Sekilas dari pandangan orang awam, korupsi di era Jokowi masih sama saja dengan era si mantan, belum begitu ada terobosan, selain program terakhir Saber Pungli yang belum jelas apakah bisa kontinue dan efektif.
Satu-satunya hal positif adalah Pak Jokowi dan jajaran menyadari bahwa pencegahan lebih penting daripada penindakan, karena apa? Karena penindakan/mengejar ribuan koruptor membutuhkan biaya dan jumlah personel yang besar, tidak efisien, dan akhirnya berlaku pepatah "ah korupsi saja, paling nanti kalau ketangkap, ya karena pas APES aja".
Pencegahan mempunyai peran terbesar dari pemberantasan korupsi, logikanya, lebih mudah mana sawah dijaga oleh berlapis kawat duri berlistrik supaya tikus2 tidak bisa masuk satupun untuk merusak dan mencuri, daripada tidak dijaga/banyak lubangnya, lalu kejar2an dengan ribuan tikus?
Logika diatas sangat sederhana dan tidak terbantahkan.
Sebaik-baiknya manusia, bila setiap hari dipapar oleh KESEMPATAN mendapatkan uang/sogokan didepan mata, maka sebagian besar akan tergoda, baik karena keinginan sendiri, didesak kebutuhan, didesak kelompok maupun didesak hal eksternal lainnya.
Sebaliknya, seburuk-buruknya manusia, meski maling kelas super kakap, bila ditaruh di birokrasi yang tanpa celah/tanpa KESEMPATAN mencuri, maka dia akan kesulitan untuk korupsi.
Jadi ini semua hanya tentang pagar dan kesempatan, sudahkah kita memagari sistem birokrasi kita sehingga celah itu semakin kecil/tidak tertembus = tidak ada kesempatan mencuri?
Contoh pencegahan yang bisa diterapkan :
- Digitalisasi birokrasi. Pemberlakuan e-katalog dan semua e e lainnya alias semua proses pemesanan, persetujuan, pembelian hingga distribusi baik di pusat hingga tingkat desa harus menggunakan digitalisasi/elektronik, bahkan kalau perlu semua prosesnya dilengkapi sidik jari sebagai ganti tandatangan. Dengan sistem elektronik seperti ini, selain menutup celah tender2 tidak jelas, juga menghemat banyak waktu, karena prosesnya bisa dipantau setiap saat dan terbuka.
- Pembatasan penarikan uang tunai. Hampir semua korupsi dilakukan dengan uang tunai. Dengan membatasi penarikan uang tunai misalnya maksimal 10 juta/hari, maka akan sulit bagi seseorang untuk melakukan suap ratusan juta/milyaran. Semua transaksi transfer dapat dengan mudah dilacak dan diawasi oleh ppatk. Hal ini juga sangat membantu perpajakan, karena setoran tunai sering disalahgunakan untuk menutupi transaksi illegal.
Contoh sederhananya, seperti kalau kita belanja online saja, bahkan proses pengemasan dll semuanya bisa dipantau dengan real time.
Hal ini sudah dijalankan di Pemprov DKI dan beberapa wilayah lain, kenapa sulit amat untuk dilanjutkan ke wilayah lain?
Untuk saber punglipun sama, kalau hanya memelototi siapa yang korupsi, maka mission impossible, karena pungli nilainya mulai dari nilai puluhan ribu rupiah dan dilakukan oleh ribuan orang. Sistemnyalah yang harus diubah, semua elektronik, potong habis sesi-sesi tatap muka dimana perpindahan uang pungli terjadi.