Mohon tunggu...
Centhini
Centhini Mohon Tunggu... -

pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Extract Vonnis, Apa Pula Itu?

3 April 2015   17:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:35 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ExtractVonnis, Apa Pula Itu?

Dalam ranah hukum kita mengenal banyak istilah, antara lain extractvonnis.Istilah ini terbilang umum bagi para penegak hukum seperti hakim, jaksa, dan pengacara. Sebaliknya terdengar asing bagi masyarakat yang tidak melek hukum.

Padahal ini salah satu dokumen yang sangat penting bahkan mendasar bagi siapapun yang terlibat dalam satu perkara penegakan hukum. Secara sederhana, extract vonnis adalah petikan putusan hakim terhadap terdakwa.

Extract vonnis merupakan hak terdakwa yang harus diterima segera setelah putusan dibacakan. Hal ini dengan tegas diatur dalamPasal 226 ayat (1) KUHAP: petikan putusan harus segera disampaikan kepada Terdakwa atau Penasehat Hukumya segera setelah putusan diucapkan.”

Ironisnya fakta yang terungkap di lapangan sungguh memperihatinkan. Sebagian besar permasalahan yang ditemukan dalam lembaga permasyarakatan (lapas) kita adalah keterlambatan pemberian extract vonnis. Ini terjadi dari tahun ke tahun.

Fakta ini terungkap dalam laporan Road Show Pelaksanaan MoU AntaraOmbudsman RI Dengan Kementerian Hukum dan HAM RI Tentang Pelayanan Pada Beberapa UPT Pemasyarakatandi Propinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakartayang diselenggarakan pada tanggal 12-15 April 2010. Tapi, sampai sekarang belum ada perubahan yang berarti dari hasil pertemuan itu. Sangat banyak laporan dan pengaduan yang masuk ke Ombudsman RI mengenai keterlambatan pemberian extract vonnis kepada terdakwa.

Kenyataan itu membawa kita pada kesimpulan bahwapenerapan administrasi perkara yang diatur dalam KUHAP tidak terlaksana dengan tertib.

Lantas, siapakah yang patut dipersalahkan, penegak hukumkah atau hukum itu sendiri?

Bertolak dari kenyataan itu, tampaknya penyimpangan ini berawal dari pengadilan negeri yakni ketidakpedulian hakim dan panitera. Mereka lalai melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai penegak hukum. Tahanan sama sekali tidak diberikan dokumen berupa extract vonnis. Bahkan, tidak ada secarik kertaspun yang berisi catatan sebagai dasar pencatatan untuk dicantumkan dalam administrasi tahanan.

Akibatnya pencatatan setiap laporan administrasi tahanan hanya berdasarkan pada pengakuan dari tahanan yang dilaksanakan setelah pembacaan putusan sehingga tidak jarang terjadi kejanggalan dalam daftar registrasi tahanan. Data tersebut tentu bisa dipertanyakan keakuratannya. Sebab siapa yang akan percaya tanpa ada bukti? Dalam hal ini yang rugi bisa saja negara, dan lebih mungkin lagi terdakwa.

Extract vonnis tidak diterima oleh tahanan juga bisa disebabkan oleh ketidaktahuan terpidana tentang extract vonnis. Dalam Pasal 226 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa:Salinan surat putusan pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaan.

Ketentuan tersebut menuntut terpidana atau penasihat hukumnya untuk turut aktif dalam meminta extract vonnis. Namun, sebagaimana penulis ungkapkan di awal, sebagian besar tahanan merupakan orang awan yang tidak melek hukum dengan segala prosedur dan istilah-istilahnya. Dapat dipastikan orang-orang dalam golongan ini tidak akan meminta extract vonnis itu dengan inisiatifnya. Bahkan, meski penasihat hukum meminta kepada pengadilan negeri ada kalanya dipersulit dengan berbagai alasan.

Keterlambatan pemberian extract vonnis ini bisa saja menimbulkan persoalan-persoalan baru seperti terjadi ”pemufakatan jahat” antara petugas/panitera pengadilan negeri, petugas kejaksaan dan petugas rutan atau lapas untuk memalsukan dictum yang tercantum dan extract vonnis untuk ”diperdagangkan.

Di Jakarta Barat misalnya,ada putusan 17 tahun dipalsukan menjadi 12 tahun dengan imbalan uang Rp 250 juta sebagaimana disebutkan dalam laporan Road Show Pelaksanaan MoU AntaraOmbudsman RIdengan Kementerian Hukum dan HAM RI Tentang Pelayanan PadaUPT Pemasyarakatandi Propinsi Sulawesi Utara tanggal 31 Mei-3 Juni 2010.

Pemberian extract vonnis juga dipertegas dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyerahan/Pengiriman Petikan dan Salinan Putusan dalam angka 2 menyebutkan bahwa:Petikan Putusan diberikan kepada Terdakwa atau Penasehat Hukumnya segera setelah putusan diucapkan, dengan tembusan kepada Jaksa Penuntut Umum dan apabila Terdakwa ditahan agar disampaikan pula kepada Kepala Lembaga Permasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara dimana Terdakwa ditahan.”

Kondisi-kondisi di atas menunjukkan pada kita, bahwa pelayanan publik di bidang hukum belum maksimal. Kinerja hakim selaku penyelenggara negara dan panitera selaku pejabat lain yang memiliki fungsi strategis masih jauh panggang dari api. Padahal, jika aparat aparat penegak hukum, dalam hal ini hakim dan panitera, memiliki kesadaran tinggi untuk melaksanakan peraturan sebagaimana tercantum dalam Pasal 226 ayat (1) KUHAP maupun SEMA Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penyerahan/Pengiriman petikan dan Salinan Putusan tentunya tidak akan terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tahanan maupun penyimpangan atau permasalahan-permasalahan yang baru.

Maka bercermin pada hal tersebut diharapkan kepada hakim dan panitera juga para penegak hukum yang lain agar lebih mengerti, memahami, menyadari dan bertanggung jawab terhadap tugas dan fungsinya, juga kepada advokat atau penasihat hukum agar betul-betul memahami bagaimana prosedur pemberian extract vonnis. Tentunya peran serta dukungan penuh dari Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sangat diperlukan yakni dalam pemberian sanksi yang betul-betul harus dikenakan kepada siapa yang melanggar.

Pemberian sanksi terhadap kelalaian pemberian extract vonnis belum pula diatur secara jelas. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam penjelasan Pasal 52 ayat (3) hanya diatur mengenai keterlambatan salinan putusan yang menyebutkan bahwa:Dalam hal salinan putusan tidak disampaikan, Ketua Pengadilan yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dari Ketua Mahkamah Agung”.

Apakah sanksi terhadap keterlambatan pemberian extract vonnis dan salinan putusan betul ditegaskan? Mestinya hal itu sungguh-sungguh ditegakkan. Bukankah semua warga negara adalah sama di hadapan hukum?

Maka ketaatan untuk segera memerikan extract vonnis akan mempus kesan bahwa hukum menjadi tumpul kiranya saat berhadapan dengan para penegak hukum.

Jika extract vonnis segara diberikan, maka pelayanan publik yang prima akan tercapai, yakni ketika semua warga negara terlayani dengan baik sesuai dengan aturan hukum, dan ketika hak-hak setiap orang terjamin tanpa harus mengoyak hak orang lain pula. Semoga! *** [Rizkiana Hidayat] ***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun