nama panti asuhan menjadi Rumah Madu karena dibeberapa sudut rumah ini terdapat sarang lebah madu yang madunya saring kami ambil untuk dikonsumsi atau dijual dan hebatnya lagi lebah-lebah itu juga sering member pelajaran bagi siapa saja yang datang dengan niat jahat.

Saat SMA aku tidak lagi menetap disini karena aku sudah mulai mempunyai penghasilan. Ibuku juga mempunyai pekerjaan yang cukup sehingga kami bisa mengontrak sebuah rumah. Aku bisa menerima alasan kenapa dulu aku dititipkan dipanti asuhan itu. Waktu itu ibu bekerja dari pagi hingga malam untuk membiayai kebutuhanku dan teman-teman dipanti. Sedangkan ayah telah meninggal dalam sebuah kecelakaan kerja sebelum sempat diberitahu kalau ibu telah mengandung aku.

Kuparkir mobil dibawah pohon flamboyant yang rindang. Seminggu tidak kesini aku merasa aneh, halaman Rumah Madu yang luas biasanya riuh oleh anak rumah madu dan anak-anak sekitar bermain bola tapi hari ini hamparan rumput hijau itu sepi seperti tidak ada kehidupan. Saat aku masuk kulihat ada tiga orang yang tidur dikursi. Samad salah satu penghuni rumah madu yang masih kelas empat SD sedang asyik membaca komik dan tiga orang anak perempuan juga asyik bermain kulit kerang.

“Sepinya, yang lain kemana Mad?” tanyaku sambil meletakan kantong plastik berisi goreng pisang keatas meja.

“Ivan sama Rusli pergi mancing kepiting bang.” Samad bangkit dari tidurnya.

“Yang lain?”

“Bang Aldo pergi ngajar, Kak Evi ngajar juga.” Jelas Ides menghentikan permainan kulit kerangnya. “Kak Yanti dan Kak Irra ikut Nenek Kepasar.”

Aldo dan Evi yang sudah kelas dua SMA mengajar private mencari penghasilan tambahan untuk biaya sekolah dan uang jajan. Memang itu bukan suatu keharusan karena sudah ada beberapa orang alumni Rumah Madu yang menjadi donator tetap tapi hidup mandiri adalah hal utama yang diajarkan disini.Ketiga anak perempuan ini berhenti bermain dan duduk didekatku menikmati goreng pisang.

Dulu waktu aku masih disini, ada yang bekerja paruh waktu dirumah makan, jadi tukang cuci dibengkel dan ada juga yang jadi pedagang asongan. Sekarang penghunnya tidak seramai dulu, fasilitas Rumah Madu sekarang jauh lebih baik. Kuhampiri sikecil berumur delapan bulan tidur pulas didalam ayunan, dia diasuh disini sejak baru berumur beberapa hari setelah ditemukan warga dipinggir jalan. Mungkin sengaja ditinggalkan oleh orang tuanya, dia beruntung mendapat perhatian dan penuh kasih sayang ditempat ini.Tidak jauh dari situ seorang janda anaknya nenek tersenyum saat beradu pandang denganku. Dia sedang memotong sayur dibantu oleh Rika yang sudah kelas dua SMP.

Aku terkejut saat melihat layar TV yang disilang dengan lakban warnah hitam.

“Itulah kerjaan si Ihsan.” Bibi Isyah memberitahu sambil tersenyum

“Ada masalah apa hingga Ihsan menyegel TV ini?” kubuka tempelan lakban hitam dan coba kunyalakan tapi hanya suara gemuruh tumpukan semut yang terlihat.

“Katanya dia kecewa sama PSSI bang, jadi kita tidak boleh nonton bola. Dia juga tidak membolehkan kita main bola bang.” Samad menunjukan tumpukan karet bola yang sudah diiris kecil-kecil oleh Ihsan.

Bibi Isya, Rika dan yang lainnya hanya tertawa melihat aku bangong tidak habis pikir dengan apa yang Ihsan lakukan, bukan hanya layar TV saja yang disegel tapi antenna parabola juga dia turunkan supaya benar-benar tidak ada penghuni Rumah Madu ini yang menonton acara atau pertndingan sepak bola. Aku sendiri akhirnya ikut tertawa.

Muhammad Ihsan, Warga Paling Istimewa di Rumah Madu ini. Murid SLB berbadan gemuk, Ibunya meninggal saat melahirkan dia tujuhbelas tahun lalu, sedangkan Ayahnya bekerja sebagai TKI di Hongkong menjenguknya setiap enambulan. Walau keterbelakangan mental tapi sepertiga dari sekitar limapuluh piala dan medali yang memadati lemari depan adalah bukti prestasinya dibidang Lempar cakram, tolak peluru dan tenis meja di berbagai lomba antar siswa SLB. Selain itu dia juga pemain sepak bola yang sangat piawai sebagai penjaga gawang. Aku sendiri pernah beberapa hari susah berjalan karena cedera setelah ditekel olehnya.Kali ini semangat revolusi PSSI turut merasukinya.

“Sekarang mana dia?” tanyaku sambil terus tertawa.

“Tuh dia bang diatas pohon jambu monyet.” Rika menunjuk keluar jendela.

Aku keluar diikuti Samad dan yang lainnya. Rika dan BI Isya menjenguk melalui jendela.

