Sikap dan perilaku Jokowi dansimpatisannya di Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan siapa mereka sebenarnya. Mereka jauh dari santun, sederhana, dan anti kampanye hitam, seperti citra yang selama ini mereka bangun.
KPU Minggu 1 Juni 2014. Setelah mendapatkan nomor urut, Jokowi diberi kesempatan untuk memberi sambutan. Dalam sambutan yang berlangsung kurang lebih lima menit, Jokowi coba merangkai-rangkai kalimat, mengotak-atik makna di balik nomor yang ia dapat.
Nomor 2 menurut terawangan Jokowi memiliki arti kekompakkan. Nomor dua melambangkan kesempurnaan: presiden dan wakil presiden, mata kiri dan kanan, dan sepasang telinga.
Tak ada yang menarik dari cara Jokowi mengotak-atik kata. Nomor yang didapat pasangan tak lebih dari nomor urut, tak ada hubungannya dengan kekompakan, kemenangan, bahkan nomer togel sekalipun. Tapi, masing-masing orang memang berhak menghibur diri sendiri atas apa yang mereka peroleh.
Yang menarik dan mengingatkan kita akan pentingnya aturan adalah kata-kata Jokowi di akhir sambutannya. Di hadapan petugas KPU, pasangan capres-cawapres lain serta pada pendukungnya, Jokowi berkampanye agar memilih nomor dua.
Apa yang dilakukan Jokowi dalam sambutannya itu telah membongkar siapa dirinya. Sejak pertama datang ke Jakarta, Jokowi selalu menampilkan diri sebagai orang tak butuh kuasa. Pencalonannya dalam pilgub DKI, akunya saat itu, hanya memenuhi mandat partai. Citra tersebut telah berhasil mengisi imajinasi warga Jakarta tentang sosok sederhana dan merakyat. Jokowi terpilih.
Tapi, himbauannya di KPU agar rakyat memilih dia, merusak gambaran orang tentang Jokowi. Kampanye baru dibolehkan dua hari setelah pengundian nomor urut. Kampanye yang dilakukan pada Minggu itu tak cuma menunjukkan ambisi Jokowi menjadi presiden tapi juga soal aturan yang telah ditetapkan.
Tak hanya Jokowi, sikap serupa ditunjukkan pada simpatisannya. Menggunakan perangkat pengeras suara milik KPU, mereka menari-nari dan mengelu-elukan Jokowi. Kegembiraan dan arogansi mereka semakin lengkap dengan banyaknya spanduk dan poster yang meyanjung-nyanjung Jokowi dan merendahkan pasangan capres lain.
Setelah peristiwa Minggu itu, masihkah Jokowi dan simpatisannya berhak menyebut sebagai yang paling jujur, santun, sederhana? Sama sekali tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H