“Hoy… Kapten sedang mengapa disitu?” Panggilku sambil mendongak keatas memandang tubuh gemuk yang duduk diranting sekitar tiga meter itu.

“Dia tidak mau dipanggil Kapten lagibang.” Ujar Samad dibelakangku.

“Hoy Muhammad Ihsan Bin Nurdin sedang mengapa kamu disitu?” walau lebih pelan dia langsung menoleh dan tersenyum dengan mata terpejam.

“Mau goreng pisang tidak, kalau tidak kami habiskan.” Kuacungkan potongan goreng pisang sebelum masuk kedalam mulutku.

“Minta…” jari-jari gemuk itu menadahkan tangan.

“Ya turun, tuh goreng pisangnya sama bibi.”

Dia menjatuhkan buku teka-teki silang dan pena lalu menjatuhkan diri. Ditimpa tubuh gembul lebih dari enampuluh kilogram itu aku terjerambab ketanah dan sepontan mendorongnya hingga dia berguling-guling dan menjadi riuh oleh gelak tawayang melihatnya.

Bermain catur, main ular tangga dan ngobrol dari sabang sampai merauke. Kubutuhkan waktu hampir satu jam untuk meredam emosi sang kapten yang lagi kecewa berat dengan PSSI sebelum mengintrogasinya.

“Sebenarnya ada masalah apa sehingga bola dijadikan keripik bawang seperti itu?”

“Ya kesal aja sama PSSI bang!” jawabnya menunduk.

”Iya, Abang ngerti tapi sebaiknya jangan anarkis sampai menurunkan antenna TV juga, kasiankan adik-adik tidak bisa nonton TV, Bibi sama Nenek tak bisa nonton ceramah pagi.” Terangku dan diangguki oleh Bibi Isya dan yang lain.

“Iya bang tapi kenapa PSSI sampai mengharamkan LPI, LPI itukan salah satu bukti niat baik untuk kemajuan prestasi sepak bola tanah air, membentuk tim sepak bola professional yang tidak rawan korupsi. Kita-kita cinta sepak bola, kita ingin timnas menang dan jadi juara dunia.” Jika tidak melihat siapa yang berbicara orang-orang pastilah mengira dia adalah seorang komentator sepak bola terkenal atau pengamat sepabola yang gusar dengan carut marut didalam tubuh lembaga sepak bola nasional kita.

“yah…” kutarik napas dalam, “Abang juga tidak tahu banyak soal itu, abang juga ingin Indonesia bisa jadi juara dunia.”

“Memang salah ya kalau dinegeri ini ada dua liga. Mestinya dua liga bisa bersaing membuktikan siapa yang lebih baik dalam menciptakan pemain professional yang mempunyai nilai jual tinggi. Mengapa PSSI beralasan LPI tidak diakui oleh FIFA bukannya mengupayakan agar LPI bisa diakui secara resmi. Mungkin lebih baik tidak ikut FIFA agar kita benar-benar berbenah diri daripada sibuk ikut FIFA bermimpi jadi tuan rumah piala dunia tapi kenyataannya omong kosong semua!” sepertinya dia mulai lega berhasil memuntahkan kekesalannya.

“Abang mengeti tapi kita ini tidak bisa berbuat apa-apa, baiknya kita perbaiki antenna TV dulu. Besok Abang belikan bola dan sorenya kita main bola lagi.” Ucapku sambil menepuk pundaknya.

Setelah selesai, TV sudah kembali normal aku berpamitan pada Nenek dan Bibi serta adik-adik Rumah Madu lainnya. Aku pulang dan tiba dirumah menjelang azan magrib tiba.

Setelah selesai sholat magrib Ibu tersenyum mendengar ceritaku tentang kejadian di Rumah Madu sore tadi. Malalui chatting kusampaikan kisah ini pada beberapa alumni Rumah Madu dan semuanya setuju dengan rencana pertandingan sepak bola besok sore. Bahkan ada seorang yang berjanji akan membelikan baju pertan dingan. Kabar dan undangan itupun terus berlanjut menyebar bagai virus melalui sms, bahkah yang lebih lucu lagi aku juga diundang via sms padahal aku yang mengegas acara ini.

Menjelang siang, para alumni Rumah Madu mulai berdatangan. Bahkan beberapa orang yang sudah berkeluarga tidak segan membawa serta istri dan anak mereka. Aku senang melihat Nenek, Bibi dan Ibu tersenyum bahagia, acara ini menjadi ajang reuni para alumni Rumah Madu. Tanpa ada schedule sebelumnya Mariani yang sekarang bekerja disebuat perusahaan stasiun televise swasta sibuk mendata para alumni yang akan menjadi pemain. Kemudian membaginya menjadi dua tim yang beri nama Tim LSI berkostum Merah dan tim LPI berkostum Putih. Sorakan dan yel-yel menyemangati pemain kedua tim.

Aku tidak tahu kalau Reike yang bukan alumni juga datang, teriakannya membuatku semakin bersemangat untuk mencetak gol namun selalu berhasil digagalkan oleh Ihsan. Hingga pertandingan berakhir tak satu gol pun yang bisa kuhasilkan malah kebobolan tiga gol. Walaupun tim LPI kalah tapi semuanya tetap mengatakan Go Go LPI! Kami semua menginginkan Liga sepak bola professional bebas korupsi dinegeri ini.***

Pekanbaru, 24 February 2011 02:37

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun